SOLOPOS.COM - Oriza Vilosa (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Barangkali masyarakat sekarang sudah familier dengan kolom komentar. Kolom komentar seolah-olah menjadi fitur yang wajib disediakan di lokapasar, media sosial, layanan pemerintahan, portal berita, aplikasi, dan lain-lain.

Saya teringat saat pertumbuhan akses Internet belum begitu masif. Kala itu kotak saran biasa disediakan di berbagai tempat. Instansi pemerintahan yang memiliki unit layanan biasanya selalu menyediakan kotak saran.

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Kotak saran juga mudah ditemui di pusat perbelanjaan dan perbankan. Mungkin beberapa kotak saran yang dulu eksis masih terpasang di sudut-sudut kantor layanan itu.

Kotak saran boleh dibilang memerankan fungsi fitur komentar seperti di beberapa platform digital saat ini. Pengunjung dipersilakan menulis komentar, kritik, dan saran di kertas lalu memasukkan kertas ke kotak saran.

Dilihat dari tujuannya, kotak saran disediakan untuk mendengar apa yang kurang. Tak menutup kemungkinan juga menjadi sarana pengunjung memberikan apresiasi, namun isi kotak saran tak selalu diolah dengan baik.

Hal itu bisa dilihat dari ada tidaknya perubahan sebagai respons atas kritik yang diterima via kotak saran. Jika ini terjadi, ada masalah dengan moralitas pengumpul informasi kotak saran.

Lain dulu lain sekarang. Kini, orang mau berbelanja saja harus melihat dulu isi kolom komentar dan ulasan produk. Orang mau berwisata saja harus mendengar testimoni pengunjung yang sudah merasakan wisata tersebut.

Pengguna layanan digital bebas menyimpulkan komentar dan testimoni. Jika sudah membeli produk, orang juga bisa menambah ulasan atau testimoni di kolom komentar. Artinya, era keterbukaan telah tiba.

Kini riset atas sebuah produk atau tempat bisa menggunakan metode pengamatan terhadap ulasan dan komentar di ruang digital. Dengan mencari informasi seluas-luasnya sebelum membeli produk, maka pembeli bisa memiliki banyak pertimbangan.

Dia juga bisa menggunakan informasi tersebut untuk mencocokkan preferensi pribadi, namun periset harus memilah mana ulasan yang objektif dan tidak. Anda mungkin pernah gelisah dengan pertanyaan: mengapa orang lebih suka datang ke lokasi wisata yang sedang viral?

Pertanyaan lain, mengapa orang cenderung suka mengejar produk yang sedang banyak diulas, dibicarakan, dan viral? Apakah kebutuhan orang-orang seperti itu sesuai dengan produk yang sedang ramai dibahas itu?

Mungkin inilah yang disebut perilaku fear of missing out (FOMO) atau orang rela mengejar sesuatu karena takut dinilai ketinggalan zaman. Hukum pasar soal supply and demand seperti kedatangan keluarga baru, yakni tren yang mungkin berfondasi penciptaan ekonomi.

Maka, kini ada istilah human hacking. Istilah itu sering digunakan untuk “mengakali”. Misalnya, orang tak butuh sepatu merek A mendadak butuh sepatu merek A karena gelombang penciptaan tren sedang berpihak kepada sepatu merek A.

Pertanyaan selanjutnya, apakah mudah menciptakan tren? Siapa aktornya? Adakah penciptaan tren melibatkan barang pihak? Barangkali Anda mulai curiga dengan nama akun yang rajin nongol di kolom komentar.

Barangkali pula Anda bertanya-tanya, apa pekerjaan pemilik akun itu? Rasanya kok rajin sekali akun itu meninggalkan komentar, membentuk opini, dan seolah-olah sangat berpihak dengan pemilik produk.

Pandemi Covid-19 meninggalkan banyak jejak. Seperti istilah influencer alias pemengaruh. Dia bisa menjalankan tugas kehumasan. Pengikutnya di media sosial banyak.

Karakter personalnya diterima publik. Lalu dia memerankan fungsi juru bicara tentang vaksinasi, imbauan-imbauan pencegahan penularan virus, dan lain-lain.

Ada juga istilah buzzer. Tugasnya adalah memanfaatkan akun untuk mempromosikan, menggiring opini suatu produk. Influencer dan buzzer disebut-sebut menjadi bagian yang tak bisa disepelekan dalam hal komunikasi publik di era disrupsi informasi.

Mereka bisa dibayar mahal untuk menyukseskan kepentingan penyewa. Apalagi jika capaiannya sesuai ekspetasi. Namun, apakah keberadaan mereka menguntungkan publik? Jawabannya bisa iya dan bisa tidak.

Mari kita buka media sosial masing-masing. Kita bisa perhatikan dan membedakan akun buzzer, influencer, atau pemilik akun biasa. Mumpung Pemilu 2024 tinggal menghitung hari maka mudah mendeteksi bagaimana akun influencer dan buzzer itu bekerja.

Kita bisa mendapatkan pola konten mereka, siapa yang didukung, bagaimana cara memberikan argumen tentang pihak yang didukung. Jangan salah, konten yang mereka sampaikan di ruang digital bisa dengan cepat ditirukan oleh orang di sekitar kita.

Itu tandanya narasi yang mereka bangun diterima. Begitu juga sebaliknya, narasi yang mereka bangun bisa saja dibantah dalam pembicaraan nyata di sekitar kita.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 23 Januari 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya