SOLOPOS.COM - Mudhofir Abdullah (JIBI/SOLOPOS/dok)

Mudhofir Abdullah (JIBI/SOLOPOS/dok)

Ramadan seharusnya bulan penuh refleksi, khidmat dan spiritual. Tetapi, jagat politik di Tanah Air hiruk-pikuk oleh berita-berita korupsi. Maraknya ceramah-ceramah keagamaan beriring dengan ramainya berita-berita korupsi. Ini sebuah fakta kontradiktif di mana ajaran spiritual Ramadan dirintangi oleh antitesis-antitesisnya. Kita patut melakukan evaluasi dan refleksi: Ada apa dengan jati diri para pemimpin dan bangsa kita?

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Teori-teori tentang hikmah Ramadan sudah terlalu banyak ditulis dan diceramahkan. Namun, kita belum sukses mengimplementasikan di ranah realitas. Kita hanya sukses di tataran Islam konseptual, tetapi belum sukses di tataran Islam aktual. Dalam perspektif Islam aktual, ajaran spiritual dinilai sukses bila memproduksi manusia-manusia takwa dalam wujud perilaku-perilaku bermoral, antikorupsi, penegak keadilan dan pencerah peradaban. Perilaku-perilaku semacam ini diistilahkan dengan akhlaqul karimah.

Muhammad Iqbal pada awal abad ke-20 menyatakan amal nyata itu lebih berharga ketimbang gagasan atau konsep. Ini bisa diartikan Islam aktual itu lebih penting ketimbang Islam konseptual. Ini masuk akal karena Islam aktual pada dasarnya merupakan artikulasi kebajikan yang dapat dirasakan manfaatnya bagi kemaslahatan umat manusia sebagaimana diajarkan oleh hadis Nabi: Khairunnas anfa’uhum linnas (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya).

Sejak manusia Indonesia mempraktikkan ibadah puasa Ramadan, mereka sebenarnya menyadari makna pentingnya dan dalam batas-batas tertentu telah mengilhami perubahan-perubahan masyarakatnya. Ini terlihat dari jejak-jejak tradisi lokal yang menyertai Ramadan baik di Jawa maupun di sejumlah daerah di Nusantara. Bahkan, kemerdekaan Indonesia di antaranya diilhami oleh nilai-nilai Ramadan. Namun, seiring dengan perubahan-perubahan sosial, jejak-jejak spiritual Ramadan kian tergerus oleh watak konsumerisme yang ditandai nafsu koruptif di seluruh tingkatan.

Perintah untuk menahan hawa nafsu hanya dipahami sekadar menahan lapar dan haus. Puasa lalu menjadi semacam latihan fisik, tetapi bukan latihan hati. Puasa hanya dilihat dari perspektif numerik dengan hitungan pahala yang mengesankan Allah seperti akuntan. Dimensi spiritual hati kurang memperoleh perhatian dan karena itu setelah Ramadan nafsu dilampiaskan secara membabi buta. Bukankah puasa sejatinya untuk melejitkan keperibadian yang berkualitas dalam pengertian teknis kata itu?

Kondisi semacam ini sangat memprihatinkan. Dari tahun ke tahun, tradisi Ramadan terasa makin tidak berkualitas dilihat dari sisi Islam aktual. Ramadan kehilangan ruh dan tak pernah menembus makna metafisika Ramadan. Metafisika menurut Van Peursen adalah bagian filsafat yang memusatkan perhatiannya kepada pertanyaan tentang akar terdalam yang mendasari segala yang ada.

Penjelasannya, banyak orang yang berpuasa tetapi tidak menemukan kedalaman makna dan menjejakkan bekas-bekasnya pada perilaku-perilaku nyata kehidupan. Belum menemukan makna metafisika berupa kesadaran tertinggi untuk memerankan diri sebagai agent of islamization (penyebar nilai-nilai universal Islam) dan agent of social changes.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, ajaran spiritual Ramadan belum mengubah peta-peta mental umat. Tatapan kesalehan sosial tertutupi rasa puas diri dari puasa fisik yang dikira oleh mereka sebagai suatu kebajikan ideal. Padahal, puasa sebenarnya merupakan sebuah kondisi turun mesin, seluruh kotoran akal dan hati diperbaiki secara total untuk operasi hidup berikutnya secara lebih baik lagi.

Krisis
Apakah jati diri bangsa sedang mengalami krisis? Krisis diartikan sebagai kondisi yang telah mencapai fase gawat. Kita telah mengalami fase krisis bila melihat kenyataan hampir seluruh aparatur lembaga negara melakukan korupsi baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Para pengamat budaya dan politik menyebutkan tujuh krisis nasional, yakni krisis kewibawaan kepala negara dan kepala pemerintahan, krisis kepercayaan kepada parpol dominan dan parlemen, krisis efektivitas penegakan hukum, krisis kedaulatan sumber daya alam, krisis kedaulatan pangan, krisis pendidikan dan krisis integrasi nasional.

Krisis tersebut berakar pada krisis spiritual yang bertumpu pada nilai-nilai agama dan nilai-nilai kearifan bangsa. Nilai-nilai Ramadan sebenarnya bisa menyembuhkan krisis di atas karena ajaran spiritual Ramadan mengandung nilai-nilai amanah atau saling percaya, kepekaan sosial dan saling bekerja sama. Ini mirip dengan teori Robert Putnam tentang social capital yang menjadi kimia masyarakat demokratis.

Bagaimana kenyataannya? Nilai-nilai tersebut tampak tidak hadir dalam ajaran spiritual Ramadan di Tanah Air. Nilai Ramadan mengalami devaluasi makna dan krisis dalam diri para pemimpin dan individu-individu bangsa. Akibatnya, keadaan ini telah membuat para pemimpin mengalami disorientasi, dislokasi dan mismanajemen.

Karena itu, momentum Ramadan sesungguhnya bisa menjadi katarsis bagi para pemimpin dan bangsa untuk pergi ke dalam (baca: merenungkan peran mereka untuk kebajikan kehidupan berbangsa dan bernegara) dan bukan pergi ke luar. Renungkan bahwa kekuasaan itu pinjaman yang pada waktu tertentu harus dikembalikan. Renungkan pula bahwa hidup bermakna itu dapat diraih bila perannya memiliki manfaat bagi sesamanya.

Para pemimpin yang tengah memegang kesempatan untuk melakukan kebajikan-kebajikan sosial harus benar-benar memanfaatkannya. Sering kali kesempatan itu dibiarkan berlalu begitu saja dan kemudian setelah itu disadari. Ini salah satu penyakit disorientasi dan miopia. Momentum Ramadan, sekali lagi, merupakan saat yang sangat baik bagi seseorang ntuk mengembalikan kesadaran. Seyyed Hossein Nasr, pakar metafisika Islam, menerjemahkan takwa dengan God consciousness (kesadaran Tuhan). Dan menurut diktum Quran, tujuan berpuasa adalah la’allakum tattaqun (agar kalian bertakwa).

Kemuliaan
Kesadaran akan Tuhan (baca: takwa) dalam perspektif pendapat Nasr mengandaikan manusia itu sadar akan tugas-tugasnya sebagai khalifatullah fil ardh (wakil Allah di muka bumi). Siapa wakil Tuhan di Tanah Air? Mereka adalah para pemimpin (para pengambil kebijakan) di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Mereka sesungguhnya diberi amanah untuk membuat kesejahteraan, keadilan, kemakmuran dan keamanan bagi rakyat.

Mereka juga diberi mandat untuk memimpin pembasmian dan pencegahan segala hal yang menghambat terwujudnya kesejahteraan dan keadilan tersebut. Betapa mulia dan luhur para pemimpin bangsa itu karena mereka dinamai sebagai khalifatullah fil ardh (wakil Allah di muka bumi). Sebutan ini menunjukkan sebuah mandat teleologis (penuh maksud dan hikmah).

Namun, apa yang terjadi? Tugas mulia ini sering kali disalahgunakan. Bahkan menjadikan kekuasaan sebagai peluang merampok kekayaan dan membagi-bagikannya kepada para kroni. Rakyat tak terurus. Tujuan bernegara dan berbangsa tak pernah berjalan ke arah yang benar. Ramadan sebagai bulan yang paling ramai, paling produktif dan paling konsumtif jangan dibiarkan berlalu tanpa refleksi-refleksi spiritual tinggi. Jangan dibiarkan berlalu tanpa jejak-jejak hati yang meletakkan dasar-dasar modal sosial bagi kehidupan bangsa yang sedang mengidap krisis jati diri dan tujuh krisis nasional di atas. Semoga kita benar-benar sedang mengarah pada tujuan puasa, yakni menjadi manusia takwa yang mampu mengemban tugas sebagai khalifatullah fil ardh.

Mudhofir Abdullah, Pjs Wakil Rektor IAIN Surakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya