SOLOPOS.COM - Nanang Qosim (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Sampai saat ini bencana ekologis makin sering kita rasakan. Bencana ekologis terjadi karena kerusakan lingkungan hidup yang dampak selanjutnya menurunkan kualitas hidup manusia.

Bencana ekologis terjadi mayoritas karena salah urus negara dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber daya alam (SDA). Bencana tersebut telah meluluhlantakkan hasil pembangunan dan jerih payah masyarakat dalam sekejap serta mengubur impian dan harapan ribuan orang yang menjadi korban.

Promosi Gonta Ganti Pelatih Timnas Bukan Solusi, PSSI!

Selain itu, bencana ekologis juga merampas hak hidup manusia dan menghilangkan sumber-sumber kehidupan manusia yang mengakibatkan angka kemiskinan meningkat. Umumnya hampir seluruh hak mereka termarginalkan.

Pengelolaan lingkungan hidup dan SDA masih belum berpihak kepada rakyat dan lingkungan hidup itu sendiri. Pemerintah masih lebih berpihak kepada kepentingan pemodal (korporasi), bukan kepada rakyat atau lingkungan yang menjadi sumber kehidupan rakyat.

Keadilan ekologis adalah perjuangan untuk mendapatkan keadilan lingkungan antargenerasi. Ikhtiar ini juga untuk menyelamatkan generasi mendatang dari ancaman dan dampak krisis serta penghancuran lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan manusia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Tuntutan mendapatkan keadilan ekologis adalah bahwa setiap manusia mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik. Pengakuan atas hak lingkungan hidup yang baik menekankan pentingnya tanggung jawab negara untuk memberikan jaminan terhadap penegakan hukum lingkungan.

Mewujudkan hak atas lingkungan hidup merupakan prasyarat penting bagi upaya perlindungan keberlanjutan sumber-sumber kehidupan rakyat. Hak atas lingkungan juga harus dibarengi penghormatan terhadap hak dasar lainnya.

Hak dasar lainnya itu adalah hak partisipasi politik, hak mendapatkan informasi, hak menentukan nasib sendiri, dan hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Tanpa itu semua maka penegakan terhadap hak atas lingkungan sebagai hak asasi rakyat menjadi mustahil.

Dalam berbagai kesempatan pemerintah selalu menyebut bahwa kepentingan rakyat merupakan salah satu hal yang diperjuangkan dalam pembangunan. Melihat berbagai regulasi dan kenyataan, fasilitas untuk kepentingan rakyat masih sangat minim.

Begitu pula pelaksanaan pembangunan banyak yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik lokal. Keadaan ini semakin diperparah peraturan tentang sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia yang saling bertentangan dan tidak sinkron.

Antar-regulasi atau antara suatu regulasi dengan peraturan yang lebih tinggi maupun dengan aturan sejenis atau dengan peraturan pelaksanaannya banyak yang bertentangan. Dari segi keadilan sosial, kebijakan-kebijakan pengelolaan SDA jamak bersifat dari atas ke bawah (top-down) dan tidak memperhatikan budaya setempat.

Pengelolaan lingkungan hidup oleh pemerintah tidak peka sosial, bahkan sering memicu timbulnya masalah sosial berkepanjangan. Kebijakan pengelolaan SDA selama ini cenderung bersifat sentralistik, elitis, paternalistik, dan eksploitatif.

Itu menimbulkan kerusakan ekosistem yang lebih parah dan menimbulkan kesenjangan sosial antara kelompok masyarakat, antarsektor, dan antarkawasan. Pengelolaan SDA yang terkotak-kotak dalam wilayah administrasi, pendekatan pengelolaan SDA yang sektoral, dan kebijakan tumpang tindih menyebabkan pengelolaan lingkungan juga menjadi tumpang tindih.

Kondisi seperti itu berpotensi menimbulkan perebutan SDA sehingga dapat memicu timbulnya konflik antardaerah. Kejadian seperti itu terjadi di berbagai daerah di negeri tercinta ini.

Dalam menghadapi hal-hal seperti di atas, negara seharusnya mengambil peran aktif, bertindak cepat, dan hanya berpijak kepada upaya menyejahterakan rakyat. Langkah seperti itu merupakan langkah nyata sebagai upaya memenuhi hak-hak lingkungan bagi rakyat.

Pendekatan demikian menunjukkan ada rekonsiliasi transformatif, yaitu suatu pendekatan yang menghargai hak-hak pihak yang terlibat, sekaligus menyambungkan mereka (rekonsiliasi), juga mempertimbangkan kearifan lokal.

Jika ingin keluar dari krisis lingkungan dan terhindar dari bencana ekologis, pemerintah harus berupaya menjamin keselamatan rakyat, menjamin kesejahteraan dan produktivitas, dan menjamin keberlanjutan fungsi lingkungan hidup.

Pemerintah wajib melepaskan diri dari model pembangunan saat ini dengan melakukan perubahan paradigma pembangunan, baik dari sisi proses maupun substansi. Selain itu juga perlu melakukan reformasi pengelolaan lingkungan hidup yang benar-benar memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan mendatang.

Sebenarnya pemerintah tidak cukup hanya berkomitmen, melainkan wajib menjalankan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara konsekuen yang berpijak pada prinsip-prinsip hak asasi manusia, kesetaraan, penentuan nasib sendiri dan sosial, serta keadilan ekologis.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 12 Januari 2024. Penulis adalah dosen Agama Islam di Poltekkes Kemenkes, Kota Semarang, dan pengurus Pergunu Kota Semarang)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya