SOLOPOS.COM - Albertus Rusputranto PA, Penggiat Forum Pinilih Dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. (FOTO: Istimewa)

Albertus Rusputranto PA, Penggiat Forum Pinilih Dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. (FOTO: Istimewa)

”Sebut bangsa kami Indonesia, bukan Hindia Belanda.” Kurang lebih demikian Mohammad Hatta pada paruh akhir dekade 1920-an hingga 1930-an selalu menyerukan di berbagai kongres, di negara-negara Eropa, yang menyoal tentang kolonialisme dan kesadaran berbangsa.

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

Dia bersama beberapa bumi putra yang lain, yang berkesempatan mengenyam pendidikan di negeri Belanda, tidak bosan-bosannya berkeliling ke negara-negara ”para tuan” untuk mempropagandakan negara-bangsa yang, saat itu, belum lahir. Tidak hanya kemerdekaan yang mereka tuntut tetapi keberadaan sebuah komunitas terbayang, sebuah konsep negara-bangsa yang belum pernah ada sebelumnya di Nusantara ini: Indonesia.

Nama Indonesia ini awalnya adalah istilah yang diberikan oleh para antropolog dan etnolog (akhir abad ke-19) yang menandai wilayah kepulauan dari Zanzibar sampai pulau-pulau di Lautan Teduh. Istilah yang dimunculkan dalam wacana ilmu pengetahuan (antropologi) ini diubah oleh Tan Malaka menjadi nama politik sebuah negara-bangsa (Naar de Republiek Indonesia, 1925) dan gencar dipropagandakan oleh Mohammad Hatta.

Indonesia ini bukan evolusi dari kerajaan mana pun yang pernah berjaya di Nusantara. Negara-bangsa ini lahir dari rahim wacana kebangsaan yang mulai bertunas sejak Tirto Adhi Soerja (lewat koran-korannya yang berbahasa Melayu rendah), dipupuk oleh Tan Malaka dan mengeras dalam orasi-orasi Soekarno.

Meskipun benih ini datang dari luar namun sebagaimana tembakau, tebu, kopi, jagung, padi dan banyak jenis tanaman lain yang datang dari luar dan bertumbuh menjadi produk-produk unggulan, kemudian menjadi wacana kebangsaan.

Wacana kebangsaan yang berkelindan dengan berbagai ideologi yang mengukuhkan cita-cita menjadi manusia merdeka, bermartabat dan berdikari (berdiri di atas kaki sendiri–Soekarno) menabalkan rasa percaya diri bangsa ini untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Mewarisi wilayah administratif pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang terdiri dari bangsa-bangsa jajahan dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, negara-bangsa ini mengukuhkan diri menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kata ”kesatuan” menjadi kata kunci yang mengikat ”kesepakatan terbayang” bangsa-bangsa di wilayah bekas jajahan Belanda ini menjadi satu negara penerus yang bernama Indonesia. Benedict Anderson menyebut bangsa sebagai komunitas terbayang (Imagined Communities, 2002). Tidak semua anggota komunitas benar-benar pernah saling bertemu namun merasa menjadi satu bangsa.

Mereka disatukan oleh wacana kebangsaan dan dilekatkan oleh berbagai aparatus pemersatu, di antaranya peta, sensus, museum, berderet nama-nama pahlawan, penyusunan sejarah yang berisi kisah-kisah kepahlawanan, bahasa dan media massa.

 

Mentalitas Tuan

Penghargaan setinggi-tingginya harus diberikan kepada para pendiri bangsa yang tidak menyerah pada ”nasib” keterjajahan. Mereka bukan orang-orang yang pada awalnya memang didesain menjadi ideolog-ideolog kebangsaan. Mereka tidak dididik untuk menjadi pendobrak kemerdekaan, apalagi kemudian mendirikan sebuah bangsa yang bermartabat yang bernama Indonesia ini.

Nama-nama seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tjipto Mangoenkoesoema, Tirto Adhi Soerja, HOS Tjokroaminoto, H Misbach, Mas Marco Kartodikromo, Tan Malaka dan sederet panjang lagi nama-nama para penancap fondasi kebangsaan, bagi pemerintah Hindia Belanda adalah kecelakaan sejarah.

Mereka diberi kesempatan menuntut ilmu di sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda sebenarnya untuk dijadikan pegawai-pegawai rendahan di bidang kesehatan, pendidikan, teknik, hukum dan pangreh praja untuk melanggengkan keberlangsungan pemerintahan kolonial, bukan untuk menyebarkan paham kebangsaan, memperjuangkan kemerdekaan dan menggantikan negara kolonial menjadi negara-bangsa yang berdaulat.

Para ”pengkhianat” ini hidup di zaman ketika kebanyakan orang, terutama yang tinggal di wilayah perkotaan, baik kolonialis maupun bumi putra, sedang menyongsong kemadjoean. Kondisi ini, khususnya di Jawa, bahkan disebut sebagai zaman normal. Zaman ketika hampir tidak ada lagi ”gangguan umum” dari orang-orang yang oleh pemerintah Hindia Belanda dianggap sebagai ”ekstrimis”; tersedia semua kebutuhan hidup warga negara Hindia Belanda, termasuk bagi kalangan bumi putra; pembangunan diselenggarakan di berbagai bidang.

Kala itu kecenderungan masyarakat jajahan sedikitnya bisa digolongkan menjadi dua: larut dalam hegemoni modernitas (dan gaya hidup) ala Eropa atau menarik diri dari ”dunia siang” yang hampir semuanya sudah dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda (dan menjadi barisan manusia-manusia utopis).

Kaum cerdik-pandai yang kebanyakan adalah anak-anak muda memainkan peran mereka sebagai sebenar-benarnya agen perubahan. Mereka memanfaatkan kemampuan dan keluasan pengetahuan mereka untuk ”mendidik” masyarakat.

Tentu tidak semudah membalik telapak tangan menumbuhkan mentalitas tuan pada masyarakat bangsa terjajah. Dan inilah yang pertama kalinya harus dilakukan, sebab hanya karena bermental budaklah (negasi dari mentalitas tuan), yang ”dicokolkan” pada kaum bumi putra dari generasi ke generasi, penjajahan di nusantara ini ”abadi”.

Inilah yang, oleh Takeshi Shiraisi, disebut sebagai zaman bergerak: Akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 perjuangan para pemula mulai menampakkan hasilnya. Mereka berhasil menggolakkan semangat perlawanan kaum bumi putra. Zaman normal yang membungkam kenyataan keterjajahan dikuak.

Sejak itulah semangat perlawanan menjamur dan tumbuh mengakar di berbagai tempat di seantero Nusantara; bergerak menuntut kemerdekaan, kedaulatan dan martabat sebagai satu komunitas bangsa yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kolonialisme di negeri ini secara politis memang sudah bangkrut 67 tahun yang lalu namun agaknya dampak-dampak penjajahan masih terasa hingga sekarang. Warisan inilah yang paling sulit dihilangkan: mental keterjajahan. Mentalitas semacam inilah yang menjadikan negara-bangsa yang seharusnya berdikari, bermartabat dan berdaulat secara politik, ekonomi, sosial dan budaya ini mempunyai ketergantungan yang tinggi–di segala bidang–kepada pihak-pihak lain.

Kebebasan bangsa ini dari belenggu penjajahan pertama kalinya bukan ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan tetapi ketika semua anak bangsa merubuhkan mentalitas budaknya. Ayo, Bung!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya