SOLOPOS.COM - Nanang Qosim (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Pemerintah  menetapkan Iduladha atau 10 Zulhijah 1444 H jatuh pada Kamis 29 Juni 2023. Muhammadiyah menetapkan 1 Zulhijah 1444 H jatuh pada Rabu 28 Juni 2023. Terlepas dari perbedaan tersebut, umat Islam di Indonesia tetap merayakan Iduladha dan umat Islam secara bersamaan juga melaksanakan aktivitas kurban.

Peristiwa ini menunjukkan pemandangan yang nyata perihal hakikat Islam sebagai agama yang tidak hanya semata-mata menekankan tentang ritualitas (‘ibadah mahdlah), melainkan juga menitikberatkan pentingnya ranah relasi sosial (mu’amalah).

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

Perayaan kurban bukan hanya dalam rangka menyerahkan diri kepada Tuhan, tetapi juga yang jauh lebih penting dari itu adalah membumikan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan senyata-nyatanya.

Karena itulah, dalam sebuah hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Abu Hurairah berkata siapa yang memiliki kelapangan rezeki tapi ia tidak berkurban maka janganlah mendekati musala kami (HR Iman Ahmad dan Ibnu Majah).

Dalam Alquran, Allah SWT berfirman,”Hendaklah kamu melaksanakan salat dan sembelihlah hewan kurban” (QS Al-Kautsar: 2). Setiap muslim seharusnya tidak hanya menjadikan agama sebagai peristiwa ritual belaka, melainkan juga sebagai aktivitas yang bernuansa sosial sehingga mampu menumbuhkan kepedulian sosial.

Menurut Peter L. Berger, setiap agama harus melahirkan volunterisme, yaitu kesukarelaan untuk melayani sesama manusia. Agama tidak pada tempatnya jika hanya menumbuhkan sikap fanatis dan fundamentalistis.

Setiap agama pada hakikatnya merupakan instrumen untuk memupuk kesadaran pentingnya saling berbagi di antara sesama makhluk manusia. Fakta yang sangat kontradiktif dipertontonkan. Ketika festival keagamaan makin marak dan hiruk pikuk di berbagai tempat, korupsi dan intoleransi juga makin masif.

Berdasar realitas itu dapat disimpulkan tidak ada relasi antara perayaan keagamaan yang mengharu-biru dengan perilaku sosial-politik kewargaan. Setiap hari kita disajikan informasi yang menohok hati nurani, betapa korupsi tidak kunjung sirna dalam praktik politik para elite.

Korupsi dimulai oleh pemangku kekuasaan dengan total penyimpangan anggaran yang sangat fantastis. Pada saat yang sama khotbah keagamaan terlihat abai terhadap fenomena tersebut.

Kita jarang sekali mendengarkan ceramah-ceramah keagamaan yang secara lantang mengkritik maraknya korupsi. Secara implisit terlihat ada sikap permisif dari kalangan agamawan terhadap ”budaya korupsi” yang menggerogoti nilai-nilai luhur dalam berbangsa dan bernegara.

Semua itu terjadi karena ritual dan perayaan keagamaan kehilangan nilai profetik dan makna transformatifnya. Ini ditunjang ketidakmampuan melakukan kontekstualisasi nilai-nilai keagamaan dalam ranah sosial-politik yang kini kian menjadi pemandangan yang lumrah.

Akibatnya, peristiwa keagamaan ibarat buih yang ditelan ombak dari masa ke masa. Berbanding lurus dengan maraknya budaya korupsi, kekerasan atas nama agama juga menjadi fenomena yang makin meresahkan setiap warga negara.

Kehidupan berbangsa yang dibangun di atas kesadaran tentang pentingnya persaudaraan dan solidaritas justru dikoyak dengan tumbuhnya identitas soliter, yaitu pemahaman sebagai umat yang menganggap hanya pandangannya sendiri yang benar, sementara pandangan orang lain salah.

Ironisnya, sikap tersebut disertai dengan sakralisasi kekerasan atas nama agama. Mereka menyerang orang lain, bahkan membunuh orang lain yang dianggap ”sesat” atau ”menyimpang”. Atas nama agama mereka melakukan kekerasan yang sebenarnya tidak dibenarkan oleh agama, khususnya Islam.

Sebagai agama yang menjunjung tinggi toleransi dan kasih sayang terhadap seluruh umat manusia di alam raya ini, Islam sama sekali tidak membenarkan adanya kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Di sinilah momentum Iduladha menjadi relevan dan signifikan. Perayaan kurban harus menjadi alarm dan early warning yang mengingatkan umat agar menjadikan agama sebagai sumber inspirasi untuk menegakkan nilai-nilai solidaritas dan persaudaraan.

Inti dari agama pada hakikatnya adalah ”melayani orang lain”, bukan ”merugikan orang lain” atau ”mencederai orang lain”. Prinsip ”melayani orang lain” seharusnya tidak hanya menjadi materi khotbah, melainkan harus diterjemahkan dalam kehidupan nyata.

Seperti disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad SAW di atas, barang siapa tidak melaksanakan kurban hendaknya jangan mendekati musala kami, dapat menjadi peringatan penting agar setiap umat menumbuhkan kepedulian kepada orang lain dengan cara mengulurkan tangan kepada mereka yang tidak mampu.

Perintah Salat Iduladha sejalan lurus dengan perintah menyembelih hewan kurban. Dengan demikian, peringatan Iduladha 1444 H seharusnya dapat memberikan nilai tambah bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, khususnya dalam rangka menyambungkan antara nilai-nilai keislaman yang adiluhung dengan realitas sosial-politik.

Kita berharap perayaan keagamaan tidak hanya dijadikan seremonial, melainkan sebagai momentum untuk memecahkan persoalan yang mahapelik, seperti korupsi dan kekerasan atas nama agama.

Kuncinya adalah memaknai kekuasaan sebagai jalan untuk melayani warga negara, bukan untuk menumpuk harta dan menyengsarakan orang lain. Spirit melayani harus menjadi prinsip yang menghunjam kuat di dalam setiap sanubari para elite politik sekaligus elite agama kita.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 Juni 2023. Penulis adalah dosen Agama Islam di Poltekkes Kementerian Kesehatan di Kota Semarang)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya