SOLOPOS.COM - Moh. Khodiq Duhri (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Pada 2016, atas ajakan seorang teman, saya datang ke Dusun Gagan, Desa Sunggingan, Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen. Ada alasan yang menarik saya untuk berkunjung ke dusun tersebut tepat pada Idulfitri saat itu.

Rasa penasaran membuat saya datang ke salah satu dusun di kecamatan paling ujung barat Kabupaten Sragen ini. Masyarakat di dusun itu terbiasa melaksanakan Lebaran dengan cara berbeda. Dilihat dari sudut pandang agama, tidak ada perbedaan cara warga merayakan hari raya itu.

Promosi Championship Series, Format Aneh di Liga 1 2023/2024

Warga melaksanakan takbir semalaman di masjid dan musala. Keesokan harinya mereka juga melaksanakan Salat Idulfitri. Salat Idulfitri itu diakhiri dengan bersalam-salaman di dalam masjid. Setelah itu Lebaran tidak ubahnya seperti hari-hari biasa.

Sepulang melaksanakan Salat Idulfitri di masjid, warga pulang ke rumah masing-masing. Mereka beraktivitas seperti biasa. Sebagian besar warga pergi ke sawah karena pekerjaan mereka adalah bertani.

Ada pula yang ngarit, angon wedhus, atau sekadar bersantai di rumah. Hari pertama Lebaran seperti tidak ada yang istimewa bagi mereka. Tidak ada rombongan warga, termasuk anak-anak, dengan pakaian serbabaru yang berkeliling kampung untuk bermaaf-maafan.

Tidak ada kegiatan sungkem kepada orang tua. Tidak ada makanan lezat seperti opor ayam dan ketupat yang biasa disajikan untuk menyambut tamu saat Lebaran. Hampir tidak ada warga yang datang ke rumah-rumah warga lainnya untuk bersilaturahmi.

Bila ada tamu yang datang, umumnya mereka berasal dari luar dusun yang tidak tahu warga setempat menunda perayaan Lebaran. Warga dusun itu memilih menunda perayaan Lebaran hingga hari tertentu yang telah disepakati bersama.

Penentuan hari perayaan Lebaran itu biasanya berjarak tiga hari hingga tujuh hari setelah 1 Syawal yang ditentukan pemerintah. Biasanya hari yang dipilih untuk merayakan Lebaran sesuai dengan hari yang dipilih warga saat melaksanakan sadranan pada Ruwah berdasar penanggalan Jawa.

Perayaan Lebaran di dusun ini dilaksanakan dengan cara berbeda. Perayaan Lebaran lebih mirip acara sedekah desa. Saat hari H Lebaran yang telah disepakati itu tiba, warga berduyun-duyun menuju rumah sesepuh dusun.

Mereka membawa nasi tumpeng berikut lauk-pauk serta buah-buahan untuk disantap bersama. Selepas menyantap hidangan itu, mereka pulang ke rumah masing-masing. Pada hari itulah mereka menyambut para tetangga yang datang bertamu.

Aneka makanan tersaji di ruang tamu. Mereka datang untuk bermaaf-maafan. Mereka merayakan Lebaran yang tertunda. Itulah hari Lebaran yang sesungguhnya bagi mereka. Tradisi merayakan Lebaran yang tertunda juga dilakukan warga di sejumlah desa di Kecamatan Ngrampal, Kabupaten Sragen.

Tak Perlu Dibesar-besarkan

Salah satu desa itu adalah Desa Bener. Di desa ini perayaan Lebaran biasa dilaksanakan pada H+1 Lebaran. Apa aktivitas warga setempat pada hari H Lebaran? Sama seperti warga Dusun Gagan, Desa Sunggingan, Kecamatan Miri, warga Desa Bener, Kecamatan Ngranpak, mengikuti Salat Idulfutri pada 1 Syawal sesuai penetapan pemerintah.

Setelah Salat Idulfitri itu, suasana desa nyaris sama seperti hari-hari biasa. Setelah Salat Idulfitri, sebagian warga membersihkan rumah. Sebagian pergi ke sawah. Tak mengherankan kala tersiar berita ada insiden petani yang meninggal dunia karena tersengat aliran listrik dari jebakan tikus di area persawahan pada hari Lebaran beberapa tahun lalu. Banyak warganet dari luar desa itu yang merasa heran.

Ealah, Mbah-Mbah… bukannya berdiam diri di rumah untuk menyambut tamu, hari Lebaran kok malah ke sawah,” begitu komentar warganet yang tidak memahami tradisi merayakan Lebaran yang tertunda di desa ini.

Tidak diketahui pasti sejak kapan warga merayakan Lebaran secara terlambat di sejumlah desa di Kabupaten Sragen itu. Yang jelas, tradisi tersebut berlangsung sejak zaman nenek moyang mereka. Warga sadar perbedaan tentang cara merayakan Lebaran itu tidak menjadi persoalan yang harus dibesar-besarkan.

Mereka beranggapan hal itu bagian dari kearifan lokal yang mereka pertahankan. Walau mereka menunda perayaan Lebaran, mereka tetap menerima tamu dari luar yang datang untuk bermaaf-maafan.

Dari mereka kita bisa belajar mengelola perbedaan yang muncul di masyarakat. Perbedaan tidak harus dipaksa untuk disamakan. Perbedaan tidak harus dipertentangkan. Perbedaan juga tidak harus dilawan.

Biarkan perbedaan itu mengalir tanpa diiringi sentimen dari kelompok lain. Demikian pula saat terjadi perbedaan mengenai penentuan hari H Lebaran. Perbedaan itu harus bisa disikapi dengan bijak. Pelarangan penggunaan fasilitas umum atau milik pemerintah daerah untuk Salat Idulfutri bagi warga Muhammadiyah pada Jumat (21/4/2023) semestinya tidak terjadi.

Warga Nahdhatul Ulama (NU) dan masyarakat sekitar yang merayakan Lebaran sesuai ketetapan pemerintah juga melaksanakan Salat Idulfutri pada hari berikutnya, Sabtu (22/4/2023). Sekali lagi, perbedaan tidak harus dipertentangkan, apalagi hakikat menyambut Lebaran adalah kembali ke fitrah manusia yang suci.

Bila dirunut dari kalimat asalnya, Idulfitri terdiri dari dua kata, yakni id dan al-fithri. Kata id dapat diartikan kembali, sedangkan al-fithri setidaknya memiliki tiga makna, yakni agama yang benar, kesucian, dan asal kejadian (manusia).

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 25 April 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya