SOLOPOS.COM - Yuli Darmijati Marjamah, pendamping Napi anak di Rutan Kelas 1 Solo (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Yuli Darmijati Marjamah, pendamping Napi anak di Rutan Kelas 1 Solo (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Surga di Rutan Solo. Ini judul berita yang tertulis di Harian Umum SOLOPOS edisi Senin (5/12/2011). Dengan pemaparan yang cukup detail, SOLOPOS sedikit menjawab keingintahuan masyarakat luas tentang kondisi di dalam penjara di Kota Solo.

Promosi Selamat Datang Kesatria Bengawan Solo, Kembalikan Kedigdayaan Bhineka Solo

Mengapa saya tulis masyarakat luas? Bagi sebagian masyarakat dengan cakupan sempit, apa yang diungkap SOLOPOS itu mungkin sudah menjadi rahasia umum, apalagi bagi para penjenguk narapidana (Napi) atau tahanan di Rutan Solo yang sangat rajin membayar upeti kepada sipir. Rahasia umum itu sebagian besar memang belum terpaparkan di media massa.

Secara gamblang tertulis perilaku sipir yang cukup mengecewakan, seperti meminjam gelas di warung pada malam hari untuk minum minuman keras. Ada sipir yang menggadaikan harga diri untuk menjadi kurir Narkoba dengan imbalan hanya Rp 15.000. Ada pula yang memilih menjadi tukang tadah upeti penjenguk Napi atau tahanan yang pelaku teknisnya para Napi. Dan yang paling mengusik rasa keadilan adalah adanya perbedaan perlakuan pada Napi kasus Narkoba. Perlakuan ini pula yang menjadikan penjara bak surga bagi sebagian Napi.

Jika dihitung dengan model persentase, saya memperkirakan yang tersaji dalam Laporan Khusus SOLOPOS itu baru sebagian kecil kebobrokan yang lestari dan seperti sengaja diabadikan di penjara di Kota Solo tersebut. Semua nominal uang yang tertulis dalam berita masih dalam kategori ”uang kecil” yang pelakunya sipir bawahan. Tapi, meski begitu, setidaknya berita itu bisa menjadi titik tolak untuk terus metani ketimpangan yang terjadi di penjara di Kota Solo itu.

Pilihan cerdas SOLOPOS untuk menuliskan hal ihwal inner circle itu semoga mampu memompa siapa saja untuk mengawasi penjara dengan cara dan disiplin ilmu masing–masing.

Jika perkiraan saya bahwa baru sebagian kecil kebobrokan yang terungkap, sebagian besar sisanya membutuhkan investigasi mendalam untuk memastikan benar tidaknya. Hingga hari ini saya baru mampu menangkap ”suara” yang amat lirih.

Kita pahami bersama posisi Rutan adalah penampung para Napi dengan vonis di bawah satu tahun, tapi faktanya banyak Napi yang mendapat izin tinggal untuk bisa ”menetap” di Rutan Solo, meskipun vonisnya lebih dari satu tahun. Saya tidak yakin izin untuk tetap tinggal bisa mulus tanpa uang. Kalaupun aturan menyatakan memang ada uang administrasi, saya tidak yakin Napi mengeluarkan uang sesuai ketentuan, mengingat budaya memalak di dalam penjara.

Kita tahu ada aturan Napi diperbolehkan pulang lebih cepat dari vonis hukuman yang diterima. Apakah hal ini mulus tanpa uang pelicin? Dan apakah semua pejabat yang duduk di jajaran penjara di Solo memang menjabat sesuai dengan keahlian dan prestasi? Adakah yang naik jabatan karena ada ”kursi” kosong? Adakah yang menjabat dengan ”membayar” puluhan juta? Semua pertanyaan saya ini bisa jadi pekerjaan rumah setiap pejuang demokrasi, di antaranya media massa untuk mengungkap demi rasa keadilan masyarakat.

Reaksioner
Kembali mencermati berita di SOLOPOS, pernyataan Karutan Kelas I Solo, M Hilal, cukup menyejukkan. Yaitu komitmen untuk membenahi. Dalam tataran ideal, Hilal akan membantu para pejuang demokrasi untuk menuntaskan masalah yang sebagian besar itu. Jika satu demi satu kebobrokan penjara di Kota Solo itu terungkap, penentuan solusi akan lebih terukur. Konsistensi komitmen Hilal dibutuhkan untuk “membersihkan” Rutan Solo.

Akan tetapi, mencermati perilaku para sipir, saya pesimistis. Setelah membaca Laporan Khusus SOLOPOS, yang tebersit dalam benak saya adalah bagaimana reaksi internal pengelola penjara Solo? Paparan yang disertai akurasi data dan panjang tentu mengakibatkan ada yang kebakaran jenggot. Saya pernah menuliskan gagasan tentang rumah sosial Napi anak, mengingat buruknya pengaruh penjara bagi anak.

Ketika itu, saya mengungkapkan sedikit hal tidak terpuji, tapi reaksinya lumayan reaksioner, mulai dari sikap yang tak ramah, peningkatan kewaspadaan terhadap jurnalis, sampai isu rencana penyuapan jurnalis yang agak ”lantang”. Perlakuan seperti ini memang susah dilogika, tapi bisa dirasakan dengan jelas.

Hingga akhirnya ketika saya menjemput dua Napi anak yang bebas dan akan dipulangkan ke orangtua mereka, saya mendapatkan teguran dari salah satu pejabat untuk tidak lagi menggunakan diksi ”penjara” dan diperintahkan mengonsultasikan tulisan ke dia sebelum dikirim ke media massa. Saya tidak membantah dan menawarkan diskusi panjang lebar tentang jurnalisme dan materi tulisan. Tapi pejabat itu menolak. Saya menjelaskan secara singkat bahwa saya memilih diksi penjara dengan sadar. Tapi, penjelasan itu sepertinya tak mampu dipahami si pejabat.

Dalam pemahaman saya, yang berhak mengedit tulisan hanya redaktur media massa, bukan pejabat penjara. Nah, hanya dengan tulisan opini yang cukup subjektif saja mereka kebakaran jenggot, bagaimana jika membaca laporan tentang Surga di Rutan Solo? Mungkin seluruh tubuh laksana yang terbakar. Setelah pejabat itu berlalu, ada beberapa sipir yang mengacungkan jempol untuk tulisan itu.

Artinya, di dalam putaran bobroknya penjara, ternyata ada orang–orang yang masih punya hati dan mengakui kondisi yang sedan berlangsung. Sebenarnya memang ada sipir yang cukup lurus menjalankan pengabdian. Mereka mengajarkan kitab suci, mendisiplinkan keimanan dan imun di tengah pusaran budaya memalak, meskipun (tentu saja) jumlahnya sangat sedikit.

Pertanyaannya adalah bisakah kita menyandarkan harapan pada sedikit sipir ini tentang penjagaan wibawa penjara? Mereka hanya sebagian kecil sipir dan terkungkung sistem yang telanjur terpuruk. Atau jangan–jangan penjara memang telah membuang wibawanya jauh–jauh, sehingga tidak perlu dijaga. (Tulisan ini murni pendapat pribadi penulis)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya