SOLOPOS.COM - Syifaul Arifin (Solopos/Istimewa)

Judul di atas bukan untuk mendiskreditkan pekerjaan makelar. Sama sekali bukan. Yang saya maksudkan adalah perilaku pejabat yang sudah mendapatkan gaji dan tunjangan kinerja (tukin) yang besar, tetapi masih menerima gratifikasi, suap, korupsi, hingga berperilaku lancung. Mengambil yang bukan haknya. Hal itu terlihat dari kasus pejabat Kemenkeu yang berpenghasilan puluhan juta rupiah, namun masih korupsi.

Gaji pegawai Kemenkeu tidak berbeda dengan pegawai negeri lainnya. Seperti Rafael Alun Trisambodo yang tergolong pejabat eselon III bergaji sekitar Rp5 juta. Namun, tukin yang diterimanya bisa Rp40-an juta. Nilai tukin ini berbeda dengan yang diterima pejabat setara dari kementerian atau lembaga lain. Hal inilah yang membuat PNS lain iri. Bahkan Korpri meminta pemerintah mengevaluasi tukin pegawai Ditjen Pajak. Yang selalu jadi pertanyaan adalah kenapa mereka yang bergaji besar masih saja korup?

Promosi Moncernya Industri Gaming, Indonesia Juara Asia dan Libas Kejuaraan Dunia

Seperti Rafael yang mengaku memiliki Rp56 miliar dalam Laporan Harta dan Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Tak semua kekayaannya dilaporkan. Transaksi di rekeningnya bisa mencapai Rp500 miliar. Belum aset miliknya baik yang dilaporkan dan tak dilaporkan. Ah sudahlah, ndhak usah disebut-sebut kekayaan Rafael, bikin sakit hati saja.

Ada teori yang menyatakan untuk mencegah korupsi, gaji pegawai harus dinaikkan. Bisa jadi teori itu relevan untuk pegawai rendahan. Kenaikan gaji akan menutup peluang mereka mengambil sesuatu yang bukan haknya. Mereka korupsi karena betul-betul butuh (need). Namun, cara itu tak relevan untuk para pejabat yang bergaji besar dengan fasilitas wah. Seakan minum air laut, semakin banyak harta yang mereka kantongi, semakin besar keinginan untuk menambah pundi-pundi kekayaan. Mereka itu korupsi bukan karena butuh tetapi tamak (greed). Orang seperti Rafael dan pejabat lain yang korup itu masuk kategori tamak.

Di samping hal itu, saya melihat ada mental makelar pada setiap pamong praja yang menerima gratifikasi, upeti, maupun suap. Kenapa mental makelar? Makelar adalah pekerjaan yang menjadi perantara antara penjual dan pembeli. Dalam dunia bisnis, pekerjaan itu sah. Mereka menerima pemberian dalam bentuk komisi. Dalam jual beli tanah, makelar menjadi medium, bahkan ikut menjualkan. Sebutan lainnya adalah pialang hingga broker. Dalam dunia jual beli itu, yang menerima komisi adalah yang berperan. Seberapa besar peranannya, itu soal lain. Ada yang berperan menjualkan. Ada yang mencarikan pembeli atau penjual. Ada pula yang menghubungkan penjual dan pembeli.

Pekerjaan makelar atau broker yang netral dan baik baik saja, menjadi berkesan buruk saat dilakukan oleh profesi tertentu. Apalagi jika itu dilakukan oleh abdi negara. Pegawai negeri bermental makelar. Warga ke kantor pemerintah untuk mendapat pelayanan dari PNS. Setelah urusan kelar, warga lega. PNS tersebut merasa berjasa dan menganggap wajar jika mendapatkan apresiasi berupa gratifikasi dari warga yang menerima pelayanan itu.

Ketika ada pengusaha yang mendapatkan proyek dari pemerintah, pejabat di kantor pemerintah tersebut merasa berjasa mengegolkan proyek. “Masak tak ada apa-apanya?” Demikian pikiran para pejabat bermental makelar. Maka, dia merasa patut mendapatkan sesuatu dari pengusaha pemenang proyek itu. Bentuknya gratifikasi.

Itulah mental makelar yang berbahaya jika menjangkiti. Padahal mereka sudah digaji untuk melakukan tugas itu. Bahkan gaji PNS lebih besar daripada buruh atau karyawan kebanyakan. Mereka sudah mendapatkan honor saat menjadi panitia pengadaan barang. Mereka sudah mendapatkan tukin saat bertugas. Kenapa harus minta lagi?

Karena mereka merasa berjasa besar sehingga harus mendapatkan apresiasi berupa uang, barang, atau fasilitas lain di luar pendapatan resmi. Mereka bermental makelar dan tamak. Belum lagi yang masuk kategori makelar kasus. Dalam makelar kasus, seorang PNS atau aparat penegak hukum secara ilegal mengusahakan atau membantu kemenangan pihak tertentu yang sedang berkasus.

Makelar kasus (markus) ini banyak terjadi di lembaga hukum. Mereka membantu pihak yang berkasus bukan tanpa biaya. Tak ada makan siang gratis, demikian yang mereka yakini. Merasa berjasa lalu minta apresiasi berupa gratifikasi adalah penyakit di masyarakat. Saya sebut demikian karena sering muncul perasaan itu. Padahal yang dilakukan adalah tugas se hari-hari.

Hal ini terkonfirmasi oleh Donald R. Cressey dengan teori triangle fraud (segitiga kecurangan). Ada tiga penyebab kecurangan yaitu tekanan (kebutuhan ekonomi), kesempatan, dan rasionalisasi. Dari tiga hal itu, yang banyak menjangkiti pejabat korup adalah rasionalisasi terhadap korupsi mereka. Mereka merasa yang dilakukannya wajar dan tidak salah.

Ibarat talang air, mereka mengang gap wajar jika ikut basah atau kecipratan rezeki. Soal talang air, izinkan saya mengutip cerita tentang Pak Abdur Rozak Fachruddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1968-1990. Lama sekali Pak AR, demikian panggilan akrabnya, memimpin Muhammadiyah. Akan tetapi hidupnya tetap sederhana. Penulis Syaefudin Simon yang pernah indekos di rumah Pak AR di Jogja menceritakan zuhud atau sederhananya Pak AR. Sebagai pimpinan Muhammadiyah, Pak AR sering menerima titipan uang dari pejabat maupun pengusaha. Uang itu langsung diserahkan kepada Muhammadiyah maupun dibagikan kepada fakir miskin tanpa sisa. Hidupnya tetap sederhana dan pas-pasan. Anaknya bernama Fauzi pernah nyeletuk, “Talang kok ora teles [talang kok tidak basah].” “Yo ben, wong iki talang plastik [Ya biar, wong ini talang plastik],” timpal Pak AR.
(Artikel ini telah dimuat di Harian Solopos, Jumat 24 Maret 2023. Penulis adalah wartawan Solopos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya