SOLOPOS.COM - A.J. Susmana (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Ekonom  Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri meminta sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mundur dari kabinet.

Menteri yang layak mengundurkan diri, menurut Faisal, termasuk Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono.

Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia

Alasan para menteri itu sebaiknya mundur dari Kabinet Indonesia Maju adalah pemerintahan Presiden Joko Widodo berpihak kepada pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada Pemilu 2024.

Dalam perspektif Faisal, pasangan ini apabila memenangi Pemilu 2024 justru akan menambah utang hingga Rp16.000 triliun. Menurut Faisal, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati adalah menteri yang paling siap mundur dari Kabinet Indonesia Maju.

Mundurnya para menteri itu  akan menjadi pemicu yang dahsyat yang mungkin bisa membuat Presiden Joko Widodo mundur seperti ketika  Ginandjar Kartasasmita (Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Keuangan dan Industri) dan 13 menteri lainnya mundur dari kabinet pada masa akhir kekuasaan  Presiden Soeharto.

Ginandjar dan 13 menteri lain mundur kemudian mempercepat Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Dalam perspektif saya, Faisal Basri lupa bahwa situasi sudah jauh berbeda.

Situasi sekarang tidak seperti yang digambarkan penyair Wiji Thukul dalam puisi legendaris berjudul Peringatan. Kalimat penutup puisi itu menjadi seruan perlawanan terhadap tirani Presiden Soeharto: Hanya ada satu kata: Lawan!

Saat ini setidaknya ada demokrasi. Partai-partai politik bisa didirikan dengan lebih bebas. Lembaga-lembaga penguat demokrasi dan hak-hak rakyat didirikan. Demontrasi bukan kriminal yang bisa dituduh subversif dan komunis.

Demonstrasi saat ini menjadi hak dan cara demokratis rakyat dalam mengemukakan pendapat yang dilindungi undang-undang. Kini  rakyat  berani mengeluh. Bisa mengeluh kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), kepada Ombudsman, kepada Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan lain-lain.

Kini rakyat bahkan bisa menyampaikan aspirasi dan kritik di jalanan dan di depan istana kepresidenan. Itu artinya situasi negara tidak gawat karena ada saluran untuk berbagai keluhan rakyat.

Omongan penguasa boleh dibantah, bahkan bisa dibantah dengan sesuka hati atau sakpenake wudele dhewe kata orang Jawa. Bantahan tidak perlu ilmiah dan tidak harus memberikan solusi atau tidak harus konstruktif.

Kebenaran  tidak pasti. Kebenaran selalu bisa didiskusikan dan diperdebatkan. Hampir tak ada  usul yang ditolak tanpa ditimbang, hanya mungkin diabaikan karena berbagai alasan, tapi usulan yang baik tentu diterima.

Oposisi

Hampir tak ada suara dibungkam dan kritik dilarang tanpa alasan. Kini tak ada seseorang dengan gampang dituduh subversif atau mengganggu keamanan sehingga bisa dilenyapkan begitu saja seperti pada era Orde Baru.

Situasi jelas sudah berubah, apalagi bila kita ingat kata-kata bijak Herakleitos, filsuf Yunani abad ke-4 SM, bahwa segala sesuatu mengalir dan berubah. Jadi, tentu saja kondisi saat menteri-menteri Presiden Soeharto mundur berbeda dengan situasi saat ini.

Waktu itu ada gerakan protes massal yang berhasil melawan rambu-rambu larangan demonstrasi yang dibuat  rezim Soeharto. Sekarang tidak ada larangan untuk mengemukakan pendapat dalam berbagai cara selama dalam koridor demokrasi, bukan kekerasan.

Dengan begitu, mundurnya para menteri seperti perspektif Faisal Basri tak akan ada gunanya. Menteri yang mundur tinggal diganti dan pasti banyak  yang siap menggantikan.

Kalau kita melihat peta Pemilu 2024,  seharusnya yang bersiap-siap mundur adalah menteri-menteri dari Koalisi Perubahan, yaitu menteri-menteri dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)  yang mengusung calon presiden-calon wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Jelas terlihat bahwa Anies-Muhaimin mengibarkan bendera oposisi. Para menteri dari partai politik pendukung merekalah yang seharusnya secara moral mundur, bahkan dalam kondisi siap atau tidak siap.

Anies Baswedan sebagai calon presiden memang sudah menempatkan dirinya sebagai oposisi. Dalam debat calon presiden kelihatan jelas bahwa Anies mencari dan mengemukakan distingsi dengan kekuasaan sekarang yang visi dan misinya hendak dilanjutkan secara jelas dan tegas oleh calon presiden Prabowo Subianto.

Karena itulah, Anies mengusung slogan perubahan untuk tidak melanjutkan visi dan misi penguasa sekarang. Partai Nasdem dan PKB sebagai pengusung Anies-Muhaimin yang sedang beroposisi itu sampai sekarang tidak juga menarik kader-kadernya keluar dari lingkaran kekuasaan Presiden Jokowi.

Tindakan ini tentu saja mengabaikan konsepsi oposisi Anies-Muhaimin, bahwa menjadi oposisi  adalah juga menempuh jalan politik yang terhormat yang seharusnya tangguh dan tidak  larut dalam godaan kekuasaan.

Jadi, kapan menteri-menteri dari Partai Nasdem dan PKB mundur dari Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin Presiden Jokowi? Kapan pula menteri-menteri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mundur apabila sudah tak sejalan dengan Presiden Jokowi?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 20 Januari 2024. Penulis adalah aktivis kebudayaan dan anggota Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat atau Jaker)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya