SOLOPOS.COM - Cahyadi Kurniawan, Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNS Solo

Cahyadi Kurniawan, Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNS Solo

M Dalhar pada Harian SOLOPOS (19/6) di rubrik ini menyayangkan pelarangan organisasi ekstrakampus melakukan kegiatan propaganda dan kampanye di dalam kampus yang akan mematikan gerakan mahasiswa. Dalhar membayangkan bahwa akibat lanjutannya adalah kampus akan menjadi sarang kehadiran “intelektual tradisional” ala Gramsci. Semua ini bagi saya terdengar sebagai sebuah sekadar ilusi dan hanyalah isapan jempol belaka.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Gerakan mahasiswa setelah periode pertama mahasiswa Indonesia pada zaman kolonial Belanda  sampai tahun 60-an selalu dalam bayang-bayang pertanyaan bagaimana seharusnya eksistensi gerakan mahasiswa, terutama pada masa kini. Masih diperlukan atau sebaiknya biar saja apa adanya bahkan dikuburkan saja. Untuk menjawab pertanyaan itu tentu aktivis gerakan mahasiswa harus berani jujur melihat ke dalam diri untuk melakukan koreksi.

Dalam tulisan Dalhar, barang kali tidak salah untuk mengatakan bahwa apa yang mendasari terus berlangsungnya gerakan mahasiswa itu adalah sindrom pahlawan yang terus menggelayuti aktivis mahasiswa. Aktivis mahasiswa mengalami ilusi bahwa mereka adalah “juru selamat” sepanjang masa dalam sejarah manusia.

Ilmuwan sosial dan mantan aktivis mahasiswa, Arief Budiman (2006), merekam secara jelas bagaimana isu pembubaran organisasi pergerakan KAMI di tahun 1966 pascaruntuhnya pemerintahan Soekarno. Dalam esainya, Arif Budiman menulis, “Tampaknya setelah berhasil menumbangkan Sukarno pada 1966, mahasiswa dihinggapi semacam ‘penyakit,’ yakni ‘penyakit pahlawan.’ Sejak 1966, para mahasiswa selalu ingin ikut campur dalam segala bidang, terutama bidang politik, dan berpretensi menjadi juru selamat. Masyarakat juga kena ‘penyakit,’ yakni menganggap mahasiswa sebagai sebuah kekuatan sosial yang akan membereskan segala sesuatu.” Aktivis mahasiswa seakan alpa pada apa yang menjadi tugas pokoknya. “Kiranya semua orang setuju, bahwa mahasiswa adalah orang yang belajar di sekolah tingkat perguruan tinggi untuk mempersiapkan dirinya bagi suatu keahlian tingkat sarjana. Itulah yang pertama dan utama bagi para mahasiswa.”

Dan yang perlu diperhatikan adalah bahwa klaim sebagai juru selamat—bahkan sering terdengar satu-satu—lebih sebagai pengakuan diri sendiri dari kalangan aktivis mahasiswa. Tak banyak penelitian ilmiah yang menunjukkan bahwa aktivis mahasiswa adalah benar-benar sebagai juru selamat. Barangkali penelitian Ben Anderson yang bisa disebutkan di sini. Tapi apakah itu akan berlaku pada setiap angkatan aktivis mahasiswa? Inilah yang selalu alpa diperiksa aktivis mahasiswa dan memang tampaknya mereka enggan.

Lalu, yang terjadi kini adalah mengutamakan tugas sekunder mahasiswa menjadi primer. Meski memang harus diakui bahawa fenomena gerakan mahasiswa cukup menguntungkan dalam soal regenerasi kepemimpinan. Sebab, sejarah Indonesia mencatat bahwa aktor-aktor politik  negeri ini dominan diisi oleh para aktivis gerakan mahasiswa. Mereka berasal dari organisasi ekstrakampus, seperti HMI, GMNI, KAMMI, PMKRI, PMII, dan sebagainya. Tapi, bagi saya, ini adalah bentuk kegagalan kampus dalam menelorkan generasi pemimpin.  Namun yang perlu dicatat di sini adalah bahwa itu dahulu saat kampus masih berbenah dan apakah akan terus seperti itu, tampaknya tidak bisa untuk beberapa dekade ke depan.

Gerakan Intelektual

Fenomena gerakan mahasiswa Abad XXI cenderung bergerak sebagai gerakan moral yang reaktif. Gelombang protes mahasiswa semakin masif saat roda pemerintahan bergerak semakin jauh dari luar jalur yang mereka idealkan. Aktivis mahasiswa selalu tampil ke muka (baca: jalan) dengan wajah garang, anarkis, dan jauh dari sikap santun apalagi intelektual.

Gerakan mahasiswa tampak pada publik adalah sebagai moral pressure group. Namun, patut disayangkan jika ternyata gerakan semacam itu hanya sebatas menjadi gerakan korektif terhadap pemerintah. Atau bisa dikatakan sebagai gerakan miskin intelektual yang tak efektif dan tidak mencerminkan sikap kemahasiswaan. Model gerakan tersebut bertolak belakang dengan gerakan intelektual model Gie, Ahmad Wahib, atau Nurcholis Madjid, dan sebagainya yang pernah mewarnai cakrawala intelektualitas bangsa ini. Gerakan serupa juga dilakukan semasa prakemerdekaan oleh Hatta, Soekarno, Tan Malaka atau Sjahrir saat mereka menjadi mahasiswa.

Saya justru sering bertanya-tanya apa aktivis gerakan mahasiswa Abad XXI saat ini pernah membaca atau mengetahui bagaimana gerakan yang dilakukan seperti Gie, Ahmad Wahib, Hatta atau Soekarno. Prasangka baik saya mengatakan bahwa mereka juga (semoga) membaca dan mengetahuinya. Saya melihat bahwa pengetahuan sebagai basis gerakan mahasiswa seakan luput dari diri para aktivis mahasiswa saat ini. Aktivis mahasiswa lebih suka menceburkan diri ke dalam politik praktis yang terkadang tanpa basis intelektualitas dan keilmuan yang matang seperti pada masa Soekarno, Hatta, Gie, Wahib, dan seterusnya. Sebaliknya, politik pengetahuan sebagai basis gerakan untuk meningkatkan posisi tawar terhadap kekuasaan justru diabaikan.

Hal nyata tercermin pada nihilnya produktivitas tulisan apalagi yang berbobot yang dihasilkan oleh para aktivis kampus. Menjumpai tulisan mahasiswa di koran-koran tak semudah menjumpai demonstrasi di jalanan yang massal. Pangkal masalahnya bisa jadi karena aktivis masa kini memang jarang membaca alias miskin literasi. Sepertinya, aksi turun ke jalan lebih heroik ketimbang duduk berlama-lama di kamar kos atau perpustakaan sembari menikmati buku seperti Hatta dahulu. Maka tak heran, jika aktivitas  kegiatan ekstrakampus hanya sekadar menjadi ajang kumpul-kumpul semata. Kontras dengan Gie, mahasiswa cemerlang yang mati muda itu yang tak pernah mau masuk organisasi pergerakan mahasiswa.

Aktivis mahasiswa tampanya terlena oleh selimut ilusi agent of change yang terus menggelayuti mimpinya.  Ilusi menjadi pahlawan sepanjang masa, miskin literasi, nihil produksi tulisan menjadi realita baru dalam fragmen kehidupan kampus. Jikalau demikian adanya, sudah sepatutnya gerakan mahasiswa itu menjadi obituari.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya