SOLOPOS.COM - Ezat Indra Saputra (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Di tengah kemelut persoalan sosial-politik hari-hari ini, revolusi  kiranya enggan hadir di tengah kehidupan untuk memacu perbaikan kualitas hidup manusia.

Sebagian dari kita enggan menatap kekacauan sosial-politik, enggan mendengar gemuruh konflik, dan hanya sampai pada mengarahkan prioritas untuk kepentingan pribadi atau golongan saja.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Ada dua kemungkinan yang dapat diambil dari keadaan tersebut. Pertama, tidak tahu harus berbuat seperti apa. Kedua, memang tidak mau melakukan apa-apa.

Bukan hanya soal bertindak atau tidak bertindak, proses isolasi diri atau menjadi aktivis yang bertindak dengan kontradiksi batin bukan jawaban yang ideal dalam menyelesaikan masalah.

Pada akhirnya akan menjadi proses panjang untuk memosisikan diri dengan dunia secara utuh, memahami akar permasalahan sosial-politik secara tuntas. Dalam hubungan pemuda dan dinamika sosial-politik saat ini, pemuda menemui pelabelan yang tidak mengenakkan.

Pemuda yang sering disebut sebagai garda terdepan atau tonggak perubahan kini dinilai begitu apatis  atas kondisi sosial-politik di negeri ini. Peran pemuda sebagai kontrol sosial, agen perubahan, gerakan moral, atau penjaga nilai-nilai di tataran masyrakat kini mengalami degradasi yang signifikan.

Muncul pertanyaan apakah pemuda tidak tahu harus berkehendak seperti apa atau memang tidak mau melakukan apa pun karena kemuakan dengan narasi politik yang menakutkan? Mungkin karena skeptisisme yang begitu kuat di masyarakat (kaum tua) tentang kaum muda.

Pemuda saat ini tentu memiliki corak yang berbeda dengan tatanan masyarakat sebelumnya. Pemuda memiliki kekhasan dalam menanggapi permasalahan, menyikapi, dan menyelesaikan.

Hal ini yang semestinya menjadi perhatian untuk menemukan titik keseimbangan peran pemuda dan lapisan masyarakat lainnya dalam dunia sosial-politik akhir-akhir ini.

Pemuda era sebelumnya mesti berteriak, membuat eskalasi aksi yang besar. Pemuda saat ini hanya perlu menyuarakan di media—termasuk media sosial. Artinya ini hanya soal siasat yang digunakan dan sebetulnya dilakukan secara penuh untuk masyarakat juga.

Jika dipikir kembali, apakah bisa pemuda disebut sebagai korban pembungkaman? Algoritma—media sosial—mengarahkan dan berusaha melabeli pemuda sebagai lapisan yang tidak berkontibusi untuk negeri, pemuda yang tidak memiliki kepedulian sosial atau istilah sejenis lainnya.

Hegemoni begitu rapi dimainkan pemangku kepentingan, tidak hanya di media (sosial), namun masuk dunia pendidikan. Pemuda (mahasiswa) dibungkam dengan arahan dan kebijakan yang mengikat. Fokus kuliah, belajar, mengerjakan tugas, menulis skripsi, kemudian lulus.

Soal kontribusi dan partisipasi dalam proses demokrasi, riset senantiasa menyerukan minimnya partisipasi dan peran pemuda. Lagi-lagi ini seharusnya bukan sekadar riset, namun bagaimana pemuda diberi pos atau posisi yang sentral.

Realitas dalam pesta demokrasi menunjukkan dominasi kepentingan masih begitu kuat, elite atau pihak berkepentingan masih menjadikan warga negara sebagai prioritas pemenangan tujuan politik.

Artinya kita perlu meninjau aksses yang diberikan untuk pemuda, bagaimana keseimbangan peran yang diberikan kepada pemuda dan lapisan masyarakat lainnya. Pemaknaan partisipasi dan peran belum secara tuntas diterjemahkan dalam pesta demokrasi, khususnya untuk pemuda.

Apakah pada akhirnya hanya dijadikan basis masa pemenangan politik saja? Partisipasi politik hanya soal memberikan suara? Seharunya tidak.

Negara rasanya akan rugi besar apabila mengesampingkan pikiran pemuda. Bukan napas segar yang diberi ruang cukup, namun napas busuk syarat kepentingan yang malah dihadirkan.

Dalam pergulatan sosil-politik, kemuakan pemuda mengemuka dari proses politk yang berjalan. Politik semestinya sesak dengan transaksi ide atau siasat. Kini hanya sesak dengan transaksi antar-rekening. Pemuda enggan mengisi kursi  atau jabatan eksekutif karena yang dominan hanyalah soal uang dan modal yang besar.

Ketimpangan kuasa, ketimpangan senior-junior, ketimpangan kader-pimpinan masih kuat terdengar di telinga kaum muda. Pemuda yang berkeinginan masuk dalam praksis politik, menuangkan ide perubahan, justru terombang-ambing karena penguasaan sistem. Tidak mengikuti sistem, akan mati oleh sistem. Begitu kira-kira kondisi saat ini.

Pembacaan realitas dan kritik yang dilayangkan perlu menjadi refleksi bagi pemuda. Membaca aneka artikel, berita, atau bersosialisasi di masyarakat adalah langkah awal perubahan sikap dan dapat dikatakan sebagai bentuk partisipasi kepada negeri.

Hidupkan api-api kecil pemantik pikiran kritis, budaya literasi, dan bertukar pikiran di lingkungan sebaya. Cukuplah di negeri ini rasa muak terhadap politik. Kejahatan yang terkoodinasi rapi akan jauh lebih elok dibandingkan dengan kebaikan yang tidak terkoordinasi.

Setidaknya kalimat itu yang bisa kita pegang untuk senantiasa merawat nalar dan memberikan kontribusi untuk negeri dalam kapasitas sebagai pemuda atau mahasiswa. Mengutuk hantu politik bukan penyelesaian masalah sosial-politik hari-hari ini.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 19 Maret 2024. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya