SOLOPOS.COM - Suwarmin (JIBI/SOLOPOS/dok)

Atas nama Lebaran, Idul Fitri, sungkeman, silaturahmi, halal bihalal dan atas nama alasan yang lain termasuk alasan pamer dan unjuk keberhasilan, tradisi mudik kembali dilakukan jutaan rakyat Indonesia.

Kata ahli bahasa, mudik berasal dari kata udik. Dengan ditambah huruf “m” di depannya, kata mudik bisa berarti menuju udik alias menuju kampung. Jadi mudik artinya kembali ke kampung halaman. Kata ahli sejarah, tradisi mudik konon sudah dilakukan sejak zaman Majapahit. Itu artinya, orang Indonesia terutama Jawa sepertinya sudah ditakdirkan untuk melakukan ritual mudik. Nilai mudik lebih berbobot lagi jika dikaitkan dengan ajaran agama, karena sowan dan berbakti kepada kedua orangtua adalah bagian dari kebaikan utama yang diajarkan.

Dalam khasanah tradisi Indonesia, mudik mempunyai kekuatan magis. Tak peduli betapa berat rintangan menghadang, betapa sulit dan panjang jalan terbentang, betapa mahal harga yang harus dibayar, mudik harus tetap dilakukan. Meski jarak tak lagi jadi halangan komunikasi karena handphone sudah sedemikian massif digunakan, mudik tetap menjadi keharusan. Tak jarang mudik berisiko kehilangan nyawa karena celaka di jalan. Kalau boleh diusulkan, mereka yang gugur dalam perjalanan mudik pantas mendapat gelar syuhada mudik.

Mudik juga mempunyai dimensi ekonomi yang sangat kuat. Misalnya, sebelum mudik orang ramai-ramai memburu rejeki untuk bekal, mencari tiket kendaraan yang harganya jauh lebih mahal, mencari pinjaman mobil agar acara mudik lebih keren, pergi ke salan agar tampang lebih kinclong, dan seterusnya. Selama mudik, berapa kilo liter bahan bakar minyak dihabiskan, dibuang di jalanan. Kalau dihitung, pencemaran udara selama masa mudik pasti lebih gawat dibandingkan hari biasa. Belum lagi jalan-jalan raya yang dipermak, dipermulus untuk persiapan orang yang akan mudik. Sungguh, acara pengerjaan jalan menjelang musim mudik ini menjadi tradisi. Mungkin semacam tradisi THR bagi para tukang aspal, sekaligus para pemborong dan cukong anggarannya.

Uang para pemudik tak berhenti mengalir. Mereka hampir dipastikan membeli oleh-oleh untuk keluarga di rumah. Tradisi mipik alias membeli barang baru sudah jamak dilakukan pemudik. Mulai dari pakaian, kendaraan, alat elektronik, perhiasan dan lain-lainnya. Tradisi ini menjadi penghias acara mudik, karena bisa menunjukkan di level apa pemudik berada. Apakah di level perantau sukses, perantau kelas menengah atau perantau biasa saja. Tentu ini berkah bagi keluarga di rumah, bagi toko-toko eletronik, toko perhiasan dan toko-toko yang lain, baik toko barang maupun jasa.

Sungguh, pertumbuhan omset segala jenis usaha hampir selalu mengalami kenaikan selama puasa hingga musim mudik.
Di kampung halaman, para pemudik sukses tak selesai dengan hanya kumpul-kumpul sanak famili. Mereka juga membeli tanah, mbangun rumah atau meronovasi rumah. Tak jarang ada rumah loji gedhong magrong-magrong teronggok di sudut-sudut kampung. Pagarnya garang, pendapanya gagah. Tenang saja, itu bukan rumah pejabat korup. Itu rumah pejuang kehidupan di kota besar lalu membangun hegemoni baru di kampung halaman. Bisa dibayangkan, sedap betul menikmati hasil perjuangan di kampung halaman.

Tetapi setelah pesta mudik selesai, setelah saling bermaafan tidak lagi musim, setelah opor lebaran tak bersisa, setelah uang di dompet menipis, tibalah saatnya kemerdekaan hidup di kampung halaman tercerabut. Mereka, para pemudik langsung mangkat meneh, berangkat lagi ke kota tempat hutan belantara perjuangan kehidupan mereka. Status berubah, dari pemudik menjadi pebalik. Tak jarang, mereka yang dinilai sukses, harus rela dititipi nasib kerabat mereka. Mereka yang dianggap sukses, sering kali kembali ke kota besar dengan membawa kerabat mereka, agar ketularan sukses seperti mereka.

Sepi kembali
Kawan, hidup terus berputar seiring kepergian kembali para pemudik itu. Setelah para pemudik kembali ke kota, yang ditinggal di kampung-kampung kebanyakan para orangtua yang tidak lagi produktif. Sebagian anak mudanya terseret arus ikut merantau ke kota. Maka dusun-dusun menjadi mamring alias sepi dan bertambah sepi. Tinggalah sumber daya alam berupa tanah-tanah kering karena kemarau, sementara petani mudanya lari ke kota. Anak-anak muda terbaiknya bekerja dan mencari penghidupan lebih baik di kota pula. Akibatnya, mati pula energi pemberdayaan kampung.

Efek mudik di pedesaan, memang jauh lebih dramatis dibanding kampung halaman yang berupa masyarakat perkotaan. Sama-sama daerah tujuan mudik, Solo tentu berbeda dengan Wonogiri atau Sukoharjo pinggiran. Mulai dari cara berbicara, cara berpakaian, cara memakai perhiasan, dan lain-lain. Secara jumlah, pemudik yang berasal dari pedesaan jauh lebih banyak daripada pemudik yang aslinya tinggal di lingkungan perkotaan. Sayangnya, selama ini belum ada formula bagaimana agar tradisi mudik ini bisa memberi ekses ekonomi lebih nyata di kampung halaman, bukan sekadar gebyar sesaat.

Jadi tradisi mudik bukan hanya berlanjut ke mipik, mbangun lalu mangkat meneh ke kota, tetapi juga ditambah energi mbangun desa yang terpola dengan baik. Para pemudik perlu bijak menularkan semangat bekerja, sekaligus memberi pemahaman bahwa kesuksesan bukan hanya bisa diraih di kota, namun juga bisa dirintis di desa.

Tetapi berapa jumlah pemudik yang bijak bestari seperti ini, sedangkan menunggu peran pemerintah untuk menangani energi mudik ini, rasanya terlalu jauh panggang dari api. Hmm, apapun selamat kembali menempuhi perjuangan hidup, dan sampai ketemu tradisi mudik berikutnya…

Suwarmin, wartawan SOLOPOS

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya