SOLOPOS.COM - Seorang pekerja di rumah produksi beras milik Aziz, 54, di Desa Kopen, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali, menjemur gabah, Kamis (22/9/2022). (Solopos/Ni’matul Faizah).

Potensi krisis beras itu nyata. Ini adalah imbas kondisi dalam negeri dan kondisi pasar global. Kondisi dalam negeri berupa penurunan hasil panen padi karena kemarau panjang dampak El Nino dan kemunduran musim tanam I.

Kondisi luar negeri adalah langkah eksportir nomor satu komoditas pangan, India, yang melarang ekspor beras nonbasmati ke luar negeri. Fenomena El Nino hingga September ini—diperkirakan masih berlangsung hingga akhir tahun ini—adalah pertanda nyata tentang potensi krisis beras yang bisa terjadi.

Promosi Selamat Datang Kesatria Bengawan Solo, Kembalikan Kedigdayaan Bhineka Solo

Harga beras terus naik dan kini telah melampaui harga eceran tertinggi seiring penurunan hasil panen dan negara-negara penghasil beras yang mengamankan pasokan dalam negaranya sendiri.

Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), pembatasan ekspor beras India meningkatkan masalah ketahanan pangan yang substansial untuk sebagian besar populasi dunia.

Studi ilmiah menunjukkan padi adalah tanaman yang rentan, memiliki kemungkinan tertinggi kehilangan panen secara bersamaan selama fenomena El Nino berlangsung. FAO mencatat indeks harga beras pada Juli 2023 berada di level 129,9 poin.

Indeks harga beras itu naik 2,8% dibandingkan Juni 2023 yang mencapai 126,2 poin. Lembaga itu menyebut indeks tersebut merupakan yang tertinggi sejak September 2011 atau lebih dari satu dekade terakhir. Saat itu indeks harga beras hanya 108,4 poin atau jauh lebih rendah daripada saat ini.

Kebijakan larangan ekspor beras di India sejak 20 Juli 2023 menjadi pemicu kenaikan harga beras dunia. Ini masih ditambah Thailand yang berstatus pengekspor beras terbesar kedua di dunia sekarang juga mendorong para petani menanam lebih sedikit padi untuk menghemat air akibat curah hujan yang rendah.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperingatkan musim kemarau tahun ini akan lebih kering dibandingkan pada 2020, 2021, dan 2022. Per 1 Agustus 2023, BMKG merilis data 63% wilayah Indonesia sudah memasuki musim kemarau.

Krisis pangan bukan hanya diakibatkan El Nino dan perubahan iklim, tetapi juga konflik di Ukraina yang mengubah situasi geopolitik global. Rantai pasok bahan pangan terganggu dan dampaknya sampai ke Indonesia.

Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan pasokan beras impor seperti yang jamak dilakukan selama ini. Pemerintah harus mendorong produksi beras dalam negeri melalui intervensi khusus. Salah satunya mencegah alih fungsi lahan pertanian dan memperluas jangkauan sistem irigasi.

Saran-saran agar pemerintah membangun sistem penyimpanan beras dan bahan pangan lain yang lebih baik harus mulai dijalankan. Indonesia bukan hanya lemah dalam teknologi pertanian, tetapi juga dalam pengelolaan persediaan bahan pangan.

Penting bagi petani dan pemangku kepentingan sektor pertanian memantau perkembangan cuaca dan mengambil langkah-langkah mitigasi yang tepat. Pemerintah tampak masih memasang mode wait and see sambil memastikan stok pangan aman hingga harga beras terkendali.

Harus diingat bahwa kondisi seperti ini akan menjadi momok mengerikan bagi perut rakyat Indonesia jika pemerintah tidak responsif karena harga beras bakal melambung. Inflasi melonjak lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya