SOLOPOS.COM - Arif Yudistira (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Dalam  rentang peradaban sejak paling purba hingga kini, soal anak tak pernah lekang dari perbincangan. Perbincangan tentang anak selalu mencakup soal masa depan. Memikirkan anak adalah memikirkan soal yang akan datang.

Keberlangsungan masa yang akan datang tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab manusia dewasa. Manusia memerlukan eksistensi paling dekat melalui pendidikan, kepedulian, dan perhatian kepada anak.

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Anak-anak tetaplah bukan individu bebas. Mereka amat bergantung kepada orang dewasa. Secara ekonomi, secara kepribadian, sampai pada secara kemandirian mental.

Sigmund Freud menggambarkan kondisi demikian dengan tamsil melihat anak lekaki dengan sosok ibunya. Anak mulanya menyusu pada ibunya. Sampai pada tahap tertentu anak akan menyadari secara organ ia menemukan dirinya berbeda dengan ibunya.

Saat anak laki-laki menyadari dan mengalami proses lepas dari tahap bersama ibunya itulah pelan-pelan anak menjadi mandiri dan lepas dari ketergantungan. Proses pendewasaan, pendidikan, dan kemandirian orang Indonesia memang berbeda dari cara orang Barat mendidik anak-anak.

Anak-anak kita saat menangis mendorong orang tua lekas memeluk dan menenangkan. Orang Barat membiarkan anak menangis sembari memberi waktu kepada sang anak menyelesaikan sendiri permasalahannya.

Generasi Strawberry

Anak-anak kita mirip strawberry. Demikian kata Rhenald Kasali. Manja yang berlebihan serta ketergantungan terhadap semua yang sudah ada—taken for granted—membuat anak-anak kita lemah mental dan gampang mewek.

Rhenald membandingkan dengan strawberry yang kelihatan enak dipandang, tetapi lekas rusak. Lemah mental, tidak biasa mandiri, sekaligus amat bergantung pada sokongan orang tua membuat anak kita berjiwa amat rapuh.

Mereka tidak biasa menghadapi problem hidup sendiri. Ketika orang tua melepas ikatan maternal, sang anak tidak bisa langsung bangkit dan mandiri.

Saya jadi ingat kisah di pondok pesantren tempat saya terlibat dalam pengelolaan. Banyak anak yang mengalami shock culture dan tidak mau lepas dari orang tua. Mereka memerlukan waktu cukup lama untuk bisa lepas dari ketergantungan maternal.

Membangun kemandirian, kreativitas, dan pemantapan jiwa raga menjadi pendidikan yang jamak diabaikan. Aspek kognitif menjadi yang paling dominan dikejar dalam pendidikan di sekolah kita, padahal anak-anak memerlukan pendampingan, didikan, agar tubuh fisik dan mentalnya tumbuh dengan baik.

Membiarkan anak-anak kita dalam dekapan terus-menerus hanya mengubur dan mematikan mentalitas mereka secara perlahan. Jarang orang tua menyadari bahwa tidak memberi ruang kepada anak untuk menunjukkan eksistensi adalah bagian dari merampas kemerdekaan mereka.

Anak-anak kita saat ini juga mengalami masalah krusial terkait teknologi informasi dan segala kecanggihannya. Arus deras informasi berbasis teknologi ini membawa mereka menjadi pencandu game, penonton televisi yang latah, sampai peselancar di Internet tanpa pelindung.

Teknologi digital telah merampas dan merusak sistem kesadaran paling dominan: otak. Otak dan pikiran anak-anak dirampas bersama hadirnya kecanggihan teknologi seperti telepon pintar. Aktivitas fisik terhambat, gerak pikiran lambat, kesadaran pada lingkungan terdekat mati.

Anak-anak saat ini seperti anak ayam kehilangan induk. Mereka diasuh dan diasah oleh teknologi dan media sosial. Dibesarkan oleh lingkungan yang keras, kejam, namun dibalut kelembutan dan cinta kasih semu.

Simulakra di media sosial membuat anak tampil bak bintang, selebritas, penguasa panggung jagat ini. Permainan alam digantikan dengan aneka game yang membius mata dan pikiran mereka.

Sehari bermain game seolah-olah tak ada masalah. Mereka dirayu dengan aneka hadiah dan reward. Kesejukan alam, nyanyian burung, kokok ayam, serta kerindangan pohon mulai ditinggalkan anak-anak kita.

Objek Proyek

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat ada 9.645 kasus kekerasan terhadap anak sampai Mei 2023. Kekerasan itu dilandasi berbagai motif, baik internal keluarga maupun pengaruh lingkungan dan komunitas.

Yang lebih menyedihkan saat Presiden Joko Widodo membuka fakta pejabat pemerintahannya yang hobi memanipulasi dana penanganan stunting dan masalah anak. Presiden Joko Widodo mengeluh dana mengatasi stunting justru habis untuk rapat.

Perbaikan gizi tidak kunjung berubah. Angka penurunan stunting tidak signifikan. Anak masih menjadi objek proyek dan kebijakan pemerintah yang justru tidak adil.

Proyek perbaikan gizi dan penanganan stunting hanya satu dari beragam proyek yang mengarah pada anak, tapi tidak kunjung mengalami perbaikan.

Proyek-proyek itu menjadi arena bancakan dan rebutan anggaran oleh para pejabat di negeri kita. Sebagai sosok yang lemah, nasib anak-anak Indonesia justru makin rentan ditikam dan dihancurkan.

Dari sisi ketercukupan gizi dan kebutuhan makanan, masih banyak yang kekurangan. Sementara hak-hak mereka dalam pendidikan, kesehatan, dan mental makin tak terpenuhi. Walakin, kita masih terus menyemai harapan sembari terus cemas melihat nasib dan keadaan anak-anak kita.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 31 Juli 2023. Penulis adalah peminat topik dunia pendidikan dan  anak. Saat ini bekerja di PPM MBS Yogyakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya