SOLOPOS.COM - Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga. (Istimewa)

Garis pemikiran lain tentang tradisi dan modernitas ditemukan dalam tulisan-tulisan Mohammed Arkoun. Dalam tulisannya Arkoun berusaha memahami evolusi tradisi dalam budaya Arab dan sebagian besar titik balik penting dari evolusinya.

Arkoun mengintegrasikan tiga elemen yang dia anggap bertanggung jawab atas evolusi/regresi bahasa Arab dan pengetahuan budaya, yaitu pemikiran, bahasa, dan lingkungan sosio-historis.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Dia menetapkan tiga sistem untuk memahami masa lalu atau tradisi. Pertama, memahami tradisi sebagai semua yang telah dipikirkan yang pada akhirnya mengarah pada dua lainnya; tradisi yang tidak dipikirkan, atau keputusan yang telah dibuang, diabaikan selama evolusi tradisi pada waktu tertentu; dan tradisi yang mustahil untuk dipikirkan pada saat itu.

Arkoun berpendapat memahami keadaan dan faktor-faktor yang menyebabkan adopsi tradisi tertentu atas yang lain adalah pusat pemahaman yang lebih baik dari proses, bukan produk yang bertanggung jawab untuk evolusinya. Seperti Al-Jabiri yang menganggap pikiran sebagai pusat penyelidikannya (pemikiran, bahasa, lingkungan sosio-historis). Arkoun mempertanyakan esensi pikiran Islam dan perannya dalam memproduksi ilmu-ilmu agama serta pengaruhnya dalam evolusi pengetahuan dan sains selama era keemasan peradaban Arab.

Arkoun juga menyelidiki pengaruh agama Islam terhadap pemikiran dan pengaruh agama terhadap masyarakat. Ia berpendapat sepanjang sejarah Islam pemikiran tunduk pada banyak variabel dan bahwa deteksi titik balik ini adalah kunci untuk memahami munculnya krisis dalam Pemikiran Islam Arab.

Arkoun memberikan perhatian pada dua titik balik utama: Pertama, intervensi Orientalisme dan visi baru untuk memahami warisan masa lalu. Kedua, kecenderungan memisahkan urusan agama dari kehidupan politik negara (Ilmaniyyah) menurut Ataturk.

Selain beberapa faktor yang dikemukakan Al-Jabiri, Arkoun menambahkan lagi dan menyerukan evaluasi hadis yang kita warisi untuk memverifikasi mana yang dapat diterima dan sesuai dengan zaman kita. Dengan kata lain, tradisi-tradisi tertentu yang dihasilkan pada masa lalu masih dapat diterima asalkan kita dapat memahami proses dan pikiran yang mempengaruhi evolusinya sejak awal. Ini mengarah pada penjelajahan esensi tradisi bukan sebagai bentuk yang dangkal, melainkan sebagai makna dan tema yang melekat pada dirinya.

Kita diundang untuk mempertimbangkan kembali beberapa keputusan yang tidak mungkin dipikirkan selama produksi tradisi, yang mungkin tidak mungkin untuk dipikirkan pada saat itu atau tidak dipikirkan sama sekali, tetapi mungkin untuk dipikirkan atau dipertimbangkan di zaman modern demi perubahan masa depan.

Arkoun juga mempertimbangkan studi bahasa dan berpendapat bahwa bahasa telah menjadi faktor utama dalam kemunduran pemikiran Arab. Sumbangan Hassan Hanafi dalam kajian tradisi dan modernitas juga menarik. Hanafi menyelidiki tradisi dan tantangan modernitas dari tiga perspektif utama.

Pertama, ia mengkaji warisan untuk merumuskan sudut pandang tertentu. Kedua, ia mengkaji tradisi barat dalam Oksidentalisme. Ketiga, dia memeriksa masa kini untuk mencari/membangun suatu  teori.

Dalam kajian pertama, Hanafi menyoroti isu-isu vital ketika memeriksa tradisi. Pendekatannya cenderung mencakup aspek sosial budaya, sejarah, dan politik. Oleh karena itu, dia menangani masalah ini pada tingkat yang berbeda: yang pertama dari perspektif sosio-historis di mana ia berpendapat bahwa kita harus memahami tradisi dalam sorotan masa kini kita dan kita harus memahami masa lalu sesuai zaman modern kita, bukan seperti yang kita warisi.

Ini membawa kita pada simpulan bahwa sebagian orang mungkin memiliki bias tentang masa lalu yang mengarah pada stagnasi dan pandangan terbatas tentang tradisi. Bagi banyak orang tradisi sering  diasosiasikan sebagai sesuatu yang suci, tak tersentuh, dan setiap upaya untuk mengubah tradisi adalah penistaan.

Pada tataran ketiga, Hanafi menangani sistem pendidikan dan studi Islam. Menurutnya, ada pemisahan antara pemikir dan latar budayanya. Artinya kajiannya terhadap tradisi berada pada tataran teori yang tidak memengaruhi dirinya atau dunia nyata, sedangkan tradisi harus menjadi esensi dari eksistensinya, masa lalunya, masa kini, serta masa depannya.

Hanafi menyarankan solusi untuk perubahan yang diinginkan. Usulan pertama adalah pada tataran bahasa. Dia berpendapat bahwa ilmu-ilmu tradisional dasar dalam warisan kita masih terbatas pada batas-batas bahasa yang kaku yang tidak lagi sesuai dengan dunia ilmiah modern.

Oleh karena itu, ia mengemukakan bahwa karena bahasa merupakan aksioma untuk menerjemahkan dan menginterpretasikan pemikiran, maka modernisasi bahasa akan mempengaruhi dan memodernisasi pemikiran itu sendiri.

Kajian kedua adalah upaya mengeksplorasi metode analisis-sintesis baru yang inovatif dengan memanfaatkan kesadaran psikologis dalam membaca dan memahami tradisi. Dia mengidentifikasi berbagai lapisan dalam hubungan antara pikiran si pengirim (transmitter), dalam hal ini pencipta tradisi dan penerima (kita).

Menurutnya, analisis terhadap pikiran sosio-psikologis yang tersembunyi dari penemu tradisi, baik dalam aspek fisik maupun nonfisiknya, akan mengarah pada pemahaman yang lebih baik tentang tradisi, evolusinya, serta cara mencegah setiap kekeliruan dalam membaca tradisi.

Kajian ketiga adalah upaya mengubah lingkungan budaya jika perlu. Di sini ia berpendapat bahwa tradisi adalah hasil dari superioritas aspek-aspek tertentu dari suatu lingkungan budaya atas budaya orang lain, baik yang berkaitan dengan keluarga, gaya hidup, sistem politik, dan lainnya. Namun, aspek-aspek dominan tersebut mungkin tidak berlaku pada masa kini yang berarti bahwa untuk menghidupkan kembali suatu tradisi tertentu maka lingkungan budaya kontemporer harus menyamai presedennya ketika tradisi itu berkembang.

Hanafi akhirnya berpendapat perlunya pembangunan kembali ilmu-ilmu tradisional secara menyeluruh dengan mempertimbangkan variabel-variabel kontemporer. Hanafi membangun Oksidentalisme atau studi tentang Renaisans Barat untuk memahami evolusinya.

Hanafi berpendapat bahwa kaum intelektual di Dunia Ketiga menderita berbagai masalah yang menghambat kemajuan dan mempengaruhi perubahan lingkungan budaya mereka. Masalah-masalah tersebut bervariasi, dari yang eksternal seperti represi politik, kooptasi, korupsi, dan keserakahan, atau faktor-faktor pribadi yang terkait dengan mata pencaharian, yang dapat menyebabkan pemisahan individu dari lingkungan sosial budaya atau berimigrasi ke budaya lain.

Paparan ini menggambarkan kepada kita bahwa secara metodologis, Islam lagi-lagi mengedepankan sikap antara (wasathiyyah), tidak cenderung kepada tradisi (turath) maupun modernitas atau kebaruan (hadathah). Kecenderungan berlebih pada tradisi menyebabkan kejumudan dan tertutup terhadap pemikiran dan kebudayaan lain dan ini merupakan ekstremitas. Kecondongan berlebih pada modernitas-kebaruan juga merupakan ekstremitas yang akan mencerabut kita dari jati diri sendiri. Islam mengambil jalan tengah, yakni dalam menghadapi komtemporeritas Islam senantiasa menjaga tradisi yang baik dan masih relevan serta tidak segan untuk membuang tradisi yang usang dan  tidak relevan dengan kehidupan zaman.

Islam terbuka untuk mencontoh dan mengambil hikmah kebaruan atau modernitas (yang lebih baik dari tradisi) yang datangnya dari Barat dan sekaligus melakukan kreasi untuk menemukan pembaruan terbaik.

Sekadar contoh, sikap tengah semacam ini pernah ditunjukkan K.H. Ahmad Dahlan ketika bereksperimen atas pendirian Madrasah Langgar Kidul. Madrasah adalah warisan tradisi, namun ia mengadopsi model pendidikan Barat (school) pada madrasah ini.

Ia mempergunakan metode pembelajaran dua arah, dialog, tanya jawab, diskusi, seminar antara guru-murid, memanfaatkan alat peraga seperti peta, kompas, dan lainnya. Ia juga bereksperimen dalam membangun kurikulum madrasah dengan mengintegerasikan kurikulum madrasah dan sekolah.



Madrasah Langgar Kidul mengajarkan ilmu-ilmu agama dan sains secara bersamaan. Dengan demikian sikap tengah dalam menghadapi realitas kontemporer itulah yang niscaya menjadi pilihan kaum muslim di dunia. (Habis)

Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya