SOLOPOS.COM - Mahfudh Fauzi mahfudz.fauzii@yahoo.com Mahasiswa Ahwal al-Syahsiyah Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Walisongo Semarang

Mahfudh Fauzi  mahfudz.fauzii@yahoo.com   Mahasiswa Ahwal al-Syahsiyah  Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Walisongo Semarang

Mahfudh Fauzi
mahfudz.fauzii@yahoo.com
Mahasiswa Ahwal al-Syahsiyah Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Walisongo Semarang

Wacana politik termutakhir di kalangan masyarakat adalah dilema calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres)  dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Wajar menjelang perhelatan pergantian pemimpin nasional pada 2014 berbagai partai politik (parpol) sibuk mempersiapkan amunisi politik demi kesuksesan mereka.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Atmosfer yang tercipta di PDIP sejak lama memang memperdengarkan rencana pengusungan Joko Widodo (Jokowi) sebagai capres, termasuk di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP, 6-8 September lalu. Namun, semua  itu ternyata hanya kabar burung.

Dilema PDIP semakin jelas karena penetapan dan pengusungan capres belum ditetapkan secara legal. Sementara arus bawah kader partai itu dan masyarakat umum menghendaki Jokowi untuk maju sebagai capres.

Jika dipandang dari berbagai sudut, Jokowi memang layak menjadi kandidat presiden atau capres dalam Pemilu 2014. Catatan keberhasilan selama menjadi pemimpin selalu mendapat apresiasi. Berawal dari jabatan Wali Kota Solo hingga dua periode sampai menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Namun, otoritas penentu keputusan politik strategis di PDIP ada di Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Mengingat usia dan menengok pengalaman dia dua kali gagal dalam pemilihan presiden, setidaknya ada usaha dan nuansa regenerasi di partai berlambang banteng moncong putih ini.

Desas-desus pengusungan Jokowi sebagai capres memang sudah berembus kencang. Bukan hanya kalangan internal PDIP saja yang mendukung. Di Solo, sejumlah tukang becak berkonvoi mendesak agar Jokowi diusung sebagai capres.

Sebegitu pedulinya masyarakat menghendaki Jokowi menjadi capres. Namun, kita jangan ikut terbawa arus permainan politik. Sebagai masyarakat yang menurut Heln Kelsen punya otoritas penuh dalam negara, kita harus lebih jeli membaca arah politik PDIP.

PDIP mengusung Jokowi memang logis. Rekaman jejak Jokowi mampu memunculkan gaya kepemimpinan yang baru. Birokrat dengan rakyat seakan semakin erat. Inilah prestasi istimewa Jokowi yang mampu menyihir sebagian masyarakat Indonesia.

Berawal dari popularitas Jokowi ini ada berbagai kemungkinan mengenai kompetisi capres mendatang, terutama di internal PDIP.  Arah politik PDIP semakin jelas. Bila tidak mengusung Jokowi sebagai capres yang hakikatnya telah diminati masyarakat, PDIP akan meminjam popularitas Jokowi untuk mendongkrak elektabilitas partai.

Siapa pun capres yang diusung PDIP–termasuk Megawati–pasti sedikit banyak akan menghimpun banyak suara dengan dukungan popularitas Jokowi. Politik meniscayakan kecerdikan dan banyak taktik. Perlu direnungkan bersama menjadi pemimpin tidak cukup hanya berbekal popularitas.

Dosen Universitas Indonesia Dr. Muhammad Nasih menyatakan untuk menjadi pemimpin setidaknya harus kaya, cerdas, dan berkuasa. Walaupun jejak Jokowi sudah jelas, namun perlu sinergi dengan masyarakat dan pengalaman luas.

 

 

Titik Kehancuran

Selama ini kepemimpinan Jokowi hanya berkutat di daerah kecil, Kota Solo. Memimpin ruang ligkup provinsi juga baru sebentar. Belum ada sumbangsih berharga untuk DKI Jakarta. Masyarakat Indonesia jangan terlena dengan popularitas Jokowi. Semua hal butuh proses, dan proses membutuhkan waktu.

Seharusnya Jokowi lebih fokus terhadap tanggung jawabnya sekarang, memperbaiki dan memajukan Ibu Kota Indonesia. Saat ini Jakarta membutuhkan sentuhan pemimpin yang kreatif dan progresif. Dan di sisi lain, dengan Jakartalah wajah Indonesia tergambar. Jadi harus ada perhatian ekstra untuk memperbaiki citra bangsa di Jakarta.

Pada hakikatnya, titik kehancuran manusia terletak pada nafsu negatif. Sifat gegabah dan terburu-buru menjadi fitrah manusia karena manusia diberi keistimewaan berupa nafsu. Sesungguhnya menjadi pemimpin adalah pengabdian, bukan untuk mencari kekayaan.

Persoalannya, pemerintah yang seharusnya berpihak kepada kepentingan rakyat sekarang dikuasai orang-orang serakah. Wakil rakyat yang seharusnya merakyat sekarang justru menjadi lintah darat. Masyarakat yang secara hukum demokratis memiliki andil besar dalam  membangun negara sekarang justru dalam kondisi sekarat.

Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Totok Daryanto, dalam sebuah kesempatan menyatakan sistem pemerintahan di negeri ini sudah baik, latar belakang birokrat negara secara menyeluruh juga sudah bagus, hanya butuh penyelarasan dan kerja sama yang apik dengan masyarakat.

Mustahil suatu bangsa berkembang dengan pesat tanpa sinergi pemimpin dan yang dipimpin. Realitas memang demikian, Indonesia belum stabil. Harus ada pelurusan niat dari semua politikus. Ke mana pun PDIP mengambil rute politik yang penting arahnya tepat, yaitu untuk pengabdian dan misi suci terhadap bangsa Indonesia.

Siapa pun capres yang akan diusung PDIP hendaknya bukan hanya untuk kepentingan politik dalam arti merebut kekuasaan. Siapa pun capres yang diusung PDIP semestinya untuk kepentingan masyarakat keseluruhan. Capres itu bisa Jokowi, bisa Megawati, bisa siapa pun.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



 

 

 

 

 

 

 

 

 



 

 

 

 

 

 

 

 

 



 

 

 

 



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya