SOLOPOS.COM - Irawan (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Istilah  buzzer, buzzers, atau pendengung sering ditujukan kepada sekelompok orang yang berperan memengaruhi opini publik dengan maksud dan tujuan tertentu.

Buzzer muncul di Indonesia bersamaan dengan masifnya penggunaan media sosial. Buzzer yang awalnya berguna untuk strategi pemasaran dengan tujuan menaikkan penjualan kemudian berubah fungsi searah dengan berbagai kepentingan politik.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Buzzer memiliki dua fungsi, yaitu menaikkan popularitas melalui konten positif atau menghancurkan popularitas melalui konten negatif. Buzzer berbeda dengan key opinion leader (KOL).

Buzzer biasanya menggunakan akun yang tidak memiliki nama dan memanfaatkan bantuan bot, sedangkan KOL adalah seseorang yang populer di dunia maya dan dapat memengaruhi opini publik. KOL biasanya terdiri atas influencer atau pemengaruh.

Ada beberapa alasan mengapa buzzer begitu menjamur di media sosial, khususnya di Indonesia. Moh. Mahfud Md. dalam acara sebuah forum gerakan literasi digital pada Juni 2023 menyebut angka literasi digital di Indonesia masih rendah. Banyak masyarakat menggunakan media sosial, namun ternyata masih belum melek literasi digital.

D isisi lain, dalam riset yang dilakukan oleh Microsoft pada 2021 yang menghasilkan Digital Civility Index (DCI), suatu barometer untuk mengukur tingkat kesopanan warganet di dunia saat berkomunikasi di dunia maya, warganet Indonesia menempati peringkat ke ke-29 dari 32 negara yang disurvei.

Ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kesopanan terendah dalam penggunaan media sosial di Asia Tenggara. Sifat malas membaca dan emosional inilah yang kemudian memudahkan kelompok buzzers membentuk persepsi publik dan menjadi alasan kenapa buzzer begitu menjamur di media sosial.

Film Budi Pekerti karya Wregas Bhanuteja adalah film yang menggambarkan kualitas warganet Indonesia. Film tersebut menggambarkan warganet kita akan habis-habisan menghakimi seseorang berdasarkan mayoritas komentar tanpa mengetahui kejadian yang sebenarnya.

Kebenaran seolah-olah bersifat semu, hanya ditentukan berdasarkan banyaknya orang yang menganggap suatu hal yang sama sebagai kebenaran. Lebih dari itu, seharusnya kita menggunakan akal dan pikiran untuk menentukan kebeneran dan menggunakan hati nurani untuk melihat setiap kejadian.

Kita bisa menjadikan film tersebut untuk bahan refleksi diri, jangan- jangan tanpa kita sadari, kita telah menjadi bagian dari buzzers. Bagaimana tidak? Tanpa kita sadari, kita sering melihat beberapa teman kita, bahkan diri kita sendiri, memiliki second account dimedia sosial.

Dengan memanfaatkan akun tersebut kita berani berdebat dengan orang lain di dunia maya dengan alasan identitas kita tidak diketahui oleh orang lain. Kita juga berani menyebarkan suatu hal yang viral tanpa kita ketahui dampak dan kebenarannya.

Bisa jadi saat itu sebenarnya ketika kita tidak mengetahui kebenaran suatu hal. Dalam kondisi tidak tahu pasti kebenarannya, alangkah baiknya diri kita diam. Buzzer memang bertugas membuat propaganda, tetapi ketika kita tidak acuh akan suatu hal yang tidak kita ketahui, persepsi publik dan perdebatan tidak akan terjadi.

Sering kita memaanfaatkan second account untuk stalking akun media sosial orang lain. Jangan-jangan kita meninggalkan komentar negatif dengan second account agar identitas kita tidak diketahui orang lain.

Hal serupa tentu hampir sama dengan cara kerja buzzer, menggunakan akun media sosial sebagai alat propaganda tanpa menggunakan identitas asli dan mendengarkan setiap denyut nadi masyarakat melalui media sosial.

Di tengah proses pemilihan umum seperti saat ini, ketika masyarakat disajikan berita seputar politik, masyarakat kita seolah-olah menjadi bagian dari buzzers karena menyerap semua informasi layaknya spons.

Banyak dari kita memercayai semua hal yang diberitakan ketika berita tersebut termuat di salah satu platform media sosial. Perdebatan isu komunisme dan agama setiap menjelang pemilu menjadi bukti bahwa sebenarnya diri kitalah yang menjadi bagian dari buzzers karena ketidaktahuan sejarah.

Kita bahkan akan menemui perdebatan seputar politik di kehidupan sehari-hari, kebiasaan masyarakat membahas sinetron atau sepak bola semua berubah ketika pemilu tiba, seolah-olah semua masyarakat menjadi pakar di bidang politik dan saling berdebat satu dengan yang lain.

Obrolan santai yang biasanya menghilangkan beban pikiran karena masalah pekerjaan atau perkuliahan berubah menjadi debat kusir seputar politik yang tak ada ujungnya, padahal sejatinya masyarakat hanya mengikuti euforia sesaat ketika pemilu tanpa mengetahui program kerja politikus yang didukung.

Ketidaktahuan atau bahkan kebebalan diri kitalah yang sebenarnya lebih berbahaya daripada propaganda para buzzers.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 6 Februari 2024. Penulis adalah mahasiswa Sastra Inggris Fakultas Adab dan Bahasa UIN Raden Mas Said Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya