SOLOPOS.COM - Anik Sulistyawati (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Senja, segelas minuman kekinian, dan berjenak-jenak menguntai obrolan. Itulah sekelumit gaya hidup orang-orang zaman now dengan hobi kongko-kongko.

Mencari inspirasi, berdiskusi, atau sekadar bersosialisasi bukan hanya ranah kaum selebritas, eksekutif berdasi, para  pekerja, atau pengusaha,  tapi juga mahasiswa dan pelajar yang sedang mencari jati diri.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Fenomena ini memupuk pertumbuhan tempat-tempat menongkrong atau hang out seperti coffee shop, kafe, restoran, hingga kedai yang menawarkan beragam minuman kekinian  bersama beragam menu lezat yang bikin acara mengobrol kian bersemangat.

Pantas saja, tempat-tempat  yang sebelumnya lengang dan sepi kini  berubah warna. Selama ini jalan-jalan kecil sering menjadi pilihan menghindari kemacetan jalanan utama, termasuk di Kota Solo.

Bukan hanya karena lengang, namun pemandangan hijau sawah saat musim tanam bisa menambah energi saat berangkat  atau mengusir kepenatan dari seharian kerja. Belum lagi saat panen tiba, sekumpulan petani menuai padi yang bercengkerama bahagia ikut menyalurkan energi untuk selalu mensyukuri rezeki.

Lambat laun motivasi alami itu perlahan-lahan hilang tergeser oleh bangunan-bangunan cantik dengan lahan parkir luas dengan papan nama coffee shop, restoran, hingga kedai kekinian. Semua harus mengalah demi menampung luapan keinginan bergaya hidup modern.

Di balik fenomena ini terdapat ancaman pula bagi kelestarian lingkungan. Bentang alam berubah. Sampah kemasan yang terbuat dari plastik menjadi sampah yang banyak dihasilkan oleh aktivitas manusia, termasuk saat makan dan minum, yang berpotensi mengganggu kelestarian lingkungan.

Produksi sampah plastik yang makin tinggi tak terlepas dari gaya hidup masyarakat yang menggunakan plastik untuk mengemas makanan dan minuman. Jajak pendapat yang dilakukan The Earthkeeper Indonesia terhadap penikmat kopi di Jakarta mengungkapkan enam dari 10 orang partisipan mengaku mengunjungi coffee shop sedikitnya sekali dalam sepekan untuk menikmati kopi.

Dalam sepekan, mayoritas partisipan menggunakan atau menyumbang setidaknya satu hingga dua sampah gelas plastik saat membeli es kopi favorit. Kebanyakan dari mereka mengaku tidak memilah antara sampah organik dan nonorganik saat membuang kemasan kopi karena tidak tahu prosedur membuang sampah yang baik dan benar.

World Economic Forum 2020 memperkirakan jumlah sampah plastik akan membengkak dari 260 juta ton menjadi 460 juta ton per tahun pada 2030. United Nations Environment Program (UNEP) memprediksi pada 2050 akan ada lebih banyak plastik di lautan daripada jumlah ikan.

Mungkin masih terngiang dalam memori kita tentang penemuan bangkai paus sperma (Physeter macrocephalus) di perairan Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada 18 November 2018.

Bangkai ikan bernama lain paus kepala kotak itu lantas dinekropsi. Hasilnya cukup mengejutkan karena dari dalam perut mahkluk hidup nahas itu ditemukan aneka jenis sampah plastik dengan berat total 5,9 kilogram.

Rencana Aksi Nasional

International Coastal Cleanup (ICC) merilis pada 2019 sebanyak 97 juta lebih jenis sampah dengan berat total sedikitnya 10 juta  kilogram ditemukan di laut. Sembilan dari 10 jenis sampah terbanyak yang ditemukan  berasal dari bahan plastik, seperti sedotan dan pengaduk, alat makan plastik, botol minum plastik, gelas plastik, dan kantong.

Sampah-sampah plastik berpotensi mengancam setidaknya 800 spesies. Hal itu terungkap dari hasil penelitian yang diterbitkan Sekretariat Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity) pada 2016.

Sebanyak 405 adalah mamalia laut dan 445 lainnya spesies burung laut. Data itu kemudian diperbarui pada Konferensi Laut PBB di markas New York, Amerika Serikat, pada 2017. Konferensi menyebut limbah plastik di lautan telah membunuh jutaan burung laut, 100.000  mamalia laut, kura-kura laut, dan ikan-ikan berjumlah besar setiap tahun.

Usaha-usaha penyeimbang dan pencegahan menumpuknya gelas plastik di laut memang sudah dilakukan. Founder The Earthkeeper Indonesia, Teguh Handoko, belum lama ini berujar di seluruh dunia setiap tahun terjadi peningkatan produksi gelas kertas sebesar 3% hingga 5% dengan tingkat pertumbuhan tertinggi di kawasan Asia Pasifik.

Lebih dari 320 miliar cangkir kertas yang diproduksi di seluruh dunia setiap tahun hanya kurang dari 1% yang berhasil didaur ulang karena sulitnya proses pemisahan kertas dengan lapisan plastik yang menempel pada gelas kertas.

Dibutuhkan lebih dari 400 tahun plastik terdegradasi dan itu sebenarnya tidak pernah sepenuhnya terdegradasi, melainkan menjadi potongan-potongan kecil yang akhirnya dapat mengontaminasi kehidupan laut dan juga membahayakan kehidupan manusia.

Kita tentu tak boleh tinggal diam sebelum gaya hidup yang kita jalani saat ini mengancam peradaban generasi mendatang. Tekad pemerintah mereduksi sampah di lautan sebenarnya sudah terang benderang termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut. Dalam peraturan tersebut terdapat rencana aksi nasional penanganan sampah plastik di laut pada 2018-2025.

Targetnya adalah sampah plastik di laut tereduksi hingga 70% pada 2025. Salah satu upayanya adalah mengaktifkan Kemitraan Aksi Plastik Nasional (National Plastic Action Partnership/NPAP). Kemitraan tersebut menjadi yang pertama di dunia dan menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen mengurangi produksi sampah plastik.

Kebijakan itu perlu didukung dengan langkah nyata secara kolektif maupun individual untuk  secara sadar dan sukarela mengurangi sampah plastik mengapung di lautan. Alangkah indahnya para pelaku usaha tak sekadar mencari ”cuan”, namun juga memikirkan penanganan sampah dari dampak bisnis mereka.

Alangkah eloknya ketika setiap orang lebih bijaksana  ikut mengendalikan dan mereduksi sampah-sampah plastik dengan memilih produk-produk ramah lingkungan. Mungkin perlu inovasi meracik minuman kekinian rasa ikan untuk mengingatkan bahwa setiap gelas plastik yang digunakan terdapat nyawa dan kehidupan biota laut yang dipertaruhkan. Perlukah demikian?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 16 Desember 2022. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya