SOLOPOS.COM - Ivan Indrakesuma (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Lebih  kurang sepekan lalu ramai pemberitaan tentang perilaku self harm atau menyakiti diri sendiri di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejumlah media memberitakan perilaku itu dilakukan puluhan murid di sebuah sekolah menengah pertama (SMP) di wilayah Saptosari.

Puluhan murid itu menyakiti diri dengan cara menyayat tangan mereka sendiri. Kasus itu terungkap setelah petugas Puskesmas Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, melakukan skrining kejiwaan dan konsultasi bersama salah satu rumah sakit di Kapanewon Wonosari pada November 2023.

Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia

Dari skrining itu, petugas medis di puskesmas mengetahui bekas luka sayatan di tangan sejumlah siswa. Sebanyak 23 siswa melakukan self harm. Informasi itu didapat dari dokter jiwa yang menangani para murid sekolah tersebut.

Kepala Puskesmas Saptosari, Ari Hermawan, mengatakan setelah kejadian tersebut, petugas puskesmas kemudian mendampingi puluhan murid dan membentuk tim konselor di sekolahan tersebut. Kini kondisi para siswa mulai membaik.

Fenomena self harm tersebut, menurut Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Gunungkidul, Nunuk Setyowati, dilakukan karena meniru konten di media sosial TikTok. Rata-rata para pelajar yang melakukan self harm itu kurang mendapat perhatian dari orang tua mereka yang bekerja di tempat jauh.

Beberapa siswa itu tinggal bersama kakek dan/atau nenek. Perilaku menyakiti diri sendiri itu dilakukan di rumah  dan terungkap atas laporan salah seorang orang tua siswa pada November 2023. Kasus serupa sebenarnya tidak hanya terjadi di Kabupaten Gunungkidul.

Peristiwa ini ibarat fenomena gunung es yang sebenarnya juga terjadi di daerah lain. Salah seorang pegawai di lingkungan Pemerintah Kota Solo pernah bercerita kepada saya pekan lalu soal self harm. Fenomena tersebut ternyata juga dilakukan siswa sekolah di Kota Solo. Singkat cerita, kasus tersebut kini sudah ditangani instansi terkait.

Self harm adalah salah satu masalah kesehatan mental yang kini marak dialami kalangan remaja. Remaja mengalami pertumbuhan fisik, kognitif, dan sosial-emosional yang berkembang dengan cepat, namun dalam proses perkembangannya tidak terkoordinasi dengan baik antaraspek.

Mereka rentan mengembangkan perilaku yang menyimpang. Salah satunya adalah non suicidal self injury (NSSI) atau self harm. Psikolog di Universitas Sebelas Maret (UNS), Farida Hidayati, dalam sebuah acara di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNS pada akhir Februari 2024 mengatakan menurut World Health Organization (WHO) usia 10 tahun hingga 24 tahun adalah usia rentan melakukan tindakan NSSI.

Ia menyebut berdasarkan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) diu kalangan remaja usia 10 tahun hingga 17 tahun di Indonesia, satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Satu dari 20 remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir.

Gangguan kesehatan mental terjadi pada remaja yang mengalami depresi dan kecemasan. Fenomena yang saya anggap sudah pada tahap mengerikan ini seharusnya menjadi perhatian setiap orang tua maupun keluarga dekat. Peran keluarga menjadi salah satu faktor penentu mencegah masalah kesehatan mental hingga menyakiti diri sendiri.

Kasus di Gunungkidul disebut berlatar minimnya perhatian orang tua terhadap anak. Kurangnya perhatian, komunikasi, dan kasih sayang tentu saja sangat berpengaruh pada sikap anak saat berada di lingkungan keluarga, rumah, hingga lingkungan sekolah, maupun lingkungan pertemanan.

Banyak cara yang sebenarnya bisa dilakukan orang tua maupun anggota keluarga untuk mencegah atau setidaknya mengurangi fenomena ini. Orang tua yang dalam kondisi terpaksa harus berjauhan dengan anak karena bekerja bisa berkomunikasi dan memberi perhatian melalui fitur panggilan video.

Selain memberi perhatian, kasih saying, dan berkomunikasi, orang tua juga harus melakukan pengawasan. Konten di media sosial tak semuanya positif. Orang tua atau orang terdekat dalam keluarga inti harus mengawasi perilaku anak dengan berbagai cara.

Di luar lingkungan rumah, sekolah harus turut ambil bagian memberikan bimbingan dan konseling yang dilakukan secara teratur. Bikinkan kelompok teman sebaya sebagai ruang bagi anak didik untuk mencurahkan isi hati, keluh kesah mereka, dan hal-hal yang membuat mereka cemas atau bahkan depresi.

Libatkan anak didik dalam beragam kegiatan positif untuk mencegah mereka mendapat masalah kesehatan mental. Peran semua pihak memang sangat diharapkan untuk mencegah peristiwa seperti ini kian menjamur. Setidaknya kepedulian dari orang-orang terdekat yang sehari-hari berada dalam satu lingkungan bisa lebih dulu berbuat demi masa depan generasi emas.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 12 Maret 2024. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya