SOLOPOS.COM - Tito Setyo Budi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Sesayup  sampai terdengar kabar Kongres Bahasa Jawa (KBJ) VII akan digelar di Kota Solo pada 28–30 November 2023. Temanya Gayeng Gumregut Ngrumat Basa Jawa.

Seorang teman dosen bahasa dan sastra Jawa di Kota Semarang menanyakan apakah saya tidak ingin menulis sebuah esai untuk menyambut hajatan lima tahunan itu?

Promosi Timnas Garuda Luar Biasa! Tunggu Kami di Piala Asia 2027

Saya menyanggupi. Semula saya hendak menulis judul yang ada kata ”lestari” karena ada kata ”ngrumat” yang artinya merawat, tak jauh dari makna melestarikan.

Saya lebih memilih judul yang galak itu: menolak punah. Kenapa? Karena bahasa Jawa selama ini disalahkaprahi identik dengan sastra Jawa yang kondisinya dikabarkan lagi muram, padahal berbeda.

Sastra Jawa boleh dibilang setengah mati (dibilang sekarat juga boleh) karena guritan, crita cekak, tembang macapat kini ditulis oleh sedikit orang yang hanya itu-itu saja. Bahasa Jawa masih tetap dipergunakan oleh kebanyakan masyarakat Jawa betapa pun sudah buruk kualitasnya.

Walaupun pernah dihantui sedikit keraguan kala-kala tertentu, saya tidak yakin bahasa Jawa akan punah dalam dua sampai tiga dekade mendatang. Apa alasannya?

Pertama, saya masih memercayai yang didalilkan Nancy Dorian (1978), bahwa kepunahan hanya akan terjadi jika ada pergeseran secara total dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Kalau hanya ragamnya tidak akan membuat punah.

Kedua, disadari maupun tidak, bahasa Jawa masih memiliki arti penting sebagai identitas etnik (Hichkerson, Linguistic Anthropology, 1980). Ketiga, bahasa Jawa sebagai bahasa ibu masih diasosiasikan dengan perasaan kehangatan, keakraban, dan spontanitas (lihat: Kennedy, Ed., 1983).

Sah-sah saja ada yang mengatakan bahasa Jawa saat ini sedang mengalami kerusakan (yang geregetan menyebut: rusak-rusakan). Artinya mulai melenceng jauh dari ragam baku, meliputi struktur kalimat, ejaan, maupun pengucapan.

Misalnya, kata lara yang artinya sakit ditulis loro yang artinya dua. Bagaimana membedakan antara kalimat istriku sakit dan istriku dua, jika dua-duanya ditulis dengan kata loro?

Itulah yang berkembang dalam masyarakat Jawa dewasa ini. Lagu-lagu Jawa ciptaan Didi Kempot yang sangat populer itu, apa lacur, ditulis rata-rata dengan ejaan yang salah.

Tak ada gugatan kecuali oleh para akademikus bahasa Jawa dan orang Jawa yang masih paham ejaan, namun suaranya terlalu lirih untuk menandingi hiruk-pikuk ketidakpedulian.

Politik Bahasa

Apakah kondisi bahasa Jawa yang demikian akan terus diumbar, tak diurus, atau tak dicarikan jalan keluar agar kembali ndalan (kembali ke jalan yang benar)?

Itulah yang menjadi tugas bersama. Ya, oleh masyarakat Jawa sendiri, juga oleh pemerintah. Memang banyak yang tidak menyadari ada yang terkesan kontradiktif dalam bunyi Pasal 36 UUD 1945.

Di situ dikatakan bahwa di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan sebagainya), bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara.

Perhatikan kalimat yang sengaja saya cetak miring itu: yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik. Artinya, masyarakat pemilik bahasa daerah itu sendiri yang harus menunjukkan bentuk-bentuk pemeliharaan atas bahasa daerahnya secara konkret.

Jika ternyata masyarakat pemiliknya sendiri abai, cuek, ya mana mungkin pemerintah akan peduli? Alih-alih mau mengulurkan tangan untuk memelihara, bisa jadi ikut cuek-bebek dengan seribu dalih, terutama menyangkut anggaran.

Jika mau main ideal-idealan masih ada satu jalan, yaitu politik bahasa sebagaimana yang dirumuskan James Tollefson dalam buku Planing Language, Planning Inequality (1991). Politik bahasa adalah lebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengarahkan perkembangan bahasa.

Itu sangat tergantung pada niat awal. Realitasnya nasib buruk bahasa Jawa dimulai sejak tahun 1975, tatkala bahasa Jawa mulai disingkirkan dari kurikulum pengajaran di sekolah.

Hal itu semakin kentara dari tahun ke tahun hingga sekarang bahasa Jawa hanya menjadi muatan lokal yang sering kali mengalami penindasan dan tergusur tanpa ampun oleh pelajaran seni budaya.

Saya jadi teringat yang dikatakan sastrawan (almarhum) Arswendo Atmowiloto pada sarasehan Sastra Jawa di Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) Sasanamulya, Kota Solo, pada 1980. Dia katakan, bahasa Jawa memang harus mati dan merelakan diri sebagai pupuk bahasa nasional.

Sebuah pernyataan satire, namun segera menemukan wujudnya yang nyata. Bahwa dengan satu bahasa nasional maka peranti komunikasi menjadi seragam. Bahasa Jawa segera menjadi ornamen lapuk bagai wastra lungset ing sampiran. Artinya, pakaian yang aus dengan sendirinya di tali jemuran.

Memang ada juga pakar bahasa yang mengatakan bahwa setiap usaha yang memaksakan keseragaman atas kebinekaan merupakan tanda-tada awal kematian (lihat: De Cuellar, Our Creative Diversity, 1996), tapi seberapa banyak?

Toh, kematian bahasa tak perlu terlalu ditangisi dan dibela habis-habisan seperti kehilangan pulau. Kongres Bahasa Jawa yang untuk kesekian kali, jika tak ada aral, akan diselenggarakan di Kota Solo pada pengujung bulan ini.



Apa lagi yang hendak dirembug dan diperdebatkan? Sejak KBJ pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya terlalu banyak duplikasi saran dan masukan kepada pemerintah. (Tidak perlu disebut satu per satu di sini karena akan sangat membosankan).

Mana yang sudah ditindaklanjuti atau direalisasikan? Sembari menunggu apakah benar-benar KBJ itu akan digelar sebaiknya dengarkan saja lantunan lagu dari Budhe Waldjinah, Aja Lamis.

Sebaris liriknya berbunyi: Aja sok gampang janji wong manis yen ta amung lamis…. Jangan mudah mengumbar janji kepada kekasih jika akhirnya hanya manis di mulut. Nah, itu saja dulu.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 23 November 2023. Penulis adalah esais, pegiat budaya, pengarang sastra Jawa)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya