SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Kepergian  Nirwan Ahmad Arsuka pada 6 Agustus 2023 menjadi pengingat tentang kerja keras membangun budaya membaca yang masih panjang dan makin berat. Ia mewariskan semangat literasi kepada ribuan simpul gerakan akar rumput Pustaka Bergerak Indonesia.

Gerakan ini tersebar hingga daerah-daerah pelosok di Indonesia. Pemikir seni dan kebudayaan—berlatar pendidikan formal Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada—dan menyebut diri sebagai petulang buku ini menyemai benih membangun imjinasi tentang Indonesia yang berkebudayaan aksara, berkebudayaan membaca.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Mengutip laman Goethe Institut, di acara Makassar International Writers Festival (MIWF) 2017, dalam diskusi bertema Buku dan Aktivisme, Nirwan menjelaskan Pustaka Bergerak Indonesia adalah jaringan warga yang suka rela bekerja membangun kemandirian masyarakat menyebarkan buku-buku tidak berbayar, terutama di daerah-daerah dengan akses transportasi yang sulit dan tanpa perpustakaan umum.

Gerakan tersebut meyakini anak-anak Indonesia sesungguhnya bukan berminat membaca rendah. Mereka selama ini hanya kesulitan mendapatkan buku-buku bacaan. Ketika ada buku yang bisa dijangkau, mediumnya tidak begitu menarik untuk anak-anak tersebut.

Nirwan membuktikan itu. Ketika dia melakukan perjalanan berkuda di pelosok Indonesia membawa beberapa buku bacaan untuk anak-anak, mereka sangat antusias. Jaringan Pustaka Bergerak Indonesia terbentuk di banyak daerah.

Perahu pustaka, kuda pustaka, gerobak pustaka, kereta pustaka, pedati pustaka, ojek pustaka, motor pustaka, becak pustaka, ransel pustaka, sepeda pustaka, noken pustaka, dan banyak warga yang bergerak dengan berjalan kaki atau berperahu membawa buku-buku adalah jaringan yang disemai dan dibentuk Nirwan bersama Pustaka Bergerak Indonesia.

Pustaka bergerak berupaya menumbuhkan kekuatan masyarakat membangun sendiri budaya membaca dan menulis. Tujuannya masyarakat bisa menuliskan sendiri sejarah dan cerita-cerita mereka sekaligus membentuk bersama kenyataan sosial, politik, dan budaya yang berlangsung.

Kepergian Nirwan mengingatkan saya (lagi) pada fase tidak linier perkembangan bangsa kita. Ketidaklinieran ini sejak tahap pengenalan aksara buah revolusi peradaban oleh mesin cetak, kemunculan teknologi penyiaran (radio dan televisi), hingga era digital dengan tulang punggung Internet (media sosial).

Revolusi peradaban oleh mesin cetak—menghasilkan buku dan surat kabar serta media cetak turunan lain—signifikan mengubah budaya lisan bangsa ini hingga berujung imajinasi tentang Indonesi merdeka.

Para pendiri bangsa ini, laki-laki dan perempuan, adalah pembaca-pembaca yang kuat dan penulis-penulis yang produktif. Literasi (keberaksaraan), pengetahuan, sekolah, dan modernitas diyakini bernilai penting dalam membangun bangsa ini.

Keberaksaraan menjadi ukuran pencapaian peradaban bangsa. Keberaksaraan menjadi wakil sah keterpelajaran. Keberaksaraan sejak itu—mungkin juga hingga kini—diyakini lebih maju daripada kelisanan dan ketidakmelekhurufan.

Ketika kondisi itu belum matang, muncul intervensi sangat kuat oleh teknologi audio-visual. Televisi dan turunannya menguatkan lagi kelisanan, bahkan menjadi kelisanan massal. Demokratisasi pengetahuan yang disebarkan oleh buku dan teknologi cetak lainnya tak beranjak ke mana-mana.

Ketika pukulan kuat teknologi audio-visual itu belum mereda—dan keberaksaraan tak kunjung menguat—muncul intervensi baru dari Internet, tetutama media sosial. Kini banjir informasi lewat banyak kanal digital memosisikan buku sebagai yang minor.

Teknologi digital memang berhasil menggabungkan audio, gambar, citra, teks, visual, ikon, grafis menjadi satu kesatuan pada layar kaca. Sebelumnya semua itu terpisah-pisah. Ini fakta yang tak bisa kita mungkiri. Corak interaktif makin menguatkan daya tariknya dibanding buku atau teknologi (hanya) audio-visual.

Sayangnya, realitas terkini menunjukkan pesona teknologi itu tak juga membawa kita beranjak lebih maju dalam urusan keberaksaraan. Teknologi digital itu—dalam perspektif subjektif saya—malah hanya menebalkan kelisanan, kebudayaan lisan.

Kelisanan belum benar-benar terangkat ke fase keberaksaraan oleh buku-buku dan turunan teknologi cetak lainnya. Kebudayaan lisan belum terangkat oleh semangat keterpelajaran yang terbentuk oleh keberaksaraan, meskipun jumlah sekolah dan perguruan tinggi bertambah banyak.

Teknologi informasi hari ini tampaknya—pada tingkat tertentu—justru hanya mewujudkan peradaban yang disebut Walter J. Ong sebagai kelisanan kedua atau secondary orality. Kelisanan kedua adalah masa pascabudaya tulis, pascabudaya keberaksaraan.

Kelisanan kedua adalah produk unik dari budaya tulis yang sekaligus menggunakan karakteristik budaya lisan. Kelisanan kedua disebabkan transformasi teknologi (elektronik kala Ong mengemukakan pendapatnya pada 1980-an).

Kelisanan kedua mengambil alih fungsi penyampaian informasi dan komunikasi (sebagian) dengan memanfaatkan lagi suara dan bentuk teks. Sifatnya cenderung audio-visual. Internet, terutama media sosial, dalam perspektif subjektif saya hari-hari ini (sebagian besar) mewujud ke arah itu. Teknologi yang menguatkan kelisanan, bukan keberaksaraan.

”Peradaban” demikian ini—mengutip pernyataan Irfan Afifi dalam orasi kebudayaan di Kampung Buku Jogja, 10 September 2018—memosisikan pernalaran hanya mengulang pola formulaik, melanggenggkan skema repetitif.

Pada ujungnya gagal menciptakan corak tradisi pernalaran baru yang lebih maju dan autentik. Bisa jadi inilah penyebab kita sebagai bangsa kini miskin imajinasi kolektif tentang bangsa dan negara yang kita inginkan. Pengelolaan negara tak berpijak pada imajinasi kolektif—yang memang tidak ada—itu.

Setelah 78 tahun merdeka tampaknya imajinasi kita tentang kebangsaan dan kenegaraan jauh lebih miskin daripada para pendiri bangsa kita. Di sinilah simpul Pustaka Bergerak Indonesia yang dibangun Nirwan dan kawan-kawan menjadi kian relevan.

Lewat budaya membaca buku kita bisa berupaya mengangkat kelisanan kedua menjadi keberaksaraan dan keterpelajaran. Hanya literasi (keberaksaraan) yang mampu membangkitkan gerakan kewargaan menjadi ujung tombak pemberdayaan masyarakat dan budaya.

Ini butuh pernalaran baru yang maju dan autentik, bukan hanya mengulang pola-pola formulaik dan melanggengkan skema repetitif ala click and share. Pernalaran dengan dan yang membangun imajinasi tanpa batas.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 14 Agustus 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya