SOLOPOS.COM - Sastrawan yang menjadi salah satu penulis lepas di Solopos Media Group (SMG), Abdul Wachid Bambang Suharto, kini bergelar profesor bidang Ilmu Pendidikan dan Sastra Indonesia. (Istimewa)

Keberagaman di Indonesia telah memberikan landasan bagi semangat Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Keberagaman inilah yang menjadi salah satu kekayaan bangsa Indonesia dan menjadi landasan dalam membangun kesatuan dan harmoni pada masyarakat kita. Keberagaman ini merupakan kekayaan bangsa yang menuntut upaya untuk mempertahankan harmoni dan mengatasi potensi konflik beragama. Dari sinilah, pesantren memiliki peranan yang cukup menarik dalam memberikan kontribusi pada pengembangan nilai-nilai Islam di Nusantara, terutama dalam pemahaman moderasi agama.

Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana pondok pesantren berperan dalam mengembangkan moderasi beragama melalui literasi sastra Indonesia? Kita semua telah memahami bahwa Islam hadir sebagai jalan tengah (tawassut) dengan berbagai konsep yang meneduhkan dalam bidang akidah, ibadah, akhlak, hubungan antar-sesama manusia, dan perundang-undangan. Meski begitu, ektremisme beragama menjadi fenomena yang tak terelakkan. Ekstremesme lahir dari segala dimensi kehidupan manusia, termasuk cara memahami Islam (Ali Nurdin, 2019).

Promosi Piala Dunia 2026 dan Memori Indah Hindia Belanda

Salah satu penyelesaiannya melalui eksplorasi dan internalisasi literasi moderasi beragama di pondok pesantren. Pondok pesantren sebagai institusi sosial religus sangat kental dengan dimensi moderasi beragama yang dibingkai dengan tradisi keserba-ibadahan, kemandirian, kesederhanaan, yang bersumber dari Al-Qur’an, hadits, dan hasil intrepretasi para ulama dahulu. Pesantren merupakan basis penanaman paham moderat, membentuk umat yang penengah (ummatan wasatan). Ciri khas paham keagamaan yang dikembangkan oleh pesantren yakni ahlussunah wal jama’ah, yang moderat, menampilkan corak Islam yang santun, damai, serta tak memaksa.

Moderasi beragama pun menjadi konsep yang mendasar dalam menjaga harmoni kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Di tengah masyarakat yang multikultural dan multireligius, penting bagi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam untuk memainkan peran dalam mempromosikan moderasi beragama. Salah satu cara yang digunakan adalah melalui pengajaran sastra Indonesia di pesantren. Melalui sastra, pesantren dapat membantu santri mengembangkan pemahaman yang lebih luas tentang agama dan budaya, serta mempromosikan nilai toleransi, dan saling menghormati terhadap perbedaan agama.

Adapun pengajaran sastra Indonesia di pondok pesantren sebagai upaya dalam membangun kesadaran moderasi beragama dapat dilakukan dengan beradasar pada paradigma berikut ini.

Pertama, Pesantren sebagai Ruang Pendidikan atau Pembelajaran Sastra.

Pada buku esainya Menggerakkan Tradisi, Gus Dur menulis tentang sastra dan pesantren. Gus Dur mengetengahkan karya Djamil Suherman yang bernuansa agama (di pesantren) (Wahid, 2016). Gus Dur tentunya bukan kritikus sastra, tetapi pembacaannya atas literasi sastra sangat baik. Gus Dur mengatakan sastra di pesantren, dan pesantren sebagai tema karya sastra, belum digarap optimal. Banyak karya sastra bertema agama, tetapi sedikit yang menyinggung kehidupan pesantren sebagai lokus dan modus penciptaan.

Terlepas dari kritik Gus Dur, pesantren sebenarnya sudah “membangun” konsep sastra dalam proses pembelajarannya. Bahkan, sejak semula, pesantren sering dijadikan tempat diskusi oleh pujangga Keraton Surakarta seperti Yasadipura 1, Yasadipura 2, hingga Ranggawarsita. Ilmu tasawuf, fikih, akidah, akhlak, diajarkan di pesantren melalui kitab-kitab berbahasa Jawa (Pegon). Beberapa kitab seperti Aqidatul awam, Alfiyah ibn al-malik, dibaca menggunakan langgam (nadhom), di samping wirid/ hizib yang panjang (Abdullah, 2011; Muzakka, 1999; Tabroni, 2019).

Semua suara dari dalam pesantren sangat bermakna, kata Raedu Basha dalam pidato kebudayaannya Sastra Pesantren, Semua Suara Berharga. Seluruh karya yang dihasilkan melalui pesantren, dengan intensi sastra yang baik, tetaplah akan menjadi karya sastra Indonesia yang indah. Dewasa ini, novel Hati Suhita karya Khilma Anis bisa dijadikan contoh (Basha, 2020). Suara-suara yang keluar dari dalam pesantren ialah suara keindahan.

Hubungan pesantren dan sastra juga diteliti secara etnografis oleh Badrus Shaleh, yang mengangkat Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura, lumbungnya para santri-penulis. Di pesantren tersebut, kitab dan nadhom dibacakan setiap hari, siang dan malam. Tradisi kepenulisan di Annuqayah mulai era 1980-an. Pesantren tersebut sama halnya dengan pesantren lain, salaf dan tidak mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia. Tradisi menulis muncul karena aktivitas mengaji yang telah lama dilakukan oleh para kiai dan santri. Bahkan, mulanya, aktivitas menulis hanya dilakukan oleh para kiai yang keilmuannya matang. Karya berbahasa Indonesia mulai masuk karena Kiai M. Ashim Ilyas mengikuti pelatihan jurnalistik 1970-an akhir yang diadakan oleh Departemen Agama. Dari sanalah muncul ide mengenai media publikasi dan majalah dinding (Shaleh, 2020). Sastra, pesantren, dan moderasi beragama sama-sama mengedepankan makna hikmah dalam praktiknya. Tidak ada yang tidak sastra di pesantren, bahkan Al-Qur’an merupakan “kitab sastra” terbesar, kata Nasr Hamid Abu Zayd (2005).

Kedua, sastra sebagai sarana untuk literasi moderasi beragama pesantren. Narasi moderasi agama dalam karya sastra selalu dibangun melalui “modus penciptaan” penulisnya. Gagasannya banyak dipengaruhi oleh pemahaman, ideologi, kecenderungan mazhab penulisnya. Kita bisa melihat dalam karya K.H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus), yang kerap mengedepankan cinta dan tasawuf sebagai modus penciptaan. Pada cerpen “Gus Jakfar”, Gus Mus mengurai persoalan hakikat ketuhanan dan kemanusiaan yang selalu paradoks, bila dinilai sesama manusia. Gus Mus ingin mengatakan bahwa semua orang berpotensi memperoleh surga yang abadi (Wachid B.S., 2019). Persoalan moderasi merupakan persoalan kesadaran. Setidaknya, kesadaran ini dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan keagungan akhlaknya, di samping penghayatan atas firman Allah yang banyak menyinggung persoalan muamalah (Abdullah, 2019). Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimanakah moderasi di pesantren dengan sastra sebagai representasinya?

Untuk menjawab pertanyaan itu, konsep Wali Sanga perlu dikemukakan. Pada zaman Wali Sanga, Sunan Giri adalah sosok ulama yang menggunakan pesantren dan sastra sebagai media berdakwah. Sunan Giri, dalam Serat Walisana, adalah putra dari Syekh Maulana Ishak. Setelah dewasa dan keilmuannya meningkat, Sunan Giri mendirikan “Pesantren Giri” yang memiliki pengaruh kuat di berbagai daerah, dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan, Makassar, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores sampai ke Ternate. Selain pesantren, Sunan Giri juga mahir menciptakan karya sastra dalam bentuk tembang, seperti “Padang Bulan”, “Jor”, “Gula Ganti”, serta Cublak-cublak Suweng. Melalui dua entitas itu, pesantren dan seni (sastra tembang), Sunan Giri berdakwah dengan nilai rahmah (kasih-sayang) dan kearifan lokal (Ismail, 2021). Sisi moderasi Sunan Giri terlihat dari prinsipnya yang adil dan berimbang, tidak menjustifikasi masyarakat di sekitarnya. Sunan Muria juga melakukan hal yang nyaris sama, mendirikan pesantren, dan menggunakan “Suluk Pambukaning Tata Malige Betal Mukaram”. Salah satu isinya ialah ora kena dhahar iwak ati (tidak boleh makan hati). Suluk tersebut bisa juga disebut dengan proses penyucian jiwa (Arafat, 2020).

Ketiga, Kontekstualisasi Sastra untuk Moderasi Beragama. Dari kedua tokoh di atas yang masyhur sebagai ulama dan wali tersebut menggunakan pesantren dan seni (sastra) sebagai pendekatan dakwahnya. Artinya, pola mereka menemukan kontekstualisasinya, bila melihat fenomena pesantren sekarang ini. Sikap moderasi yang mengedepankan rahmah (kasih-sayang) sebagaimana konsep Sunan Giri, bisa dibangun melalui pesantren dan sastra. Pada konteks Indonesia, di tahun 1960-an muncul nama Syu’bah Asa, Djamil Suherman dan Fudoli Zaini. Pada 1970-an muncul Emha Ainun Nadjib (Cak Nun, alumnus Pesantren Gontor). Pada 1980-an dan 1990-an muncul K.H.A. Mustofa Bisri, Jamal D. Rahman,  Acep  Zamzam  Noor  (putra  mantan  Rois  Syuriyah  PBNU,  K.H. M. Ilyas Ruhiat, Tasikmalaya), Ahmad Syubbanuddin Alwy (putra kiai dari Cirebon), Abidah El-Khaliqy, Ahmad Tohari, Abdul Hadi W.M., D. Zawawi Imron, Hamdy Salad, H.M. Nasruddin Anshory Ch., Kuswaidi Syafi’ie, dan lainnya. Pada era 2000-an muncul novelis Habiburrahman El-Shirazy, Ahmad Fuadi, dan lainnya. Meraka adalah sastrawan yang pernah belajar di pesantren, dan karya mereka bernapaskan nilai-nilai religius pesantren.

Dari sinilah sastra memberikan kontribusi di pesentren dalam memperkuat praktik moderasi beragama di pesantren adalah sebagai berikut. Pertama, sastra Indonesia memperluas perspektif tentang agama dengan menyajikan cerita dan tokoh dari berbagai latar-belakang agama. Kedua, sastra Indonesia mencitrakan kehidupan beragama yang moderat dengan menggambarkan karakter-karakter yang menghargai perbedaan dan mendorong dialog antarumat beragama. Ketiga, sastra Indonesia mendorong empati dan pemahaman antarbudaya dengan mengangkat isu-isu kehidupan yang kompleks. Keempat, sastra Indonesia menggali nilai-nilai agama dengan pendekatan budaya sehingga santri dapat memahami penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan nyata. Kelima, melalui prosa dan puisi, sastra Indonesia menginspirasi dan mendorong refleksi diri santri dalam memahami praktik moderasi beragama.

Artikel ini dimuat di Harian Umum Solopos edisi Jumat (25/8/2023) Abdul Wachid B.S. adalah penyair, Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya