SOLOPOS.COM - Albertus Rusputranto P.A. (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Esai Andi Setiawan berjudul Dosen itu Buruh, Berserikatlah! (Solopos edisi 6 Mei 2023) menarik untuk diperhatikan. Lemahnya posisi dosen (yang buruh!) dalam dunia pendidikan tinggi yang semakin kapitalistik bukan hanya persoalan bagi para dosen, tetapi kita semua, komunitas bangsa.

Sumber masalah adalah dunia pendidikan tinggi yang dikapitalisasi. Reformasi pendidikan tinggi rupanya adalah penerapan rumusan konsep, sistem, struktur, dan wacana pengelolaan pendidikan tinggi untuk menopang pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara berkembang/miskin.

Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia

St. Sunardi dalam artikel Surplus Laporan, Defisit Perubahan: Dilema Perguruan Tinggi dalam Otoritarianisme Manajerial yang dimuat Jurnal Retorik (2014) menyebut rumusan tersebut bisa dilihat pada dokumen Higher Education in Developing Countries: Peril and Promise (2000) yang dikeluarkan Bank Dunia (The Word Bank).

Rumusan tersebut muncul sebagai upaya negara-negara maju menata dunia dengan menerapkan manajerialisme baru (new public managerialism). Bank Dunia dan kembarannya, The International Monetary Fund (IMF), dibentuk oleh negara-negara maju yang dimotori Amerika Serikat.

Mereka menciptakan sistem perbankan dan pengawasan keuangan global untuk mencegah persoalan ekonomi di negara-negara miskin/berkembang menyeret mereka ke dalam persoalan ekonomi. Bank Dunia mengemban misi khusus membantu negara-negara miskin/berkembang.

Lima negara donor terbesar Bank Dunia (dari 185-an anggota), yang artinya menjadi suara dominan di lembaga tersebut, yaitu Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Prancis, dan Inggris. A. Supratiknya dalam Pedagogi Kritis dan Perguruan Tinggi yang juga dimuat Jurnal Retorik (2014) menyebut bantuan-bantuan dari Bank Dunia untuk Indonesia awalnya menyasar pembangunan infrastruktur, misalnya pembangunan bendungan dan tenaga listrik.

Pada 1980-an mulai menyasar pendidikan dasar dan sejak 2000-an menyasar pendidikan tinggi. Bantuan-bantuan tersebut tidak hanya berupa dana bantuan (utang) tetapi juga rumusan-rumusan, konsep-konsep, dan/atau cara-cara yang harus diterapkan agar ada kepastian bahwa negara-negara yang dibantu bisa mengembalikan utang-utang mereka.

Akhirnya diterapkanlah pengelolaan ekonomi yang pro pasar bebas sebagai konsekuensi menjadi negara penerima bantuan! Keterlibatan Bank Dunia pada pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia terjadi karena, setidaknya, dua alasan.

Pertama, Bank Dunia merekomendasikan (memaksa) negara-negara penerima bantuan mengurangi subsidi kepada masyarakat agar mereka bisa mengumpulkan dana untuk mengembalikan utang kepada Bank Dunia.

Kedua, Bank Dunia melihat ada potensi ekonomi di sektor jasa (bidang kesehatan dan pendidkan) di negara-negara penerima bantuan yang bisa dikelola dalam mekanisme pasar bebas. Bank Dunia membiayai penelitian dan menerbitkan hasilnya dalam Higher Education in Developing Countries: Peril and Promise.

Dokumen tersebut menjadi pedoman, bahkan manual book, pengelolaan pendidikan tinggi di negara-negara penerima bantuan, termasuk Indonesia. Pengelolaan pendidikan tinggi menerapkan manajerialisme baru yang kapitalistik. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi dikomodifikasi dan menjadi sama dengan badan-badan usaha, menghasilkan produk-produk/jasa-jasa bernilai ekonomi.

A.Supratiknya menyebut pada Juni 1999 diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi. Pendidikan tinggi di Indonesia harus merupakan sistem yang dengan mudah menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, bangsa dan negara yang senantiasa mengalami perkembangan, terlebih lagi sebagai perwujudan pembangunan nasional.

Setahun sebelumnya terbit Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990. Perubahannya pada Pasal 120 yang mengatur ketentuan pihak asing dilarang menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia diganti dengan agar pihak asing dapat berperan serta dalam penyelenggaraan perguruan tinggi di Indonesia.

Sejak itu muncul banyak lagi peraturan yang semakin memosisikan pendidikan tinggi kita di tengah arus pasar bebas. Mitos yang kemudian dimunculkan, yang dirayakan besar-besaran oleh banyak kampus di negeri kita, antara lain, international university, world class university, sertifikasi, akreditasi, jurnal internasional, dan sebagainya.

Mitos-mitos tersebut membuat kita seolah-olah sejajar dengan kampus-kampus lain di berbagai belahan dunia. Dengan dalih menjadikan pendidikan tinggi sebagai penopang pembangunan, dirombaklah pengelolaan penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia.

Kita begitu saja menggunakan rumusan konsep penyelenggaraan pendidikan tinggi sesuai arahan Bank Dunia: menerapkan model manajerial baru. Kebenaran-kebenaran yang diyakini adalah kebenaran-kebenaran ekonomi yang kapitalistik. Perguruan tinggi dikelola seperti menjalankan pabrik-pabrik.

Perguruan tinggi serupa dengan pabrik. Memproduksi angkatan kerja yang bisa langsung diserap pasar, khususnya pasar tenaga kerja. Wacana sekolah untuk mencari ilmu bergeser menjadi sekolah untuk mendapat pekerjaan. Indonesia yang sangat terbuka dengan investasi asing diharapkan menyediakan banyak buruh “terdidik”.

Perguruan tinggi tidak lagi memunculkan kalangan cerdik cendekia tetapi calon-calon tenaga kerja yang bergelar sarjana, dituntut memproduksi sarjana dengan banyak dan cepat. Tuntutan mencetak lulusan banyak dan cepat ini menggerus kualitas pendidikan tinggi.

Tidak Percaya Bawahan

Sepertinya lulusan yang berkualitas, dalam jumlah besar, memang tidak dibutuhkan di pasar tenaga kerja. Mereka hanya perlu punya gelar sarjana untuk memenuhi syarat sebagai buruh “terdidik”. Keharusan ada tenaga kerja yang sarjana, yang “terdidik”, ini juga dibutuhkan agar industri pendidikan tinggi berjalan.

Industri pendidikan tinggi ini dibalut dengan mitos keinternasionalan dan keprofesionalan. Rumusan penyelenggaraan pendidikan tinggi yang benar, yang datang dari luar, yang sebenarnya bertujuan memastikan kita bisa membayar utang kepada negara-negara donor dan menjadikannya komoditas, celakanya justru kita anggap sebagai cara menaikkan derajat kita sebagai bagian dari warga dunia.

Pendidikan tinggi akhirnya justru mengasingkan dirinya sendiri dari masalah-masalah nyata di sekitarnya. Perguruan tinggi sibuk menjadi lembaga pendidikan tinggi yang internasional dan profesional. Mereka menerapkan model manajerial baru dengan menjadikan para petinggi perguruan tinggi sebagai manajer.

Model manajerial baru ini membuat hubungan para manajer dengan civitas academica yang lain tidak lagi bersifat kolegial. Para manajer, untuk memastikan lembaga yang dikelola berjalan dengan baik, tidak boleh percaya dengan bawahan. Mereka menerapkan distrust management, manajemen yang berdasar pada ketidakpercayaan.

Mereka harus menganggap para bawahan tidak bisa bekerja dengan baik, harus terus diawasi, dikontrol. Itulah makanya banyak sekali tugas administrasi, laporan-laporan kerja, yang harus dikerjakan dosen dan tenaga pendidikan.

Dalam distrust management ada sistem audit. Kerja-kerja para bawahan harus diaudit agar yang dikerjakan sesuai dengan target. Audit menjadikan pendidikan tinggi kehilangan fungsi sebagai laboratorium gagasan atau ruang eksperimen yang bebas sebab target sudah ditentukan. Apa saja yang bukan target adalah salah!



Sebagaimana perusahaan yang baik harus mempunyai pekerja yang standar, para dosen harus disertifikasi. Sertifikasi ini bentuk dari ketidakpercayaan para manajer (di ranah yang lebih tinggi, misalnya level kementerian) pada kualitas bawahan. Sebagaimana perusahan yang terus-menerus harus menjaga mutu agar bisa bersaing di pasar, kampus harus mengejar akreditasi hingga di level paling tinggi kemudian menjaganya tetap di level tertinggi.

Caranya dengan secara periodik mengajukan penilaian akreditasi. Akhirnya perguruan tinggi di Indonesia disibukkan dengan kerja-kerja pelaporan yang administratif. Kerja-kerja administratif tersebut sebenarnya kontraproduktif dengan kerja sesungguhnya yang seharusnya lebih diutamakan.

Bagaimana seorang pekerja bisa bekerja dengan baik kalau harus terus membuat laporan? Kerja-kerja yang distandarkan, yang sebagian besar adalah kerja administratif, ini sebenarnya jauh lebih enteng dibanding tanggung jawab pendidikan tinggi sesungguhnya. Kerja-kerja itulah yang membuat pendidikan tinggi menjauh dari muruahnya.

Kalau saja para dosen tidak punya kegelisahan dengan turunnya kualitas kecendekiaan civitas academica kampus-kampus tempat bekerja, kerja-kerja administratif tersebut sebenarnya jauh lebih enak. Apalagi, selain gaji dan tunjangan, ada dana-dana yang bisa mereka serap untuk penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan sebagainya (yang hasil kerjanya akan diukur secara administratif juga).

Asalkan patuh dengan sistem pendidikan yang sekarang diterapkan, semuanya baik-baik saja. Ada banyak masalah dalam pendidikan tinggi kita. Apa yang saya paparkan ini hanya sebagian kecil. Banyak yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan tinggi kita agar perguruan tinggi bisa benar-benar menyumbang tenaga dan pikiran untuk mengurai persoalan-persoalan hidup masyarakat bangsa kita.

Jadi, kalau dosen-dosen merasa sebagai buruh dan perlu berserikat, mestinya itu tidak hanya menjadi cara untuk mengadvokasi diri saja, tetapi juga untuk menegakkan kembali muruah pendidikan tinggi kita agar tidak menjadi serupa badan usaha yang terlampau kapitalistik.

Agar tidak sekadar menjadi pabrik tenaga kerja yang sarjana, yang dianggap pantas disertifikasi oleh para pemilik modal, dan agar bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri, utamanya dalam dunia pendidikan.

Para dosen yang berserikat mestinya juga meyakinkan negara untuk mengambil peran lebih besar lagi dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Mungkin kita perlu melihat kembali sistem pendidikan tinggi kita yang lalu. Jangan-jangan yang sudah ditinggalkan justru lebih tepat diterapkan untuk menjawab tantangan zaman.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 Mei 2023. Penulis adalah dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya