SOLOPOS.COM - Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga. (Istimewa)

Al-Qur’an dan al-Sunnah mengajarkan pentingnya persaudaraan, karena itu pembentukan lembaga persaudaraan dalam peradaban Islam sangat ditekankan. Dalam Islam, semua muslim adalah bersaudara (QS. 10:4).

Dalam tatanan sosial Islam, setiap individu adalah gembala/pemimpin yang bertanggung jawab atas gembalaannya. Islam menentang individualisme dan isolasionisme, serta menganjurkan intervensi dalam kehidupan sosial demi kebaikan. Maka tugas muslim sebagai anggota masyarakat mencakup mengucapkan salam atas sesama muslim, menengok saudaranya yang sakit, menghibur tetangganya yang kena musibah, kerjasama melawan agresi dan kejahatan, berbagi kegembiraan, saling memberi maaf, tidak bergosip, menutupi kekurangan, saling menasehati, dan sebagainya.

Promosi Ada BDSM di Kasus Pembunuhan Sadis Mahasiswa UMY

Islam juga mengajarkan tentang cara hidup bersama, berbangsa dan bernegara. Karena itu, peradaban Islam membangun lembaga negara. Dalam lembaga negara kita mengenal al-khilafah (bentuk negara) dan al-imamah (sistem pemerintahan), keduanya merupakan lembaga publik. Khilafah merupakan induk semua lembaga.

Secara internal khilafah merupakan pelaksanaan syariat guna mewujudkan keadilan baik secara individual dan institusional. Secara eksternal khilafah bertanggung jawab atas kesejahteraan dan ketentraman umat, dan menegakkan tatanan dunia yang adil dan damai. Karena itu visi negara menurut Islam ialah kemanusiaan universal dan egalitarianisme, totalisme moral, dan kemerdekaan.

Pendidikan untuk semua dan pendidikan seumur hidup adalah bagian penting dari tujuan negara. Pluralisme mengakui perbedaan dan keragaman semua warga negara; dan pentingnya menegakkan aturan hukum agar kehidupan menjadi tertib dan teratur.

Pandangan dunia tauhid juga dapat mewujud dalam peradaban ilmu alam. Ilmu alam dikembangkan dari pemahaman atas beberapa prinsip mengenai alam: Prinsip profanitas bahwa alam itu bersifat duniawi, terikat ruang-waktu, tidak sakral, dan tidak mempunyai kualitas ketuhanan. Prinsip keterciptaan di mana alam dan seluruh isinya adalah makhluk, bersifat fana dan pasti musnah. Prinsip keteraturan di mana dalam alam berlaku hukum kausalitas.

Prinsip bertujuan yang artinya alam beserta isinya diciptakan tidak secara main-main, namun dengan kebenaran dan bertujuan. Terakhir, prinsip ketundukan artinya alam ini tunduk pada manusia. Setiap obyek yang ada di alam diciptakan untuk dan membawa kebaikan bagi manusia karena pada alam semesta ini berlaku totalitas ketaatan pada hukum Allah.

Makrokosmos dan mikrokosmos dapat dijadikan obyek pengetahuan. Keteraturan alam membuatnya dapat diamati dan diukur. Pengamatan dan pengukuran atas keteraturan alam memungkinkan manusia dapat memahami hukum alam yang ada pada setiap ciptaan. Amatan atas keteraturan air melahirkan hukum air (Archimedes); Keteraturan pada udara membuat kita memahami hukum udara (Boyle), demikian dan seterusnya. Hukum alam sesungguhnya merupakan hipotesis yang dicapai melalui pengamatan dan eksperimen. Bila kita mengingat kembali bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi, itu sama artinya bahwa pemenuhan tugas khalifah sebanding dengan penguasaannya tentang hukum-hukum alam.

Pengetahuan alam dapat dipercaya karena ia merupakan bagian dari pengetahuan tentang kehendak Tuhan dalam ciptaanNya. Moralitas dan agama menuntut manusia percaya pada pengetahuan alam; pengetahuan alam yang dicari dengan jujur dan seksama patut dipercaya. Jalan menuju penguasaan pengetahuan alam adalah “mengamati fenomena alam” yang mencakup makro dan mikrokosmos, dan di sinilah dibutuhkan metode ilmiah.

Sejarah Peradaban Islam menggambarkan kesuksesan relatif kaum Muslim dalam melahirkan dan mengembangkan disiplin pengetahuan alam. Di bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat, inspirasinya adalah hadis: “Berobatlah bila sakit, Allah tidak menciptakan sakit tanpa obatnya kecuali tua”. Baghdad mencatatkan diri memiliki 869 dokter pada masa khalifah al-Muqtadir (319/931), memiliki sekolah kedokteran, rumah sakit dan klinik rawat jalan. Dokter-dokter Muslim yang pernah berjaya antara lain Abu Bakar Muhammad al-Razi (w.311/932), menulis “mujarrabat”; “al-Tibb al-Ruhani” (psikiatri), dan “Al-Hawi fi al-Tibb” (ensiklopedia kedokteran), Abu Ali Husain Ibn Sina (w.428/1037): “al-Qanun fi al-Tibb” rujukan utama dalam dunia kedokteran hingga abad 19, dan Khalaf bin Abbas al-Zahrawi (w.414/1013) dari Qordova, ia menulis risalah pembedahan. Demikian sekadar untuk menyebut beberapa contoh.

Keseimbangan

Dalam bidang farmakologi dan kimia kita bisa jumpai Jabir Ibn Hayyan (w. 193/808, menulis 80 buku kimia). Al-Kindi dan al-Razi memberikan sumbangan penting untuk disiplin ini; Al-Biruni (w.433/1051) menyempurnakannya menjadi ilmu otonom, menentukan metode dan prinsipnya dan menulis teks tentang ilmu ini. Tokoh-tokoh lainnya bisa disebut yaitu Ibnu al-Baythar menulis al-Mughny fi al-Adwiyah; Rasyid al-Din ibn al-Shuri (w.639/1241) mencatat berbagai spesies tumbuhan obat. Sedangkan di bidang fisika lahir beberapa ilmuwan antara lain Ibn al-Haitsam (w.431/1039) yang menulis 200 judul buku. Buku tentang fisika “Al-Manazhir” (Dunia Visual); Kamaluddin al-Farisi mengamati perilaku cahaya.

Dalam ilmu matematika dan astronomi, sejarah telah menunjukkan kepioniran Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (w.236/850) yang menemukan al-jabar, dan memperkenalkan sistem simbol bilangan 0 hingga 9. Khalifah al-Ma’mun membangun observatorium untuk mengamati benda-benda langit. Sementara di bidang geografi, Al-Khawarizmi juga merupakan orang pertama menciptakan geografi bumi. Ilmu ini penting antara lain untuk memastikan terpenuhinya salah satu syarat sahnya shalat, bahwa shalat harus menghadap kiblat. Abu al-Qasim Abdullah bin Khurdadzbih membuat peta lengkap dengan rute perdagangan utama dunia Muslim, dan Al-Maqdisi menciptakan peta dalam warna alamiah.

Manifestasi peradaban Islam juga berkembang dalam bentuk seni. Karena al-Qur’an dan al-Sunnah adalah sumber utama ajaran Islam, tidak mengherankan bahwa seni tertinggi adalah Kaligrafi. Al-Qur’an memberikan pengaruh pada kaligrafi sebagai bentuk seni paling penting dan paling dihormati. Kaligrafi berkembang luas di Kawasan-kawasan Islam yang menyebabkan keragaman gaya.

Gaya Kufi, berbentuk siku yang berasal dari Kufah abad 8 M; Naskhi yang dikembangkan Ibn Muqlah, tulisannya lebih kursif dan bulat, pada abad 11 M. Al-Qur’an tertua ditulis Ibn al-Bawwab (w.1032) dalam bentuk naskhi tersimpan di Perpustakaan Universitas Dublin, Irlandia. Gaya Tsulutsi adalah tulisan dekoratif untuk objek kecil dan arsitektural (akhir abad 8 M); dan Maghribi yang terkenal dan dipakai di Spanyol Moor dan Afrika Utara Barat (1000 M), Turki, Asia Tengah, India Utara, Sudani, Sini (Cina) dan lain-lain.

Manifestasi kaligrafi lainnya adalah ornament. Fungsi ornamen bukan sekadar dekorasi artifisial dan pengisi ruang kosong. Ia merupakan sarana pengingat tauhid agar hamba dapat merasakan transendensi Tuhan, dan inti peningkatan spiritualisasi kreasi artistik Islam dan lingkungan Muslim. Dalam ornamen kita menemukan transfigurasi material di mana pemakaian ornamentasi untuk menghiasi, mendenaturalisasi, dan memperindah material yang digarapnya; dan transfigurasi struktural yang menekankan struktur desain yang membangkitkan persepsi estetis karya seni berdasarkan tauhid. Ornamen juga memiliki fungsi keindahan sebagai ekspresi estetika yang memperindah.

Selain itu, manifestasi peradaban Islam berkembang dalam bentuk sastra. Lagi-lagi, al-Qur’an merupakan fenomena i’jaz (estetis-sastrawi), dan menjadi inspirasi bagi karya sastra yang agung. Hakikat keagungan sastra terlihat pada aspek bentuknya: al-Qur’an bukan syair atau sajak namun keindahannya mengungguli keduanya; artikulasinya benar dan sempurna; komposisi yang tawazun baik dalam bentuk maupun kandungan teks; maknanya kaya dan tidak bertele-tele; kaya tamsil dan kiasan; komposisi aliran dan susunannya sempurna; gaya al-Quran kuat, empatik, tegas, lancar dan halus.

Demikianlah uraian sekilas mengenai dimensi peradaban dalam Islam yang mencakup sisi material/bendawi dan spiritual/nonbendawi. Dua sisi ini ibarat dua sisi dari mata uang yang sama. Kedua sisi ini saling memberi dan menerima dalam keseimbangan (wasathiyyah).

 

Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya