SOLOPOS.COM - Abdur Rohman, Mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret

Abdur Rohman, Mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret

Mari luangkan waktu sejenak untuk mendengarkan lantunan lagu Langgam Lawu yang dipopulerkan Iwan Fals. Salah satu syairnya berbunyi: Dengarlah suara bening dalam hatimu / biarlah nuranimu berbicara / lihatlah puncak gunung menjulang tinggi / perkasa menghadapi badai hidup.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Atau, kita dengarkan lagu Panggilan dari Gunung yang juga karya Iwan Fals. Atau, mungkin perlu pula kita perdengarkan Mahameru dari Dewa 19. Di dalam lagu-lagu itu secara tersirat mengandung pesan bahwa sebuah petualangan, baik mendaki gunung atau lainnya, tak boleh terlepas dari kata. Petualangan terkait erat dengan bahasa, sastra dan aksara.

Bila kita juga mau menyelami puisi WS Rendra, Sajak-Sajak Burung Kondor, atau puisi dari Soe Hok Gie, Mandalawangi-Pangrango, keniscayaan aksara, kata dan sastra dalam sebuah petualangan semakin kentara. Bahkan, akan kita dapati bahwa petualangan adalah puisi.  Setelah melakukan penziarahan beberapa lagu dan puisi di atas, mari kita buka lembar sejarah tentang perkumpulan petualangan alam bebas di negeri ini.

Sejarah mencatat Perkumpulan Pentjinta Alam (PPA) yang didirikan oleh Awibowo, seorang mahasisawa Universitas Indonesia di Bogor (sekarang Institut Pertanian Bogor), tercatat sebagai perkumpulan pencinta alam yang pertama kali berdiri di negeri ini. PPA didirikan pada 18 Oktober 1953 dengan tujuan untuk mengisi kemerdekaan dengan kecintaan terhadap negeri ini yang diwujudkan dengan mencintai alamnya.

Di anggaran dasar PPA dijelaskan tujuan mereka adalah memperluas serta mempertinggi rasa tjinta terhadap alam seisinja dalam kalangan anggauta-anggautanja dan masjarakat umumnja. Untuk mencapai tujuan itu, mereka menyebarkan gagasan-gagasan melalui kata, melalui tulisan, melalui dokumentasi gambar. Implementasi penyebaran gagasan-gagasan itu dengan dilaksanakannya berbagai kegiatan di antaranya ceramah-ceramah, penerbitan majalah, wisata alam dan pertunjukan film tentang lingkungan alam.

Kegiatan-kegiatan itu bermuara pada kesadaran pentingnya dokumentasi, entah melalui tulisan maupun gambar, yang kemudian bertujuan untuk dikabarkan kepada khalayak umum. Mereka mendokumentasikan alam melalui tulisan-tulisan yang mewujud dengan terbitnya majalah. Sejarah mencatat perkumpulan pencinta alam pertama di negeri ini sangat melek literer.

Setelah fase tahun ’50-an tersebut berakhir, pada tahun ’60-an kita mengenal Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI). Organisasi ini juga terkenal melek literer. Budaya literer menjadi pegangan mereka dalam berkegiatan. Mereka selalu mendokumentasikan segala sesuatunya dengan tulisan. Soe Hok Gie adalah tokoh anggota Mapala yang melek literer. Tulisan-tulisan Gie bahkan sering muncul di berbagai surat kabar seperti Kompas, yang salah satunya pernah memuat ulasan Gie saat pendakian Gunung Slamet.

Setelah itu kita punya Norman Edwin, juga dari Mapala UI. Saya rasa ini adalah masa keemasan Mapala. Produk literer banyak diproduksi, tulisan-tulisan tentang laporan petualangan alam bebas bertebaran di surat kabar, bahkan buku tentang kepencintaalaman mulai diterbitkan menyapa publik. Konon buku Mendaki Gunung Sebuah Tantangan Petualangan terbitan tahun 1987 karya Norman Edwin merupakan buku pencinta alam pertama di Indonesia. Sejarah jelas mencatat bahwa perkumpulan pencinta alam di negeri ini sangat melek literer. Mereka tak sungkan berbagi gagasan-gagasan tentang alam melalui tulisan.

 

Degradasi

Jika kita lihat perkumpulan pencinta alam saat ini, entah mapala maupun nonmapala, para anggotanya jarang sekali yang mau berbagi tulisan tentang pengalaman mereka berkegiatan di alam terbuka. Produk mereka yang tampil menyapa publik sangat minim. Tulisan-tulisan mereka tak hadir di surat kabar. Bahkan tak berani terbit jadi buku. Budaya literer  di lingkungan kepecintaalaman macet.

Padahal, saya pikir kita masih butuh tulisan tentang perjalanan petualangan ke alam bebas, serta ulasan mengenai sosial budaya masyarakat yang sulit dijangkau masyarakat umum.  Kawasan-kawasan sulit dijangkau masyatakat umum biasanya menjadi tujuan favorit para pencinta alam. Mereka bisa menjadi ”agen” kebudayaan antara masyarakat atau kawasan terpencil yang sulit dijangkau dengan masyarakat di lain daerah.

Minimnya produk literer ini menyebabkan perkembangan kepencintaalaman tidak terlalu pesat dibandingkan dengan usianya yang cukup lama itu. Kepustakaan mengenai kegiatan di alam bebas sangat kurang, bahkan minim. Ini disebabkan karena kesadaran para anggota mapala akan pentingnya budaya literer sangat kurang. Demikian juga di kalangan pencinta alam lainnya yang bukan berstatus mahasiswa.

Kita saat ini haus tuturan perihal perjalanan dan pengembaraan. Kita butuh aktivis mapala (atau pencinta alam lainnya yang tak berstatus mahasiswa) yang tidak sekadar menikmati alam demi pemenuhan hasrat pribadi. Kita butuh aktivis mapala dan lembaga mapala yang selalu munuangkan apa yang dilihat, dirasa, didatangi, diakrabi dan dihormati pada bentangan sang alam dan isi semesta. Kita butuh aktivis mapala dan lembaga mapala seperti itu agar dahaga kita tidak berlarut-larut dan segera teratasi. Aktivis mapala dan lembaga mapala harus berani menjadi oase tuturan melalui tulisan-tulisan tentang alam.

Sebenarnya kegiatan di alam bebas bergelimang cerita. Sepantasnya para aktivisnya rajin dan murah hati berkontemplasi dalam dunia kata sehingga bisa dinikmati oleh orang lain. Tulisan-tulisan atas nama kepencintaalaman dalam semangat literer harus kembali berani tampil menjadi buku, berhamburan di surat kabar. Mapala harus menyapa publik melalui tulisan!

Mengutip Rudy Badil, saya rasa Mapala saat ini harus kembali melek  dunia literer seperti pendahulunya. Rudy menyatakan: tak pernah lupa menulis dan memberitakan kepada khalayak umum pengalaman, pengamatan dan perasaan hatinya tentang alam dan manusianya. Tentu saja, juga Sang Penciptanya. Semoga saja. (rohma2n@yahoo.com)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya