SOLOPOS.COM - Moh. Khodiq Duhri (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Salah  satu momentum yang ditunggu-tunggu oleh sebagian masyarakat Jawa Tengah pada Syakban dalam penanggalan Hijriah atau Ruwah dalam penanggalan Jawa adalah tradisi sadranan.

Tradisi ini terawat dengan baik di banyak daerah, termasuk di Soloraya.  Bagi warga di daerah-daerah itu momentum sadranan atau biasa disebut nyadran sangatlah istimewa. Ada yang menyebut momentum nyadran sama istimewanya dengan Idulfitri.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Level istimewanya bahkan sedikit lebih tinggi daripada Iduladha. Indikatornya sederhana. Di kampung halaman saya di Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah, misalnya, jumlah warga perantauan yang mudik ke kampung halaman saat nyadran lebih banyak daripada warga yang mudik saat Iduladha.

Itu sebabnya nyadran lebih ramai dibandingkan Iduladha. Para perantau umumnya mudik ke kampung halaman supaya tidak melewatkan tradisi nyadran. Ada yang berdalih sengaja tidak mudik saat Lebaran karena sudah mudik saat nyadran.

Mengapa nyadran terasa istimewa bagi warga hingga tradisi ini tetap lestari sampai sekarang? Ada beberapa alasan mengapa nyadran menjadi tradisi yang tidak ingin dilewatkan oleh para perantau.

Nyadran menjadi ajang untuk bersilaturahmi dengan keluarga, sanak saudara, bahkan teman angon wedhus atau teman berenang di kali pada  masa kecil. Pada saat nyadran para perantau berbondong-bondong pulang kampung.

Nyadran menjadi salah satu momentum yang tepat bagi mereka untuk kembali ke kampung halaman. Tak mengherankan, setiap kali sadranan digelar umumnya didatangi ribuan warga. Tak hanya dari satu kampung, warga dari kampung lain juga meramaikan sadranan.

Di kampung saya, tradisi nyadran biasa dilaksanakan di tanah lapang tak jauh dari punden atau permakaman. Alasan mengapa nyadran biasa dilaksanakan di area permakaman tentu tidak bisa dilepaskan dari faktor sejarah dari tradisi ini.

Istilah nyadran atau sadranan berasal dari bahasa Sanskerta yakni shraddha yang berarti keyakinan atau iman. Tradisi nyadran dipercaya muncul sejak agama Hindu berkembang di Nusantara pada abad ke-4.

Shraddha adalah upacara penghormatan terhadap arwah leluhur. Lazimnya upacara adat Hindu, pembacaan doa-doa dilakukan dengan berbagai cara seperti pemberian sesajen dan membakar dupa atau kemenyan.

Setelah agama Islam masuk ke Nusantara, terjadi akulturasi budaya. Istilah shraddha berubah menjadi sadranan atau nyadran. Berbagai uba rampe seperti sesajen dan kemenyan telah dihilangkan dari tradisi sadranan.

Saat nyadran digelar, warga membawa berbagai makanan lezat dari rumah masing-masing. Buah-buahan seperti anggur, jeruk, apel, dan lain-lain menjadi sajian yang lazim dijumpai di acara nyadran.

Perbaikan Gizi

Aneka makanan lezat itu bukan difungsikan sebagai sesajen, melainkan menu yang disajikan kepada semua tamu yang datang di acara nyadran. Bagi saya yang waktu kecil biasa jajan penthol di halaman sekolah, nyadran adalah acara perbaikan gizi.

Hanya pada acara nyadran itulah aneka makanan lezat dihidangkan secara gratis. Itulah sebabnya, nyadran selalu menjadi momentum istimewa bagi anak-anak di kampung halaman saya.

Tidak mengherankan saat sadranan digelar, sekolahan sepi karena para siswa memilih membolos dengan alasan tak mau melewatkan nyadran. Para guru seakan-akan tidak mendapat pilihan lain.

Mereka akhirnya meliburkan kegiatan belajar mengajar untuk meramaikan nyadran. Mereka sukses memindah kegiatan belajar mengajar dari ruang kelas ke tanah lapang dengan beralaskan tikar di dekat permakaman. Kebiasaan ini tetap ada hingga saat ini.

Untuk mempersiapkan nyadran, kepanitiaan dibentuk jauh-jauh hari. Mereka menghimpun dana dari berbagai pihak. Para donatur nyadran umumnya warga perantauan, para pengusaha, dan warga. Mereka tidak main-main dalam menyiapkan nyadran.

Di kampung halaman saya, misalnya, acara nyadran digelar selama dua hari. Pada hari pertama digelar semaan Al-Qur’an 30 juz, dilanjutkan zikir, tahlil, dan pengajian akbar dengan narasumber kiai pada malam harinya.

Acara inti digelar pada hari kedua. Pada hari kedua inilah ribuan warga berbondong-bondong datang ke sarean atau permakaman. Mereka membawa aneka makanan dari rumah. acara diisi dengan zikir, tahlil, dan pengajian akbar bersama kiai yang memiliki nama besar di Jawa Tengah.

Masyarakat yang datang mendapat siraman rohani yang menenteramkan jiwa. Acara diakhiri dengan berdoa bersama dan menyantap aneka makanan itu bersama-sama. Hanya di sadranan warga berkumpul mengikuti pengajian akbar dengan suguhan menu istimewa.

Sadranan sama halnya pengajian akbar pada umumnya yang menjadi tempat berkumpul para alim ulama. Bedanya, sadranan berlokasi di area permakaman dengan aneka hidangan istimewa, sementara pengajian akbar biasa digelar di halaman masjid atau tanah lapang dengan hidangan seadanya.

Bagi sebagian kalangan, sadranan dipandang sebagai bidah atau sesuatu yang tidak boleh dilaksanakan umat Islam. Alasannya, tradisi nyadran dianggap sebagai warisan budaya Hindu, bukan murni ajaran Islam. Mereka hanya menilai dari sudut pandang yang sempit.

Jika ada yang menyimpang dari ajaran Islam, sudah barang tentu sadranan tidak menjadi tradisi masyarakat yang tetap lestari hingga sekarang. Faktanya, tradisi sadranan justru kental dengan syiar Islam, bukan sebaliknya.

Sadranan menjadi wahana silaturahmi. Dalam ajaran Islam, silaturahmi dipercaya bisa memperpanjang usia. Sadranan menjadi tempat berkumpulnya orang-orang saleh karena alim ulama atau para kiai ada di sana. Sadranan menjadi tempat mendapat siraman rohani. Sadranan adalah kearifan lokal yang perlu dilestarikan karena keistimewaan di dalamnya.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 16 Maret 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya