SOLOPOS.COM - FOTO/Ist

FOTO/Ist

Agung Pambudi

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret

Dunia hukum Indonesia baru saja berduka. Seorang anak bangsa bernama Bismar Siregar menghadap Sang Khalik pada Kamis (19/4). Bismar Siregar adalah seorang hakim. Semasa hidup, ia cenderung dianggap sebagai sosok hakim yang ”kontroversial”. Hal tersebut bisa dilihat dari putusan-putusan yang dia hasilkan.
Salah satu sikap kontroversial Bismar adalah keberaniannya menerobos asas hukum. Di saat hakim lain diikat asas ultra petita (hakim tidak bisa memutus melebihi apa yang dituntut), Bismar sering memutus perkara melebihi dari yang dituntut. Memang seperti itulah Bismar Siregar. Sikapnya ini yang sering dinilai kontroversial.
Bismar sangat sadar bahwa ada kesenjangan yang nyata antara teks hukum (undang-undang) dengan tujuan hukum. Ia sadar bahwa tidak selamanya teks hukum dapat mewujudkan tujuan hukum. Oleh karena itu Bismar selalu menanyakan kepada hati nuraninya sebagai seorang manusia jika memutus perkara.
Karier hakim Bismar Siregar dimulai dari jaksa di Kejaksaan Negeri Palembang (1957-1959) sampai menjabat sebagai hakim agung periode 1984-1995. Kasus yang pernah di tangani Bismar bervariasi.
Ia pernah mengubah hukuman bagi kepala sekolah yang mencabuli muridnya sendiri yang semula tujuh bulan berdasar vonis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungbalai menjadi tiga tahun di vonis banding Pengadilan Tinggi (PT) Sumatra Utara.
Masih di PT Sumatra Utara, Bismar pernah melipatgandakan hukuman hingga 10 kali terhadap terdakwa kasus narkoba bernama Cut Mariana dan Bachtiar Tahir menjadi masing-masing 15 tahun dan 10 tahun. Kekontroversialan Bismar tidak hanya itu. Masih banyak kisah kontroversi lainnya.

Tujuan Hukum
Merunut ke belakang, Indonesia menempatkan dirinya sebagai negara hukum. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berbunyi: Negara Indonesia adalah negara hukum.
Hal ini berkonsekuensi dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara harus berdasarkan hukum. Hukum berisi aturan dan norma yang mengikat serta disertai sanksi dan diberlakukan secara ”paksa”.
Adapun tujuan hukum ada tiga tingkatan. Tingkat paling tinggi bernama keadilan, tingkat kedua bernaung kemanfaatan dan yang terendah adalah kepastian hukum.
Tujuan keadilan inilah yang sering tidak tercapai dalam dunia hukum Indonesia. Kecenderungan berhukum secara tekstual masih kental dalam hukum Indonesia (positivistik). Padahal, berhukum secara tekstual sering menimbulkan kekacauan nurani.
Kegagalan berhukum secara teks telah mengisyaratkan ”kegagalan” hukum itu sendiri dalam memecahkan suatu permasalahan. Kasus pencurian kakao oleh perempuan lanjur usia bernama Minah, kasus pencurian sandal jepit oleh remaja berisinial AAL di Palu adalah sebagian kecil contoh ”kegagalan” berhukum secara tekstual dalam bekerja.
Salah satu sifat penting dari hukum tertulis terletak dalam kekakuannya (lex dura sed tamen scripta, hukum itu keras/kaku, tetapi begitulah sifat tertulis itu). Begitu hukum itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, perhatian bergeser kepada pelik-pelik penggunaannya sebagai dokumen tertulis.
Apabila semula berhukum itu berkaitan dengan masalah keadilan atau pencarian keadilan, sekarang kita dihadapkan kepada teks, pembacaan teks, pemaknaan teks, dan lain-lain (Satjipto Rahardjo, 2010:9).

Keberanian
Harus diakui berhukum secara tekstual mempunyai keterbatasan untuk memecahkan permasalahan. Berhukum secara tekstual bersifat kaku sehingga perlu sesuatu untuk disesuaikan agar tujuan hukum yang hakiki (keadilan) dapat tercapai.
Dalam hal ini diperlukan hakim yang mampu memformulasikan hukum tertulis yang kaku menjadi hukum yang mencerminkan tujuan hukum, terutama keadilan. Satu-satunya cara adalah jika hakim memutus suatu perkara harus menggunakan nuraninya sebagai manusia. Bismar adalah salah satu contohnya.
Keberanian Bismar untuk melibatkan nuraninya sebagai manusia dalam menangani perkara harus menjadi teladan bagi semua. Menempatkan posisi ”hukum untuk manusia” di tengah kultur profesional hukum tidaklah mudah.Mewujudkan keadilan melalui putusan hakim kadang kala terlampau sulit untuk dilakukan.
Hukum tertulis yang kaku dan sistem hukum yang tidak mengizinkan hakim untuk ”bermanuver” dengan nurani adalah hambatan menuju indahnya keadilan dalam berhukum.
Pola Bismar yang out of the box dan berbeda dengan hakim lain menjadikannya sebagai tokoh yang kontroversial. Namun, di balik kontroversi itu tersimpan nilai keadilan yang luar biasa. Tiada yang lebih indah dari nilai kebenaran.
Meminjam istilah Thoreau: daripada cinta, daripada uang, daripada keyakinan, daripada kemasyhuran, daripada kejujuran, berilah aku kebenaran. Kita tentunya berharap kebenaran yang hakiki akan menimbulkan keadilan yang hakiki pula.
Dalam memutus perkara, Bismar sering berdiskusi dengan istrinya. Ia mendiskusikan bagaimana jika suatu kasus dilihat dari kaca mata perempuan. Kepekaan emosi perempuan dalam menyikapi suatu permasalahan digunakan Bismar sebagai bahan renungan dalam menghadapi kasus.
Kecenderungan laki-laki untuk berpikir rasional dan kecenderungan emosional dari perempuan dipadukan oleh Bismar untuk mewujudkan keputusan yang lebih bijaksana. Namun, bukan berarti dia dipengaruhi oleh istrinya.
Posisi hakim di dunia sering diistilahkan satu kaki di neraka kaki yang yang lain di surga. Analogi tersebut pantas disematkan kepada hakim, dia ketuk palunya dapat menentukan nasib seseorang.
Bahkan kematian seseorang bisa ditentukan hakim. Hakim juga sering diistilahkan penjelmaan Tuhan di dunia ini. Analogi tersebut menempatkan profesi hakim menjadi sangat mulia jika dipegang oleh hakim yang berintegritas baik, namun profesi hakim menjadi sangat hina jika dipegang oleh hakim yang berintegritas buruk.
Bismar Siregar adalah pendekar hukum sejati. Akan tetapi, sehebat apa pun kemampuannya, Bismar tetap seorang manusia biasa. Bahwa setiap yang bernyawa pasti mengalami kematian, begitu pula manusia, begitu pula Bismar Siregar. Semasa hidupnya, Bismar memberi contoh bagaimana menerapkan hukum progresif. Hukum yang bertujuan untuk meraih keadilan.
Meski secara ragawi Bismar Siregar sudah mengalami kematian, namun berbagai pemikiran, keberanian serta integritasnya tidak boleh ikut mati dan terkubur di bumi Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya