SOLOPOS.COM - Arin Dwi Rachmawati (Istimewa)

Mimbar mahasiswa, Selasa (12/1/2016), ditulis Arin Dwi Rachmawati. Penulis adalah mahasiswi Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Saya sering membaca subrubrik Mimbar Mahasiswa di Solopos. Pada Selasa (5/1) saya menghayati isi subrubrik tersebut. Saya merasa bingung saat kali pertama membaca opini Haji Binsar Siregar.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Permasalahannya mungkin pada kapasitas wacana saya yang masih kurang. Saya mencoba membaca berulang-ulang dan akhirnya saya mendapatkan pesan yang tersirat pada opini berjudul Kebebasan Ilmiah dan Keterasingan Diri tersebut.

Pendapat Binsar yang saya tangkap ialah ilmiah yang positivistik berimplikasi pada kehilangan kesadaran manusia modern. Sedangkan kebakuan ilmiah yang ditawarkan Ichwanuddin Buchori menempatkan kampus sebagai lembaga yang tidak manusiawi.

Saya terbayang kegelisahan Binsar ersebut, tetapi saya lebih gelisah lagi ketika menyoroti produk yang telah lahir dari sistem akademis saat ini. Efek dunia akademis seperti saat ini jika diteruskan beberapa generasi kemudian saya yakin akan menimbulkan kegoncangan ”ekosistem”.

Saya merasa miris apalagi setelah saya membaca novel Dunia Anna karya Jostein Gaarder (2014) yang menggambarkan akan terjadinya suatu krisis energi di dunia pada kemudian hari.

Gambaran yang sangat menggelitik dari novel tersebut ialah dahulu manusia menggunakan unta sebagai alat tranportasi, kemudian mobil, dan berlanjut pada pesawat terbang, tetapi akhirnya kembali lagi menggunakan unta karena krisis energi.

Manusia memanfaatkan alam bukan pada batasan kecukupan sesuai kebutuhan tetapi penimbunan berlebih atas aset kekayaan. Dunia akademis saat ini yang mengajarkan kerakusan dan melakukan eksploitasi justru yang menjadikan manusia terasing.

Manusia yang jelas tak bisa hidup tanpa alam telah lupa akan tugasnya untuk menjaga kelestarian alam ini. Kritik dalam novel Dunia Anna, menurut saya, sangat mengena berkenaan dengan penggunaan ilmu yang tak semestinya dan tak pada tempatnya.

Ketika menilik kembali opini Ichwanuddin Buchori berjudul Pembungkaman Kebebasan Akademik pada hari Selasa, 29 Desember 2015, di subrubrik Mimbar Mahasiswa Solopos, saya melihat persepsi yang menginginkan ada perhatian khusus pada dunia akademis saat ini.

Bukan hanya persoalan pelajar sebagai subjek atau objek, bukan persoalan positivitik, bukan permasalahan hukum yang mengaturnya, tetapi hampir semua bagian perlu diperhatikan, khususnya hasil dari pendidikan itu sendiri.

Saya takut jika kita hanya berdebat pada permasalahan teori kita akan terjebak pada lingkaran setan mimbar akademis. Dunia akademis hanya berbicara efektivitas dan efisiensi yang membelenggu tanpa melihat dampak lingkungan sekitar.

Menurut saya, bukan permasalah positivistik atau postmodern yang harus menjadi polemik, tetapi nafsu untuk menindas kaum lemah serta mengumpulkan pundi-pundi kekayaan itulah pokok permasalahan saat ini.

Menurut hemat saya, perdebatan tentang positivistik sudah usang. Perlunya evaluasi, penilaian, dan advokasi sistem yang sudah diterapkan tanpa harus mengotak-atik fondasi dasar dari sistem akademis saya kira lebih penting.

Jika perdebatan kosong ini berlanjut tak akan mungkin ada jalan keluar. Tentunya kita akan terjebak pada ranah ide dan kajian tanpa adanya penerapan seacara riil. Perdebatan yang kurang melihat kebobrokan lingkungan sekitar telah dimanfaatkan oleh orang yang saya sebut mafia akademik.

Mereka memanfaatkan kelengahan kita untuk mengisap semua yang dapat dikuasai untuk kepentingan perutnya saja. Nietzsche jelas memberi peringatan bahwa hasrat hidup manusia ialah hasrat untuk berkuasa.

Saya juga ketakutan jika orang yang ingin berkuasa menggunakan cara licik untuk mengubur aktivitas di luar kelas untuk mempertahankan kekuasaannya.

Saya melihat usaha Ichwanuddin yang ingin menempatkan kembali kampusnya sebagai wadah yang memanusiakan manusia dengan jalan mengkritik contoh pelarangan dan pembatasan kegiatan akademis pada lingkungan kampus.

Saya terinspirasi kisah Thomas Alfa Edison yang menunjukkan bahwa belajar itu tak terbatasi oleh sekat tembok kelas. Edison bahkan tidak sekolah dan hanya mendapatkan pelajaran dari sang bunda, tetapi semua orang tentu kenal dia sebagai penemu dan ilmuwan besar. [Baca selanjutnya: Mengejar Angka]Mengejar Angka

Saya menebak gambaran dan ketakutan Ichwanuddin jika pembatasan serta pelarangan kajian-kajian di luar kelas berlanjut, bukan mungkin generasi-generasi penerus Thomas Alfa Edison akan mati dalam kandungan, yaitu di dalam kampus mereka sendiri.

Budaya bisu akan semakin menjamur dan diam karena ketakutan akan memperpanjang barisan perbudakan. Ini telah digambarkan oleh penyair Wiji Thukul dalam puisinya.

Saya teringat ungkapan Lenin tentang Filistin yang berarti orang-orang yang tidak mempunyai perhatian terhadap keintelektualan sama sekali. Tanda-tanda apatisme telah terjadi di lingkungan saya di Universitas Sebelas Maret (UNS).

Mahasiswa hanya mengejar nilai dan kadang teman sendiri pun ditikam. Jangankan memerhatikan lingkungan, teman sendiri tak pernah diberi hati.

Sistem penilaian dengan angka telah menjadikan manusia menjadi bersistem mekanis dalam pendidikan. Jika hak mendapatkan pembelajaran di luar kelas dibatasi dan bahkan dirampas, apa jadinya mahasiswa?



Opini Ichwanuddin saya kira mewakili keresahan seluruh mahasiswa saat ini. Keresahan ihwal perlunya membuat mimbar-mimbar akademik di luar kelas serta perlunya melahirkan Edison-Edison baru. Kita jangan terjebak pada persolan ide-ide sistem.

Sebaliknya yang harus kita lakukan adalah memunculkan alternatif yang membangun. Selain inteligensi, mahasiswa perlu mengembangkan moral, supaya ketika mereka sudah berkuasa tak lupa pada daratan yang telah melahirkannya.

Apa guna punya ilmu tinggi / kalau hanya untuk mengibuli. Penggalan pertanyaan Wiji Thukul lewat puisinya mengingatkan kita tentang pentingnya moral. Menurut saya, penggalan puisi itu bukan hanya barisan pertanyaan, tetapi lebih dari itu.

Penggalan puisi tersebut lebih sesuai disebut sindiran bagi orang yang pintar tetapi tak bermoral. Sebagai contoh adalah pejabat–pejabat negara yang korupsi dan mengkhianati kepercayaan rakyat. Selain itu, akademisi yang menghambat munculnya gagasan–gagasan baru.

Saya kira moralitas akademisi-akademisi demikian ini perlu ditanyakan. Moralitas jangan sampai terabaikan dan haram hukumnya mahasiswa hanya mengejar nilai yang berupa angka-angka abstrak!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya