SOLOPOS.COM - Landung Anandito landdung@gmail.com Mahasiswa Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Bakrie Jakarta

Landung Anandito landdung@gmail.com Mahasiswa Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Bakrie Jakarta

Landung Anandito
landdung@gmail.com
Mahasiswa Program Studi Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial
Universitas Bakrie Jakarta

Cogito ergo sum

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Aku berpikir maka aku ada

(Rene Descartes)

 

Sebagai pribadi yang menganggap mahasiswa sebagai agen perubahan dan kaum intelektual, saya merasa tergugah untuk menanggapi artikel yang ditulis Trimanto dengan judul Mahasiswa Tanpa Tradisi Berpikir (Solopos, 30 Juli 2013). Dalam artikel tersebut, citra mahasiswa seakan-akan dipojokkan sebagai tokoh antagonis di dalam dunia akademik dengan paparan yang menonjolkan sisi negatif kegiatan mahasiswa, namun mengesampingkan sisi positif mahasiswa.

Opini yang mengemuka adalah mahasiswa yang tidak mempunyai tradisi berpikir, tidak produktif, dan memberikan kesan pesimistis dalam diri mahasiswa itu sendiri. Satu hal yang perlu dipahami bersama adalah maksud dari kegiatan berpikir. Vincent Ruggiero (1988) memberikan definisi berpikir sebagai segala aktivitas mental yang membantu merumuskan atau memecahkan masalah, membuat keputusan, atau memenuhi keinginan untuk memahami.

Kegiatan berpikir berlangsung secara independen dalam diri seseorang, lebih tepatnya dalam ranah mental, sesuai dengan informasi yang dimiliki oleh orang itu. Hal ini mengindikasikan proses berpikir berlangsung di dalam otak seseorang, dengan batasan kesadaran diri orang yang berpikir tersebut. Dengan berpikir seseorang akan memutuskan bagaimana dia dapat menyelesaikan masalahn, keputusan apa yang hendak dibuat, dan memahami informasi yang diperolehnya.

Apabila ada mahasiswa yang memutuskan untuk berpacaran daripada kuliah, nongkrong daripada belajar, atau membicarakan game daripada jurnal ilmiah, itu semua telah melewati proses berpikir yang mengantarkannya kepada keputusan-keputusan tersebut. Diperlukan kegiatan berpikir yang bertanggung jawab atau dengan kata lain berpikir kritis. Menurut John Chaffe (1994), berpikir kritis adalah kegiatan berpikir untuk menyelidiki secara sistematis mengenai cara berpikir itu sendiri.

Berpikir kritis menuntut pemahaman sebab akibat dan berkaitan erat dengan logika serta analisis risiko. Apabila ada mahasiswa yang berpikir berpacaran itu lebih penting daripada berkuliah, dia belum dapat dikatakan berpikir kritis. Sebagai agen perubahan dan kaum intelektual, berpikir kritis merupakan suatu keharusan bagi setiap mahasiswa Indonesia. Berpikir kritis yang dibarengi dengan pemahaman yang analitis akan membentuk mahasiswa yang inovatif, kreatif, serta memunculkan ide-ide baru dalam setiap pemecahan masalah, baik bagi diri mahasiswa sendiri ataupun bangsa Indonesia.

Dari sisi internal, saya yakin bahwa sebagian besar kampus di Indonesia mempunyai wadah untuk mengembangkan kegiatan berpikir kritis. Banyak organisasi kemahasiswaan yang dapat digunakan oleh mahasiswa untuk mengembangkan soft skill-nya, termasuk berpikir kritis. Dari sisi eksternal, banyak pula kegiatan di luar kampus yang mewadahi kegiatan berpikir kritis seperti organisasi kepemudaan, forum diskusi, atau perlombaan. Namun, kegiatan-kegiatan tersebut harus disertai pembinaan yang baik sehingga timbal balik kepada mahasiswa adalah hal-hal yang bermanfaat.

Beberapa insiden organisasi mahasiswa yang melakukan tindakan anarkistis menunjukkan mereka tidak mendapatkan pembinaan yang baik. Akibatnya adalah terjerumusnya cara berpikir mahasiswa yang sok kritis dan sok idealis, namun tidak bermanfaat sama sekali. Malah, menimbulkan kerusakan bagi lingkungan sekitar. Hal yang demikian tentunya sangat disayangkan.

 

Bermanfaat

Apakah mahasiswa cukup berpikir dengan baik dan benar saja? Tidak cukup. Dengan pemikiran yang kritis, mahasiswa dituntut memberikan aksi nyata yang bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Aksi nyata adalah aksi yang mempunyai visi dan misi yang jelas, dan muncul sebagai akibat hasil pemikiran yang kritis. Contohnya adalah sebagai berikut. Seorang mahasiswa mempunyai pemikiran bahwa kemiskinan dapat diberantas dengan meningkatkan kegiatan bisnis yang berorientasi sosial. Pemikiran tersebut memang inovatif dan memberikan solusi bagi kemiskinan di Indonesia.

Namun, apabila mahasiswa tersebut hanya memendam pemikiran itu dalam otaknya, apa yang telah dilakukannya sama saja tidak berarti apa-apa. Aksi nyata yang dapat dilakukan mahasiswa tersebut sangat beragam. Hal yang mudah adalah dengan menyosialisasikan pemikirannya, baik melalui tulisan di media massa, proposal, maupun membentuk forum diskusi. Hal yang lebih baik lagi adalah jika mahasiswa tersebut mampu mendirikan bisnis yang berorientasi sosial seperti yang telah dikemukakannya, di samping menyosialisasikan pemikirannya. Inilah contoh aksi nyata yang jelas membawa perubahan.

Di Indonesia, kagiatan seperti ini semakin semarak. Banyak pemuda, termasuk mahasiswa, yang berani melakukan perubahan dan gebrakan baru serta berunjuk gigi dalam kompetisi skala global. Hal ini tentu merupakan prestasi bagi generasi muda Indonesia yang patut dibanggakan. Optimisme keberhasilan mahasiswa dalam membawa Indonesia ke taraf hidup yang lebih baik adalah cita-cita luhur yang harus senantiasa diperjuangkan. Bentuk perjuangan tersebut antara lain adalah dengan berpikir kritis dan melakukan aksi nyata. Melalui tulisan ini saya mengajak diri saya sendiri dan mahasiswa lainnya untuk terus berusaha menjadi lebih baik, salah satunya dengan berpikir kritis dan melakukan aksi nyata.

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya