SOLOPOS.COM - Chelin Indra S (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Peribahasa populer ”mulutmu harimaumu” berarti perkataan bisa menjadi senjata tajam yang dapat menyakiti orang lain. Ungkapan ini mestinya mengingatkan kita sebagai makhluk sosial agar tidak menghina satu sama lain dan membiasakan berkata sopan kepada siapa pun.

Sayangnya, kekerasan verbal justru terus meningkat seiring berjalannya waktu karena sering kali dianggap sepele. Kekerasan verbal menjadi jenis bullying atau perundungan yang paling banyak dialami banyak individu.

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

Hasil riset Jakpat pada Maret 2023 tentang bullying menunjukkan kekerasan verbal mendapat persentase tertinggi, mencapai 87,6%. Ini melebihi kekerasan fisik yang mencapai 27,5% dan cyber bullying sebesar 19,6%.

Kekerasan verbal adalah kekerasan terhadap perasaan dengan mengeluarkan kata-kata kasar tanpa menyentuh fisik, memfitnah, mengancam, menakut-nakuti, menghina, atau membesar-besarkan kesalahan.

Hal ini sering kali terjadi pada orang-orang yang dengan posisi superior terhadap orang dengan posisi yang lebih inferior, seperti atasan kepada bawahan atau orang tua kepada orang yang lebih muda.

Kekerasan verbal bisa juga dilakukan dengan berteriak hingga mengejek dengan lelucon yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, terhina, dan tidak dihargai.

Hal ini juga termasuk kritik yang disampaikan secara terus-menerus, pengabaian terhadap pikiran atau perasaan, serta disalahkan dan dituduh melakukan sesuatu yang tidak dilakukan.

Sayangnya, sampai saat ini banyak orang menganggap kekerasan verbal sebagai masalah sepele karena tidak ada bukti yang bisa dilihat secara kasatmata.

Kalimat basa-basi yang disampaikan saat bertemu teman lama, seperti ”kok, tambah gemuk”, ”kok, tambah kurus”, ”kok, kayak orang cacingan,” dan sebagainya tanpa disadari bisa menjadi kekerasan verbal.

Meski pelaku biasanya berdalih hanya bercanda, kekerasan ini tidak bisa dianggap sepele, apalagi sekadar dianggap bercanda karena dapat menimbulkan sakit hati, bahkan mengganggu kesehatan mental sasaran.

Akar masalah dari kekerasan verbal adalah kemerosotan moral karena pengaruh lingkungan tempat seseorang bertumbuh. Orang yang cenderung sering dihina sejak kecil memiliki kemungkinan besar melakukan hal yang sama kepada orang lain pada kemudian hari.

Ia menganggap hal itu sebagai kebiasaan, hal yang lazim, dan tidak bertentangan dengan norma sosial. Norma sosial menyangkut kepantasan, simpati, serta empati yang merupakan perilaku dasar manusia.

Ketiga hal itulah yang menjadikan manusia saling memahami dan bertoleransi. Kini kebanyakan orang tidak lagi mau memahami perasaan dan memosisikan diri di posisi orang lain.

Tindak kekerasan terjadi di mana-mana, terutama dalam bentuk verbal. Hal ini terjadi karena kultur empati masyarakat kita sekarang mungkin sudah hampir sirna.

Begitu mudah seseorang melakukan kekerasan verbal kepada orang lain tanpa rasa bersalah dan tidak memikirkan dampak yang akan timbul setelahnya. Kekerasan verbal menjadi lebih buruk daripada kekerasan fisik karena menyerang psikologi seseorang.

Rasa sakit akibat kekerasan verbal bisa terbawa seumur hidup, tidak seperti kekerasan fisik yang bisa hilang setelah beberapa saat. Hal ini patut diwaspadai karena bisa merusak kehidupan bermasyarakat.

Dalam banyak kasus, kekerasan verbal juga bisa meruntuhkan kepercayaan diri dan memicu masalah kesehatan mental. Mengingat pentingnya empati dalam hubungan antarmanusia, upaya melatih dan mengembangkan empati sedini mungkin pada setiap individu perlu dilakukan.

Dalam berkomunikasi dengan orang lain, setiap orang hendaknya menampakkan kepedulian terhadap sesama dan mampu menjaga lisan dengan baik.

Ketika seorang individu mampu memahami kondisi emosional, mengenali perasaan, dan menempatkan diri berdasarkan sudut pandang orang lain, mereka lebih simpatik dan peduli. Perilaku kekerasan verbal dapat dihindari.

Menjaga lisan adalah hal yang sangat penting dilakukan dalam kehidupan karena mulutmu bisa menjadi harimau yang melukai orang lain. Dalam Islam, perintah menjaga lisan termaktub dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW.

Menjaga lisan bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu berkata yang baik atau diam apabila tidak mampu berkata yang baik. Jangan sampai hanya karena lisan yang tidak terjaga, hubungan dengan orang lain menjadi tidak harmonis, apalagi terjadi kekerasan verbal.

Apabila suatu saat Anda menjadi korban kekerasan dan merasa diintimidasi atau dilecehkan secara verbal, ambil langkah-langkah untuk melepaskan diri dari situasi tersebut.

Ketika berada dlaam kondisi terpaksa menghadapi orang yang melakukan kekerasan verbal, kurangi situasi dengan ucapan yang tenang dan tegas.

Saat Anda dihina, diejek, dibentak, diancam, atau dicaci maki, tarik napas dalam-dalam. Bicaralah dengan suara yang tenang dan merata.



Jangan berteriak atau bergumam. Ingatkan diri Anda bahwa tidak ada yang berhak menjatuhkan Anda dan bahwa yang terjadi bukanlah sesuatu yang pantas Anda peroleh.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 Juni 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya