SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Muhammad Syamsul Arifin

Mahasiswa Matematika

Promosi Komeng The Phenomenon, Diserbu Jutaan Pemilih Anomali

Fakultas Sains dan Teknologi

UIN Sunan Kalijaga Jogja

 

Lebaran 2012 sebentar lagi tiba. Sebagaimana kebiasaan setiap tahun, umat Islam di Indonesia merayakan Lebaran bersama keluarga di kampung halaman. Tidak lengkap atau puas rasanya jika tidak berlebaran bersama sanak saudara di kampung halaman.

Tidak mengherankan jika menjelang Lebaran, umat Islam di Indonesia berbondong-bondong pulang kampung alias mudik. Jarak yang jauh dengan imbas ongkos yang mahal tidak menjadi halangan. Berbagai cara dan upaya dilakukan dengan satu tujuan, berlebaran di kampung halaman.

Mudik merupakan kebiasaan yang mengakar dan menjadi tradisi setiap tahun bagi masyarakat Indonesia yang merantau, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hampir semua perantau mengumpulkan uang selama setahun dan menyisihkannya untuk Lebaran, dibelanjakan untuk ongkos perjalanan menuju dan selama berada di kampung halaman.

Menurut Umar Kayam (2002), mudik telah terjadi berabad-abad lalu. Mudik dahulunya merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang membudaya jauh sebelum Kerajaaan Majapahit ada. Dahulu, kegitan tersebut untuk membersihkan makam leluhur yang disertai upacara berdoa bersama kepada dewa-dewa di kayangan.

Hal ini bertujuan agar mereka (para perantau) diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang di tinggalkan tidak ditimpa petaka. Ketika Islam masuk, kegiatan tersebut termasuk dalam ketegori syirik.

Momentum pulang ke kampung setiap Lebaran memunculkan kembali tradisi tersebut dalam bentuk dan substansi yang lain. Mereka menggunakan tradisi mudik untuk bersilaturahmi  dengan keluarga, sanak saudara dan kerabat.

Selain itu, mudik digunakan untuk merekatkan kembali tali persaudaraan dan kekeluargaan di daerah asalnya setelah sekian lama bekerja mencari nafkah dan mengadu nasib di perantauan, kerinduan menemukan tempatnya dengan libur Lebaran.

Fenomena mudik yang menjadi tradisi masyarakat Indonesia yang berlangsung bertahun-tahun menyisakan beberapa kegelisahan yang acap kali dihiraukan, yaitu pengeluaran finansial dan keselamatan.

Finansial yang tidak sedikit rela dibelanjakan hanya demi pulang ke kampung halaman. Keselamatan sering kali dipertaruhkan tetapi hal ini diabaikan dengan rasa yakin aman dalam perjalanan.

Apa pun dilakukan  untuk dapat bertemu kembali dengan keluarga, sanak saudara dan kerabat di kampung halaman, walaupun harus mengeluarkan biaya yang cukup besar dan keselamatan menjadi taruhan. Pertanyaannya, mengapa sampai begitu?

Menurut Emha Ainun Nadjib (2004), para pemudik yang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman itu sedang memenuhi tuntutan sukma mereka untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usul mereka.

Mudik dilakukan oleh mereka yang merantau keluar dari daerah asal. Kota-kota besar menjadi harapan untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Jogja dan lain sebagainya.

Mereka tidak mendapatkan pekerjaan yang layak dan tidak dapat meningkatkan taraf hidup lebih baik di daerah asal. Itulah sebabnya mereka memutuskan untuk pergi dari daerah asal menuju kota-kota besar. Setelah lama di kota, kerinduan yang begitu dalam terhadap keluarga, sanak saudara dan kerabat tidak dapat dibendung lagi.

Menurut Muhammad Muhyidin (2008), orang-orang kota mengalami tingkat penurunan spiritualitas terhadap entitas ketaatan kepada Allah SWT. Hal ini karena disibukkan dengan urusan pekerjaan atau urusan yang bersifat duniaw sehingga menyebabkan hati kering.

Hati nurani seperti terasa mati hingga mengakibatkan kesulitan membedakan yang mana kebaikan dan yang mana kebatilan. Dengan demikian, mudik menjadi momentum untuk mencari ketenangan hati atau batin.

Situasi dan kondisi alam pedesaan yang jauh dari hiruk pikuk asap rokok, suara mesin mobil dan lain sebagainya menjadi ruang yang kondusif. Kesadaran bertuhan dan berkehidupan sosial ditumbuhkan ketika menikmati kampung halaman.

 

Fitrah

Kembali ke asal-usul menemukan maknanya bersamaan dengan momentum Lebaran di mana setiap manusia kembali dalam kondisi fitrah. Jika kita coba kritisi, fenomena mudik menandakan terjadinya disparitas kemakmuran antara kota dan desa.



Hal ini menunjukan tidak meratanya lahan pekerjaan dan akses kehidupan yang layak di desa. Kota-kota besar menjadi tempat pelarian dari impitan hidup walaupun mengais nafkah di kota-kota besar tersebut tidaklah menjamin keberhasilan.

Paradigma kota-kota besar adalah sumber pengharapan akhirnya menciptakan dampak selanjutnya dari sebuah tradisi mudik berupa urbanisasi. Tradisi mudik selalu diikuti dengan arus perpindahan orang-orang pedesaan menuju perkotaan.

Tradisi mudik hendaknya menyadarkan stakeholders  termasuk pemerintah untuk meratakan pembangunan dan akses kehidupan di masing-masing daerah. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Jogja dan lain sebagainya harus diberi tanda seru.

Artinya, cukup sudah berduyun-duyun pindah dari desa ke kota-kota besar. Mereka yang merantau ke kota-kota besar perlu bertanggung jawab memajukan daerah asalnya. Selamat merayakan Idul Fitri 1433 H. Semoga mudiknya lancar dan selamat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya