SOLOPOS.COM - Agung Pambudi (FOTO/Dok)

Agung Pambudi (FOTO/Dok)

Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret
Alumnus Lembaga Pelatihan
Jurnalistik SOLOPOS (LPJS)

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali. 8 Oktober 2004. Petugas bea dan cukai menangkap seorang perempuan kulit putih karena ketahuan membawa barang terlarang.  Di dalam tas perempuan tersebut ditemukan ganja/mariyuana seberat 4,2 kg. Perempuan tersebut bernama Schapelle Leigh Corby. Proses hukum pun berjalan.
Corby diputuskan bersalah atas tuduhan kepemilikan 4,2 kg ganja. Majelis hakim di Pengadilan Negeri Denpasar memvonisnya hukuman 20 tahun  penjara serta denda Rp100 juta subsider enam bulan penjara pada 27 Mei 2005. Begitu awal cerita perjalanan kelam Corby di Indonesia yang selanjutnya membuat dia dijuluki Ratu Mariyuana.
Tahun ini Corby mendapatkan grasi lima tahun. Pro dan kontra bermunculan. Pemberian grasi terhadap Coby seolah-olah antiklimaks dari niat pemerintah berperang melawan peredaran narkotika. Mengajukan grasi adalah hak setiap terpidana. Pasal 2 ayat (1) UU No 22/2002 tentang Grasi menyatakan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada presiden.
Pada Pasal 2 ayat (2) dinyatakan putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah dua tahun. Permohonan grasi oleh Corby kepada  presiden adalah hak. Tiada yang salah dengan hal itu. Yang menjadi permasalahan, mengapa pemerintah memberikan grasi? Bukankah pemerintah berkomitmen berperang melawan peredaran dan penyalahgunaan narkotika?
Berdasarkan Pasal 4 UU No 22/2002, presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Pemberian grasi oleh presiden dapat berupa peringanan atau perubahan jenis pidana, pengurangan jumlah pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana.

Tidak Konsisten
United Nations Conventions Againts Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psychotropic Subtances 1988 adalah Konvensi PBB tentang Pemberantasan Gelap Narkotika dan Psikotropika yang disetujui pada 1988. Konvensi tersebut oleh pemerintah Indonesia diratifikasi menjadi  UU No 7/1997 tentang Pengesahan United Nations Conventions Againts Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psychotropic Subtances 1988 (Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangas-Bangsa tentang Pemberantasan Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988).
Konvensi tersebut secara keseluruhan berisi pokok-pokok pikiran, sebagai berikut. Pertama, masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap Narkotika dan psikotropika. Kedua, pemberantasan peredaran gelap Narkotika dan psikotropika merupakan masalah semua negara yang perlu ditangani secara bersama pula.
Ketiga, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961, Protokol 1972 tentang Perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi Psikotropika 1971 perlu dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum untuk mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Keempat, perlunya memperkuat dan meningkatkan sarana hukum yang lebih efektif dalam rangka kerja sama internasional di bidang kriminal untuk memberantas organisasi kejahatan transnasional dalam kegiatan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
Sikap Indonesia yang meratifikasi konvensi menunjukkan keseriusan Indonesia dalam menangani segala kejahatan dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Peredaran narkotika semakin memprihatinkan sehingga payung hukum baru pun dibuat yang  berupa UU No 35/2009 tentang Narkotika

Rawan Narkoba
Ahli hukum pidana dari Universitas Padjadjaran Bandung, Romli Atmasasmita, dalam suatu wawancara dengan media massa mengatakan bahwa seluruh negara di dunia sepakat bahwa kejahatan narkotika dan psikotropika merupakan kejahatan berat dan bersifat internasional sehingga pelakunya tidak perlu diberi grasi. Dengan demikian, pemberian grasi kepada Corby justru menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam menangani kasus narkoba.
Secara faktual, Indonesia sangat strategis dalam peredaran narkoba internasional sehingga risiko narkoba yang bakal masuk ke Indonesia pun semakin besar. Untuk kasus ganja, mengutip data dari Badan Narkotika Nasional yang bersumber  dari Direktorat Tindak Pidana Narkoba, per Maret 2012 telah disita ganja dengan total 23.891.244,25 gram, pohon ganja (stalks) 1.839.664 batang dan luas area penanaman ganja 305,83 hektare. Hasil pengungkapan Polri Per 2011 terdapat 5.909 kasus berkaitan dengan ganja.
Jumlah yang sangat fantastis bukan? Apakah kita rela generasi bangsa diracuni oleh narkoba? Data di atas hanya mengenai ganja, belum narkoba jenis lain! Pemberian hukuman seberat-beratnya layak untuk diberikan pada pelaku narkoba, termasuk Corby! Alasan pemberian grasi kepada Corby patut di pertanyakan.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin menyatakan alasan untuk menyelamatkan anak buah kapal asal Indonesia yang saat ini berada di dalam tahanan Australia karena terlibat dalam kasus trafficking rasa-rasanya tidak sebanding dengan kasus Corby. Indikasi bahwa pemerintah Indonesia mendapat tekanan dalam kasus Corby pun mulai mengemuka. Wajar jika ada spekulasi bahwa grasi Corby adalah negosiasi pemerintah Indonesia dengan Australia.
Grasi untuk Corby telah di berikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (hak presiden). Kita sebagai elemen bangsa harus menghargai keputusan tersebut. Bahwa terjadi gejolak pro dan kontra adalah suatu hal yang wajar. Bagi yang kontra, di sediakan mekanisme di Peradilan Tata Usaha Negara untuk menggugat keputusan pemberian grasi kepada Corby.
Saya teringat dengan pendapat almarhum Satjipto Rahardjo yang menyatakan hukum yang digunakan oleh sejumlah bangsa-bangsa di dunia dapat sama tetapi bagaimana bangsa-bangsa itu menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari berbeda-beda (Satjipto Rahardjo, 2009:41).  Bahwa konvensi PBB tentang Pemberantasan Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 telah dibuat namun tidak semua negara sejalan dalam melaksanakannya, termasuk Indonesia.
Sekalipun secara normatif grasi bagi Corby harus diberikan, sebaiknya pemerintah memberikan suatu argumen yang tegas dan jelas agar kita bisa berbangga untuk Indonesia saat rasa bangga terhadap bangsa ini makin terkikis!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya