SOLOPOS.COM - Ardian Nur Rizki (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO — Sepak bola Indonesia mulanya lahir sebagai alat pemersatu. Sarana kaum pribumi mengempaskan kecongkakan dan keculasan imperialisme benua biru (Palupi, 2004). Sepak bola Indonesia dulunya merupakan wahana ampuh peregas sekat suku. Mode jitu untuk mewujudkan kebinekaan yang bersatu padu.

Memang, sejak awal dimainkan, sepak bola telah menjelma menjadi ”lebih daripada sekadar olah badan” atau ”lebih daripada sebatas permainan”. Sepak bola acapkali diamanati sebagai penjaga muruah dan kehormatan suatu bangsa. Dengan demikian, kemenangan, kebanggaan, dan kejayaan ditahbiskan sebagai cita-cita utama sedangkan sportivitas malah sering ditanggalkan.

Promosi Santri Tewas Bukan Sepele, Negara Belum Hadir di Pesantren

Sepak bola merupakan wahana yang kuasa mempersuakan pelbagai golongan dalam entitas massa yang besar. Lebih dari itu, sepak bola kerap dijadikan ajang pelampiasan dari berbagai friksi yang terjadi di luar lapangan.

Sepak bola dianggap pelepas penat dari segudang rutinitas kerja khalayak. Berbagai ekspresi tumpah ruah di stadion: puji dan puja hingga hunjaman cela; dari tempik sorak, tawa dan gelak, hingga kemurkaan.

Rivalitas antarsuporter di Indonesia acapkali diejawantahkan dengan salah kaprah. Barbarisme pengejawantahan ekspresi kekecewaan suporter dan tindak represi aparat membuat iklim persepakbolaan Indonesia kian centang perenang–sebagaimana yang terjadi pascalaga Arema FC kontra Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur pada Sabtu (1/10/2022). Sebentuk ironi dan tragedi terburuk dalam sejarah persepakbolaan dunia!

Biang Bentrok

Segala penuangan ekspresi tersebut perlu dibarengi dengan ”kedewasaan” dan perombakan mentalitas. Segenap suporter mesti mafhum perihal esensi dan batasan rivalitas. Ada beberapa mentalitas purba persepakbolaan Indonesia  yang mesti dirombak.

Pertama, penghalalan segala cara untuk memenangi laga. Kedua, suporter hanya siap menang dan tidak pernah siap menerima kekalahan–apalagi apabila klub pujaan mereka menelan kekalahan beruntun.

Ketiga, penyampaian aspirasi suporter dengan cara merusuh, menginvasi stadion, dan merusak fasilitas umum. Keempat, pelecehan seksual dan diskriminasi gender di stadion. Kelima, wasit dan segenap perangkat pertandingan yang acapkali menihilkan integritas. Keenam, tindak represi aparat.

Semua itu membentuk siklus. Siklus semacam ini ibarat lingkaran setan yang tiada berujung. Meskipun korban terus berjatuhan, tetap saja belum bisa menstimulan terciptanya refleksi perdamaian. Alih-alih mewawas diri, jatuhnya korban justru direspons dengan upaya pembalasan dendam.

Tindakan yang dapat merugikan, mencederai, bahkan membunuh lebih banyak suporter lawan dianggap sebagai suatu kemenangan. Bukan hanya ”menyerang” suporter lawan, aparat acapkali menjadi sasaran kekecewaan–dan tindakan balasan represif aparat yang melampui batas, membuat semua makin runyam!

Menurut Ekkers dan Hoefnagels (1972), salah satu pemicu utama kericuhan dalam pertandingan sepak bola adalah perilaku pemain di lapangan. Tindak-tanduk pemain, baik gesture maupun tutur, berpengaruh signifikan terhadap pola perilaku suporter. Pertandingan yang berjalan sportif dan fair, akan membuat iklim tribune turut kondusif.

Sebaliknya, pertandingan yang keras, kasar, dan sarat kontroversi berpotensi memprovokasi suporter untuk melakukan tindakan serupa. Dengan demikian, untuk mereduksi potensi kerusuhan, setiap pemain harus benar-benar mencamkan bahwa fair play bukan sekadar slogan seremonial yang dibentang pada awal pertandingan.

Dalam teori psikologi sosial, frustrasi dalam hidup bermasyarakat adalah akar perilaku agresif suporter. Sindhunata dalam buku Air Mata Bola (2002) menyatakan pertandingan sepak bola kerap dijadikan alat penyalur agresivitas. Sepak bola kuasa mempersuakan dua kelompok berbeda yang saling bertentangan dalam kuantitas yang sarat.

Fenomena kerusuhan oleh suporter di Indonesia adalah masalah kompleks yang tidak disebabkan faktor tunggal. Setelah merebaknya xenofili dalam kultur tribune suporter di Indonesia, mentalita ultras atau hooliganism–mulai dari sandang hingga kegemaran bikin kerusuhandijiplak secara total tanpa filter oleh beberapa suporter. Inilah yang membuat ”asap kerusuhan” dapat terjadi kapan saja, bahkan tanpa didahului dengan ‘api’ yang menyulutnya.

Solusi

Perlu ada ikhtiar yang masif dan holistik untuk mereduksi kericuhan suporter sepak bola. PSSI–sebagai induk organisasi sepak bola nasional—harus mulai merumuskan formula untuk mencipta mentalitas suporter yang bajik. Selama ini, PSSI lebih gemar menempuh cara represif dengan mengumbar sanksi terhadap suporter yang berulah.

Alih-alih jera, sanksi yang diberikan PSSI acapkali direspons sinis dan apatis. PSSI sebaiknya tidak hanya mengumbar sanksi, melainkan juga turut serta mengedukasi suporter. PSSI seyogianya memfasilitasi upaya rekonsiliasi antarsuporter yang terlibat friksi.

Dengan demikian, upaya preventif—mengedukasi dan memfasilitasi perdamaian suporter—dan  represif—sanksi tegas bagi setiap kerusuhan—dapat berjalan beriringan untuk mewujudkan kondusivitas relasi antarsuporter.

Faktor fundamental lain yang perlu dibenahi adalah mentalitas suporter dalam memaknai rivalitas. Stigma pandir harus lekas disingkirkan. Suporter harus mewawas diri bahwa pengejawantahan rivalitas harus berorientasi pada prestasi–bukan saling melukai dan mencederai.

Rivalitas jika diwujudkan dengan keonaran dan bentrokan hanya akan bermuara pada sanksi yang merugikan tim. Sanksi dari Komisi Disiplin PSSI biasanya berupa larangan menyaksikan laga, larangan mengenakan atribut, maupun denda yang dibebankan kepada kub.

Selain itu, suporter yang gemar merusuh akan kesukaran memperoleh izin keamanan untuk mengawal perjuangan klub pujaan di pertandingan kandang maupun tandang. Alhasil, klub yang didukung harus berjuang sendirian. Lalu, untuk apa membuat onar jika dampaknya hanya merugikan klub yang didukung? Mentalitas suporter yang rasional seharusnya mafhum akan logika sederhana macam ini.

Pengurus suporter juga harus mengedukasi anggotanya untuk meredefinisi makna rivalitas. Persaingan dan kompetisi cukup diwujudkan selama 90 menit dengan adu kreasi di tribune. Selepasnya, suporter harus kembali baku peluk dan baku jabat tangan dalam kelindan persaudaraan. Sepak bola harus kembali pada khitahnya, sebagai pemersatu bangsa! Suporter adalah garda sentral penjaga muruah sepak bola.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 3 Oktober 2022. Penulis adalah penganggit buku Pustaka Sepak Bola Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya