SOLOPOS.COM - Artis sekaligus pengusaha karaoke Inul Daratista memberikan keterangan pers seusai pertemuan dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di Graha Sawala, Gedung Ali Wardhana, Jakarta, Senin (22/1/2024). Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menyatakan pemerintah tidak pernah melibatkan para pelaku usaha atau asosiasi di sektor terkait selama proses penyusunan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKDP) terkait kenaikan tarif pajak hiburan sebesar 40%-75%. (Antara/M. Risyal Hidayat)

Para pengusaha hiburan, termasuk pengusaha spa dan karaoke, di banyak daerah keberatan dengan rencana pemberlakuan pajak hiburan antara 40%-75%.

Pemberlakuan pajak ini berlandaskan Undang-undang tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang mulai diberlakukan pada 2024 ini.

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang berlaku per Januari 2024 itu pada salah satu pasal mengatur tarif pajak barang dan jasa tertentu atau PBJT yang di dalamnya terdapat jasa kesenian dan hiburan.

Dari 12 kelompok jasa dan hiburan, 11 di antaranya dikenakan pajak maksimal sebesar 10%. Sedangkan satu kelompok lain, yaitu diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa dikenakan pajak 40%-75%.

Para pengusaha karaoke di Kabupaten Wonogiri menilai pajak hiburan 40% hingga 75% tidak rasional. Mereka menganggap itu sama dengan bagi hasil. Tentu bagi hasil dan salah satu pihak tanpa urun modal.

Pemberlakuan pajak hiburan baru 40% hingga 75% menambah beban operasional mereka, apalagi basis penghitungannya adalah keuntungan kotor atau malah pendapatan kotor. Para pengusaha karaoke juga harus membayar royalti hak cipta lagu.

Pembayaran royalti lagu ini tentu saja mencapai jutaan rupiah tiap periode tertentu, misalnya tiap bulan. Konsumsi listrik untuk usaha tersebut juga sangat besar. Belum lagi membayar gaji karyawan.

Pembayaran pajak akan makin terasa berat ketika basis penghitungannya adalah pendapatan kotor. Pajak 40% hingga 75% persen tersebut seharusnya dibayar oleh konsumen. Ketika  konsumen tak membayar pajak itu, pengusaha hiburan yang harus membayar dari pendapatan kotor.

Ketika 40% pendapatan kotor harus untuk membayar pajak hiburan dan keuntungan yang diperoleh hanya berkisar 10% tentu pengusaha akan kebingungan bagaimana cara menbayar pajak sebesar 40% itu.

Para pengusaha hiburan itu juga menanggung pajak dagang 22%, pajak pengusaha perorangan, pajak progresif, pajak penghasilan karyawan. Besaran pajak seharusnya mencerminkan keseimbangan antara kepentingan pemerintah dalam meningkatkan pendapatan dan keberlanjutan usaha.

Pemerintah perlu menyadari kontribusi industri hiburan terhadap perekonomian lokal dan lapangan kerja, serta menekankan pentingnya mendukung keberlangsungan dan keberlanjutan operasional mereka.

Merasionalkam pajak hiburan menjadi jalan paling logis. Judicial review undang-undang menjadi salah satu langkah teknisnya. Undang-undang tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah disusun, dibahas, hingga disahkan pada masa akhir pandemi Covid-19.

Sangat mungkin penyusunan undang-undang ini belum berlandaskan partisipasi aktif pemangku kepentingan terkait. Judicial review di Mahkamah Konstitusi menjadi cara merasionalkan ketentuan pajak itu secara konstitusional.

Rasionalisasi lainnya adalah menunda pemberlakuan ketentuan pajak itu hingga judicial review diputuskan. Penyusunan peraturan daerah sebagai operasionalisasi undang-undang itu harus mewujudkan partisipasi bermakna. Dengan demikian ketahuan secara konkret kemampuan wajib pajak penyelenggara hiburan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya