SOLOPOS.COM - Mutimmatun Nadhifah, Mahasiswa Program Studi Tafsir Hadis Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Mutimmatun Nadhifah, Mahasiswa Program Studi Tafsir Hadis Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Sejuta janji disuguhkan, sejuta kata diucapkan dari berbagai organisasi kampus untuk mendapat simpati mahasiswa. Mereka menjebak dengan jebakan yang jauh dari kultur cendekiawan. Setiap kali penerimaan mahasiswa baru, spanduk dan poster yang berisikan sejuta rayuan muncul di pojok-pojok jalan sekitar kampus.

Promosi Enjoy the Game, Garuda! Australia Bisa Dilewati

Janji-janji terpampang, membuat semua orang yang melihatnya terpikat sehingga mata tak mampu lagi melepas dari sekapan yang telah mengurung itu. Ada yang menjanjikan indeks prestasi komulatif (IPK) tinggi, ada yang menjanjikan jadi manusia nomor satu di kampus, ada juga yang menjanjikan masuk daftar orang-orang penting sehingga dengan mudah mereka akan bertemu dengan orang penting pula dan sejuta janji yang lainnya.

Para aktivis kini bergaya layaknya dosen. Mereka menawarkan janji-janji IPK tinggi untuk mahasiswa yang bergabung di dalam organisasi mereka. Dari pernyataan ini, sepertinya dosen pun sudah pindah posisi dari manusia berintelektual menjadi manusia penawar nilai dengan syarat ikut organisasi tanpa ada usaha untuk memiliki budaya literer. Ironis!

Dari sekian banyak organisasi kampus, hampir tidak ada organisasi yang menjanjikan jadi pembelajar sejati yang mendekatkan mereka dengan buku berkualitas. Kegiatan-kegiatan rutin yang diagendakan pun bukan soal membaca dan berdiskusi, melainkan metode ceramah yang didapatkan dari penceramah yang sepaham dengan organisasi mereka. Mereka enggan menyentuh buku apalagi membacanya.

Tampaknya jika harus buku dan diskusi yang menjadi pokok pembahasan dalam setiap acara yang diagendakan, mereka akan merasa sama saja dengan meminta kehilangan anggota. Yang menjadi tujuan pertama adalah memperoleh jumlah anggota yang banyak. ”Memaksa” anggota membaca sama dengan bersiap kehilangan anggota.

Banyak organisasi mahasiswa (intra maupun ekstrakampus) yang tak berusaha memperbaiki kualitas dan lepas dari dunia politik pragmatis. Tak mengherankan jika mahasiswa saat ini hanya menampilkan diri mereka sebagai mahasiswa lewat jas almamater kampus, kemeja dan kaus organisasi saja, meski secara idealnya belum bisa disebut sebagai mahasiswa karena mereka belum bisa menjadikan budaya literer sebagai bagian hidup mahasiswa.

Dalam buku Pikiran dan Perjuangan (2000), Sutan Sjahrir menjelaskan bahwa sangat besar arti organisasi di zaman modern. Salah satu tugas generasi muda—termasuk mahasiswa–yang terpenting adalah memperkuat organisasi, bukan saja dengan menambah anggotanya melainkan juga setiap hari menyempurnakan struktur melalui pendidikan dan kaderisasi intelektual.

Kompetisi para aktivis hari ini sudah sangat jauh dari kultur keilmuan. Ketika terbentuk wadah untuk berdiskusi dan belajar bersama untuk mencari jati diri sebagai sosok cendekiawan yang sebenarnya seharusnya terlebih dahulu yang harus didekati adalah buku. Buku harus masuk dalam daftar menu santapan harian bagi para aktivis kampus. Tak akan bermanfaat dan bahkan mendapat madarat jika mereka tak dapat menggerakkan, menghimpun, mengikat atau menyatukan para anggota dengan buku.

 

Kompetisi Tak Logis

Ketika ada pernyataan untuk menjadikan mahasiswa sebagai manusia nomor satu di kampus, dapat diartikan bahwa mereka hanya akan mengajari tentang kompetisi yang tidak logis karena yang diajarkan hanyalah tentang pengakuan profesi dan kedudukan jabatan. Padahal, kampus  sebagai lembaga pendidikan harus lebih mengajarkan kebersahajaan yang bernuansa keilmuan.

Peran aktivis ekstrakampus dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada kaitannya dengan program-program yang banyak menimbulkan kecurigaan di kampus negara memang harus kita apresiasi. Tapi, sifat mereka hanya bercorak sementara karena di balik apa yang dilakukan bukan atas dasar gabungan kritik-kritik yang jeli dengan aksi-aksi massa seperti perlawanan mahasiswa zaman dulu. Tujuan mereka tak lebih demi mewujudkan tujuan yang praktis-pragmatis.

Julien Benda dalam buku Cendekiawan dan Politik (1984) mengakui pengkhianatan cendekiawan yang mulai terlibat dalam percaturan politik. Sebagai aktivis yang di mata semua orang adalah kelompok cendekiawan, hendaknya tidak mengejar tujuan-tujuan praktis. Mereka seharusnya lebih mencari kegembiraan dalam lapangan kesenian, ilmu pengetahuan, metafisika. Singkatnya, dalam hal-hal yang tidak menghasilkan keuntungan kebendaan. Dalam arti tertentu, mereka bisa mengatakan bahwa ”kerajaanku bukanlah di dunia ini”.

Kerja sama antaranggota pun juga tak terpikirkan. Mereka berjalan menuruti kehendak masing-masing. Tak ada usaha perbaikan ke arah kultur cendekiawan. Mereka melayani anggota baru bukan  dengan pendekatan terhadap buku, melainkan terhadap hal-hal yang sekiranya sesuai dengan selera kebanyakan mahasiswa saat ini.

Pengesahan diri bagi para aktivis kegiatan ekstrakampus saat ini bukan di jalur literer, tapi pengakuan diri sebagai manusia yang ”berprofesi” di perguruan tinggi. Mereka berebut kekuasaan untuk menjadi manusia nomor satu dan itu dilakukan atas dorongan organisasi yang mereka geluti.

Kegiatan literer yang dilakukan tak lebih dari sekadar pemenuhan tugas makalah untuk dosen karena khawatir tidak lulus tepat pada waktunya. Padahal, apalah artinya ijazah dan gelar sarjana jika mereka tidak mempunyai tabungan ilmu yang banyak yang hendak mereka berikan terhadap siapa yang membutuhkan.

Mereka menganggap ilmu yang mereka tekuni di suatu jurusan yang mereka pilih dan keaktifan mereka dalam organisasi ekstrakampus itu cukup untuk mereka sampaikan kepada orang lain. Peran ini mungkin terlalu kecil dengan jargon-jargon mereka saat mengkritik banyak masalah di kampus dan negeri ini. (mutimmah_annadhifah@yahoo.com)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya