SOLOPOS.COM - Mukhlis Mustofa (Solopos/Istimewa)

Euforia ibadah Puasa Ramadan seakan menjadi menu wajib di negeri ini tanpa ada gangguan sekecil apa pun. Harus ada dan diada-adakan mengakar kuat pada mainstream mayoritas umat Islam Indonesia. Terlepas makna hakikat puasa,  tanpa disadari, warga negeri ini terbelenggu kapitalisme semu. Perspektif ini sedemikian kuat mengakar. Puasa di tengah melambungnya harga komoditas esensial menjadikan beratnya godaan menjalankan dengan penuh euforia.

Galibnya perubahan ini sontak menguak nalar kehidupan dan menerobos kenyataan. Manakala puasa semua pihak berlomba–lomba tampil sempurna dengan mengonsumsi barang serba berbeda dibandingkan hari biasa, serba wah dan sekaligus diupayakan serba menyenangkan. Mudah ditebak pemenuhan kebutuhan tersebut menggerakkan alam bawah sadar, menghamba pada sesuatu yang irasional.

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Gayung pun bersambut. Penguasa modal melihat ini sebagai ceruk pasar menggiurkan sehingga segala daya upaya dilakukan agar mendulang rupiah. Fenomena ini sulit dipahami Bulan Puasa yang seharusnya menahan diri, praktiknya marak aksi borong komoditas.

Kondisi ini diperparah dengan minimnya pencerdasan umat. Kajian di masjid atau musala tidak berdaya menghadapi tingkah polah umat. Hedonisme dikedepankan. Slogan kebersahajaan hidup tidak ada bekasnya.

Umat dipaksa tunduk pada hukum pasar namun dan tidak merasa dizalimi. Beragam keluhan berupa meroketnya harga barang tinggal keluhan semata sementara sang pengambil kebijakan sibuk berkata-kata tanpa tindakan nyata. Fenomena itu memunculkan pertanyaan besar bagaimana selayaknya kita memosisikan puasa dalam nalar berpikir umat Islam?.

Konsumerisme Tanpa Arah

Mekanisme pola konsumsi publik menjelang puasa memunculkan dinamika sosial serba dipaksakan. Minim perencanaan, membabi buta berbelanja, dan minim fungsi control. Hal itu menjadi pola khas sepanjang masa saat Ramadan. Pola ini semakin meneguhkan kesan negeri sebatas sebagai bangsa pencitraan. Kisah baju koko dan hijab menjadi fenomena unik. Manakala Bulan Ramadan dan Syawal tiba, komoditas tersebut laris manis. Baju itu seakan untuk menunjukkan derajat takwa. Manakala Ramadan dan Syawal berlalu, baju model lain yang ngehits.

Kisah koko dan hijab di atas menisbikan esensi agama dalam kehidupan sehari-hari, seakan agama hanya muncul pada Ramadan dan Syawal sementara pada bulan lainnya tak kelihatan dampaknya.

Secara pedagogik hal tersebut menunjukkan kegagalan pembelajaran. Yang diutamakan adalah pencitraan diri daripada kenyataan. Adagium yang berkembang pun menjadi lelucon serba konyol. Berbohonglah, korupsilah, manipulasilah sepanjang hal tersebut dilakukan di luar bulan Ramadan. Saat Ramadan, berhentilah berbuat maksiat. Fenomena tersebut menular pada mekanisme ibadah umat. Sudah menjadi rahasia umum, masjid ramai saat awal Ramadan. Di luar itu, jemaah berpindah ke pusat perbelanjaan.

Hakikat pembelajaran yang seharusnya dipraktikkan dan membekas sepanjang hayat manusia tidak pernah terwujud manakala fenomena ini masih tumbuh subur. Edukasi akal sehat tak terjadi, terlihat dari pola konsumsi puasa itu sendiri. Saya teringat manakala membelajarkan kegiatan ekonomi pada siswa SMP. Yang ditekankan adalah pola konsumsi harus dilakukan dengan logika sehat dan realistis. Namun, edukasi itu dikacaukan dengan aksi borong di masyarakat.

Pola pikir konsumerisme tanpa arah ini berpengaruh pada mentalitas masyarakat serba permisif dan menurunkan nalar edukatifnya. Menjelang Ramadan, hampir seluruh kalangan berkeinginan menyelenggarakan puasa sebaik mungkin. Sayangnya itu semua tanpa pelaksanaan jelas, sekadar basa-basi.

Karena itu, yang perlu dilakukan adalah menjalankan ibadah puasa secara rasional dan mengesampingkan emosional. Mungkin akan dianggap aneh, beda, dan asing, jika melaksanakan puasa yang demikian.  Padahal yang demikian adalah puasa yang pernah berkah. Puasa penuh berkah bukan diwarnai bisa berbelanja apa saja yang diinginkan. Merealisasikan  puasa yang berbeda ini dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek.

Pertama, jadikan puasa ini momentum perubahan. Berpuasa tidak berarti menukar nalar positif demi pemenuhan hasrat sesaat dan meminggirkan nalar ilmiah. Kontrol perilaku konsumtif pada masa Ramadan agar ibadah bisa berdampak vertikal maupun horizontal. Butuh perubahan pemikiran dan praktik secara revolusioner.

Kedua, berpuasa secara cerdas. Tak perlu banyak menguras uang berlebihan adalah esensi pokok agar perayaan puasa Ramadan berlangsung elegan. Ukur kemampuan dan kebutuhan secukupnya. Biar tak terjerembab pada kemubaziran. Beli baju secukupnya. Konsumsi boleh, konsumerisme jangan. Pakaian dengan simbol tertentu tidak linier dengan keimanan. Pakaian hanyalah asesori.

Dengan berpuasa secara beda itu, setelah Ramadan usai, akan terlahir pribadi baru seutuhnya. Selamat berpuasa dengan penuh kecerdasan. 

(Artikel ini telah dimuat di Harian Solopos, Kamis, 30 Maret 2023. Penulis adalah Dosen PGSD FKIP Universitas Slamet Riyadi  dan Konsultan Pendidikan Yayasan Pendidikan Jama’atul Ikhwan Solo)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya