SOLOPOS.COM - Hijriyah Al Wakhidah (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Agenda rutin setiap menjelang pergantian tahun adalah banyak orang berlomba-lomba menyusun rekapitulasi peristiwa penting selama setahun yang berlalu dan membuat rencana atau daftar keinginan yang ingin dicapai tahun depan.

Itulah resolusi. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan ”resolusi” sebagai keputusan atau mufakat pendapat dalam bentuk permintaan atau tuntutan (dalam rapat atau diskusi). Resolusi juga dipahami sebagai pernyataan tertulis yang berisi persyaratan untuk sesuatu.

Promosi Santri Tewas Bukan Sepele, Negara Belum Hadir di Pesantren

Secara umum resolusi adalah janji pada diri sendiri atau keputusan untuk melakukan sesuatu, terutama memperbaiki perilaku atau gaya hidup pada tahun mendatang. Objek resolusi bermacam-macam.

Punya rumah, bisa umrah, bisa naik haji, segera lulus kuliah, punya mobil, punya saham, menikah, apa pun bisa menjadi keinginan dan cita-cita pada tahun depan.  Apa pun keinginan kita, semua boleh, sah-sah saja.

Hidup tidak semudah merangkai  resolusi. Tak sesederhana menuliskan kata-kata dalam catatan resolusi. Resolusi butuh aksi. Resolusi tahun depan adalah hasil yang diharapkan dari proses yang sudah dilalui beberapa tahun belakangan.

Saya kira, apa pun resolusinya, bukanlah hasil dari simsalabim. Orang punya rumah pada usia 34 tahun, misalnya, lewat proses panjang sejak usia 24 tahun. Sayangnya, kebanyakan orang membikin resolusi, khususnya pada era saat ini, terjebak pada gaya hidup yang tak berpihak pada jaminan kualitas hidup masa depan.

Seorang pengusaha di Kota Solo yang bergerak di bidang pariwisata dan transportasi, 15 tahun lalu, memberikan kiat kepada saya agar mudah punya rumah. Bukan mudah membeli rumah, tapi mudah punya rumah.

Dengan penghasilan saya sebagai pekerja muda saat itu, dia meyakini dengan menyisihkan sebagian penghasilan untuk menabung material maka dalam waktu dua tahun saya bisa membangun rumah sendiri, tanpa harus mengambil kredit pemilikan rumah (KPR).

Pengusaha itu mengarakan jangan sampai kelak pada 10 tahun atau 15 tahun mendatang, kami (generasi milenial) menjadi beban baru atau menjadi problem baru bagi negara karena kesulitan punya rumah.

Perkataan pengusaha tersebut terbukti. Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menunjukkan pada 2022 sebanyak 10,51 juta rumah tangga di Indonesia belum memiliki rumah.

Dari jumlah itu, sebanyak 4,39 juta rumah tangga yang belum punya rumah adalah generasi milenial, berusia 27 tahun–42 tahun. Generasi X, berusia usia 43 tahun–53 tahun, yang belum punya rumah 4,30 juta rumah tangga.

Sedangkan generasi Z, berusia 11 tahun–26 tahun yang belum memiliki hunian sebanyak 97.903 rumah tangga. Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir menyebut saat ini 81 juta anak muda belum memiliki rumah.

Penyebabnya adalah generasi ini masih memprioritaskan kebutuhan gaya hidup dan belum memprioritaskan punya rumah. Erick Thohir dalam konteks isu hunian itu berharap anak muda zaman sekarang mengubah gaya hidup.

Anak muda harus mulai memprioritaskan kebutuhan penting untuk masa depan, mengurangi gaya hidup konsumtif. Gaya hidup sudah menjadi semacam jebakan bagi kebanyakan orang, terutama anak-anak muda.

Hobi hangout atau nongkrong, hobi belanja fesyen, hobi travelling tanpa perencanaan, keinginan memiliki gadget canggih, dan tidak bijak dalam menggunakan kartu kredit adalah penghambat tercapainya satu resolusi ke resolusi yang lain.

Badan Pengelola Keuangan Haji intensif mengedukasi penting untuk mempersiapkan ibadah haji sejak awal memiliki penghasilan, bahkan sejak masih kuliah dan belum punya gaji. Pada suatu momentum, badan ini kepada anak-anak muda di Kota Solo memberikan ilustrasi bahwa anak muda yang belum punya gaji pun bisa mendapatkan porsi haji dengan menabung satu gelas kopi tiap hari.

Uang Rp20.000 untuk membeli segelas kopi tiap hari bisa dialihkan untuk menabung. Jika konsisten, dalam empat tahun bisa mengumpulkan uang Rp20.000 x 360 = Rp7.200.000. Dalam empat tahun terkumpul Rp28.800.000. Bisa untuk mendaftar ibadah haji.

Meraih keinginan butuh proses. Tidak cukup ditulis pada selembar kertas bernama resolusi atau Whatsapp story maupun Instastory yang dalam waktu 24 jam hilang. Dalam 15 tahun terakhir saya gagal mewujudkan beberapa keinginan, namun ada pula yang terwujud.

Kita yang bersiap menyambut 2024 dan mungkin siap menyusun resolusi, perlu bertanya apakah resolusi tahun depan itu realistis? Tetaplah berpedoman bahwa resolusi bisa terwujud jika berkomitmen, punya rencana aksi, dan ada langkah konkret.

Sebelum mencantumkan kata rumah, umrah, berhaji, jalan-jalan keliling dunia pada resolusi 2024, alangkah bijak, terutama anak muda yang hobi beresolusi, untuk meresolusi terlebih dahulu gaya hidup. Singkirkan dan kurangi satu per satu jebakan gaya hidup untuk resolusi dan kehidupan 2024 yang lebih berkualitas.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 23 Desember 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya