SOLOPOS.COM - Eduardo Edwin Ramda (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Lonceng tanda pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 telah berbunyi seiring dengan penetapan kandidat presiden-kandidat wakil presiden dan para calon anggota legislatif di semua tingkatan (DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kupaten/kota).

Masa kampanye pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024 beririsan dengan masa adven dan natal dalam kalender liturgi gereja Katolik. Jelas hal ini merupakan bahan perenungan yang menarik dalam masa penantian kehadiran pemimpin baru.

Promosi Ayo Mudik, Saatnya Uang Mengalir sampai Jauh

Dalam waktu bersamaan umat Katolik menjalani peristiwa iman dan peristiwa politik. Kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang akan berakhir pada 2024 menyudahi periode pemerintahan yang telah berjalan 10 tahun.

Hajatan lima tahunan pemilu kali ini akan melahirkan pemimpin baru. Mereka yang hari ini berkontestasi dalam pemilihan presiden-wakil presiden memiliki latar belakang yang beragam, namun mayoritas berpengalaman sebagai kepala daerah.

Tidak ada di antara mereka yang patut diragukan kapabilitasnya. Momentum pesta demokrasi pada aras ideal semestinya dirayakan dengan suka cita. Seraya memadukan suara untuk memuji Tuhan, perlu juga bagi kita untuk memastikan hak suara yang kita miliki tersalurkan.

Demikianlah tertulis agar kiranya kita [umat Katolik] memberikan apa yang menjadi hak Tuhan dan hak bagi kaisar (dalam hal ini negara). Kekisruhan dialektika dan diskursus yang terjadi akhir-akhir ini menggiring kita pada pesimisme bahwa Pemilu 2024 akan berjalan damai.

Masih jelas dalam benak kita betapa keruhnya kolam percakapan publik akibat putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial. Belum lagi adanya gemuruh gosip yang menyebut tentang pengerahan alat negara dalam pesta demokrasi kali ini.

Tentu saja ini bukan kabar gembira untuk publik, apalagi bagi mereka yang mengimpikan pemilu damai, jujur, dan adil.  Isu lainnya seperti perusakan alam Desa Wadas dan blunder-blunder lainnya yang dibuat caolon presiden Ganjar Pranowo menjadi penyulut perdebatan.

Isu intoleransi yang acap kali dilekatkan pada sosok Anies Baswedan juga bagian dari narasi yang digagas tim sukses untuk saling menjatuhkan satu sama lain.

Machiavelli mengatakan bahwa kekuasaan harus direbut dengan beragam cara, tanpa peduli harus memakai trik yang paling kotor sekalipun.

Intrik kotor yang selama ini mengemuka patut diduga sebagai implementasi politik ala Machiavelli. Damai Natal berpotensi rungkad tatkala percakapan subjektif kandidat presiden dan kandidat wakil presiden lebih mengemuka.

Alih-alih bicara soal jagoan masing-masing, hari ini gereja dihadapkan pada banyak persoalan. Isu persetujuan bangunan gedung tempat ibadah di berbagai paroki yang tak kunjung terbit hingga persekusi pelaksanaan ibadat dan diskriminasi umat dalam ruang publik tak kunjung tuntas.

Kendati demikian, porsi anggaran untuk penyelenggaraan kegiatan pembinaan umat Katolik semakin terasa nyata, misalnya dalam pelaksanaan pesta paduan suara gerejani atau pesparani.

Jika ditelisik secara detail, dokumen visi dan misi para kandidat presiden dan kandidat wakil presiden kompak menyuarakan isu tentang hubungan antaragama dan kepercayaan. Setiap kandidat presiden dan kandidat wakil presiden memiliki cara pandang dan gagasan masing-masing.

Kendati demikian, narasi yang dikemukakan masih pada tataran permukaan. Narasi inilah yang patut untuk didekonstruksi oleh publik sebab ada kedamaian yang dipertaruhkan bilamana hal ini tidak tuntas.

Penting bagi publik untuk mengejar derivasi program para kandidat presiden dan kandidat wakil presiden karena isu ini adalah masalah besar yang sewaktu-waktu bisa meruntuhkan kesatuan bangsa.

Daripada terjebak dalam kekisruhan putusan Mahkamah Konstitusi yang telanjur final dan binding atau luka lama pembatalah Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20, sebaiknya diskusi diarahkan pada adu gagasan dan program.

Pemanfaatan kehendak bebas dalam memilih hendaknya dijalankan dengan basis berpikir yang subjektif. Tak semua suara yang berkembang di luar sana bebas dari kepentingan politik praktis karena mereka memiliki preferensi politik tersendiri.

Dengan demikian, pandangan politik yang beredar berpotensi tidak jernih. Perlu analisis yang mendalam dalam menentukan pilihan melalui studi literasi dan penilaian objektif atas gagasan yang dikemukakan.

Sebagai catatan, mereka yang hari ini bertarung dalam pemilihan presiden pada dasarnya berangkat dari capaian penguatan toleransi yang mentereng. Perlu diingat bahwa mereka yang hari ini bertarung adalah manusia, bukan dewa.

Ada sisi plus dan minus yang melekat dalam diri mereka. Gagasan minus mallum ala Rama Franz Magnis Suseno jelas menyampaikan pemahaman bahwa dalam suatu pemilu kita tak memilih yang terbaik, melainkan memastikan yang terburuk tidak terpilih.

Kalaupun referensi kita hari ini didominasi oleh parade keburukan para kandidat, gunakanlah kehendak bebas kita untuk memilah dan memilih informasi sebelum menjatuhkan sikap politik.

Demi gereja dan bangsa, semestinya kita aktif dalam perayaan pesta demokrasi sebagai bagian dari penantian atas juru selamat. Mereka yang akan dipilih hendaknya mampu menjadi juru selamat atas rangkaian persoalan umat.

Pilihan umat yang variatif sebenarnya harus disertai dengan daya tawar yang jelas. Jangan sampai dalam hening Natal 2023 kita terpecah belah akibat persoalan cover, namun abai pada substansi yang menjadi persoalan pokok.



Dengan gembira kita bersama melangkah menuju pesta demokrasi yang jujur dan adil. Pemilu 2024 adalah rahim bagi mereka yang hari ini bertarung untuk lahir jadi pemimpin baru.

Dalam proses tersebut, masa kampanye menjadi momentum penantian yang sakral sehingga disayangkan bila terjadi konflik di dalamnya.

Pada akhirnya, selamat memasuki masa Adven. Biarkanlah langit Nusantara bersuka cita menyambut kelahiran pemimpin baru dari rahim demokrasi.

Kosongkanlah kedengkian dalam berpolitik karena bisa jadi pada akhir keakraban politik berubah setelah pertarungan. Plot twist Pemilu 2019 bisa saja terjadi lagi dan jika terjadi lagi tampaknya para elite sudah terbiasa dengan rekonsiliasi.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 1 Desember 2023. Penulis adalah Ketua Bidang Riset dan Kebijakan Publik Pengurus Pusat Pemuda Katolik)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya