SOLOPOS.COM - Suwarmin Direktur Bisnis dan Konten Solopos Group

Lionel Andres Messi. Nama dan gambarnya semakin banyak dibicarakan orang sebulan terakhir. Sudah lama dia dikenal sebagai salah satu GOAT (greatest of all time) dalam sejarah sepakbola. Terbukti dengan gelar Ballon d’Or sebanyak 7 trofi yang direngkuhnya. Ballon d’Or adalah gelar pemain sepakbola terbaik sejagad.

Namun pada Piala Dunia Qatar yang berakhir 18 Desember 2022, seakan menjadi penobatan Messi sebagai the real GOAT. Pada final yang sengit melawan Prancis, Messi berhasil membawa Argentina menjadi juara dunia. Skor kedua tim 3-3 sampai babak perpanjangan waktu berakhir, diteruskan adu tendangan penalti yang berkesudahan 4-2 untuk Argentina. Gelar itu seolah melengkapi sekeping puzzle yang tercecer dari sang maestro Messi.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Sukses Messi bersama Argentina di Qatar sebenarnya adalah pertunjukan tentang kekuatan kemauan, konsistensi, mental tak pernah menyerah plus keajaiban.

Seorang juara yang gilang gemilang ini, ternyata pernah mengalami gangguan pertumbuhan pada usia 11 tahun. Pada usia itu pertumbuhannya terhenti karena gangguan hormon pertumbuhan atau growth hormone deficiency (GHD). Klub yang menaungi si bocil Messi saat itu, Newell’s Old Boys, tak mampu membiayai pengobatan Messi. Lalu datanglah “malaikat” dalam wujud FC Barcelona, yang memboyong Messi ke klub Catalunya itu untuk disembuhkan, sekaligus meneruskan mimpi menjadi pemain bola.

Barca tentu punya motif ekonomi memboyong si bocil yang saat itu hanya bertinggi 127 cm. Mereka sedang berinvestasi untuk masa depan. Bakat Messi yang mulai ditemukan oleh sang nenek, Celia Oliveira Cuccitini, sejak usia 4 tahun, terus mengejutkan banyak orang, terutama di Rosario, Provinsi Santa Fe, Argentina. Bakatnya yang luar biasa digambarkan sebagai bocah dengan kemampuan olah bola supranatural. Makanya Barcelona memboyongnya ke pusat akademi sepakbola mereka, La Masia. Sejarah mencatat, 7 tahun setelah itu, Messi mulai mempersembahkan gelar La Liga Spanyol untuk Barcelona.

Meski telah meraih segalanya di level klub dan individu, Messi berulang kali gagal di level tim nasional. Sang maestro dengan skill dribbling jempolan ini dikritik karena tak pernah juara di level timnas.

Bersama Argentina, Messi telah empat kali gagal di partai final. Tiga kali gagal di final Copa America, yakni tahun 2007, 2015 dan 2016. Satu final lainnya, adalah kegagalannya yang paling pahit, yaitu final Piala Dunia 2014 di Brazil.

Secara matematika, tahun 2014-2016 itulah tahun di mana secara usia Messi lebih berpeluang menjadi juara dunia. Usia 27-29 tahun, bagi kebanyakan pemain Indonesia mulai mengalami penurunan. Tetapi bagi pemain profesional Eropa dan Amerika Selatan, masih merupakan golden age. Dan sejarah sudah terbaca:  dia sama sekali tidak bisa menyentuh trofi juara.

Messi yang masygul dan frustrasi, sempat mengumumkan pengundurkan dirinya dari Timnas Argentina seusai kalah dari Chila pada final Copa America tahun 2016. Tapi keputusannya itu diralatnya 2 bulan kemudian. Sayangnya, Messi kembali gagal dua tahun kemudian. Dia menelan pil pahit saat Argentina hanya sampai babak perdelapan final Piala Dunia Rusia tahun 2018.

Namun harapan dan kemauan untuk membawa negaranya menjadi jawara dunia, Kembali dibangun Messi bersama pelatih muda Lionel Scaloni untuk menghadapi Piala Dunia 2022. Satu kesempatan terakhir yang mungkin dimiliki Messi. Dalam suatu sesi wawancara, Scaloni mengaku bertemu empat mata dengan Messi dan sepakat mencoba lagi merajut mimpi, melewati ujian demi ujian. Dan akhirnya tekad itu mulai berbuah sejak tahun lalu.

Messi bersama Argentina di bawah kepemimpinan Lionel Scaloni, meraih gelar Copa America 2021 di Brazil. Kemenangan 1-0 atas tuan rumah Brazil di Stadion Maracana, seolah penebusan kesalahan di stadion yang sama 7 tahun sebelumnya di pentas Piala Dunia. La Albiceleste (julukan Timnas Argentina) beberapa bulan kemudian merengkuh trofi Finalisima yang mempertemukan juara Eropa (Italia) dan juara Copa America. Messi dan kawan-kawan menekuk Italia dengan skor 3-0. Gelar itu sekaligus menegaskan bahwa mereka adalah favorit turnamen di Qatar.

Dan akhirnya, Messi dan Argentinanya berhasil menjadi juara dunia. Kisah pengejaran 36 tahun bagi Argentina, dan kisah pengejaran 16 tahun bagi Messi, sejak dia tergabung bersama Timnas Argentina.

Seandainya gangguan hormon pertumbuhan yang dialami Messi tidak terobati, kita tidak mengenal Messi yang sekarang. Seandainya Messi benar-benar menyerah pada keputusasaan setelah tiga kegagalan secara beruntun di partai final Copa America, tentu kita tidak akan melihatnya mengangkat trofi Piala Dunianya di Qatar.

Suratan nasib akhirnya bisa kita baca setelah digelarkan di depan kita. Bahwa Messi justru bisa menjadi juara di ujung karirnya di lapangan hijau. Namun semua bisa belajar, tekad dan kerja keras, tak akan mengkhianati hasil. Siapa pun orangnya, berapa pun usianya, berhak menggantungkan mimpi dan harapannya. Anda setuju?

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya