SOLOPOS.COM - Aris Setiawan (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Hampir  semua tema musik terbaru adalah tentang patah hati. Apabila kita tengok,  lagu yang paling banyak didengar di Spotify pada Agustus 2023 adalah lagu berjudul Sial dari Mahalini.

Mari kita simak sepenggal liriknya: ….bagaimana dengan aku yang telanjur mencintaimu?/ yang datang beri harapan, lalu pergi menghilang/ tak terpikirkan olehmu, hatiku hancur karnamu…

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Lirik semacam itu begitu mudah kita jumpai belakangan ini. Ravin Alaei lewat penelitian berjudul Individuals Favorite Songs Lyrics Reflect Their Attachment Style (2022) menjelaskan kecenderungan mendengarkan musik tertentu adalah sebentuk ungkapan pengalaman tentang relasi atau hubungan dengan seseorang.

Dengan demikian, mendengarkan lagu-lagu patah hati adalah akumulasi dari pengalaman hidup pendengar yang dicampakkan, diputuskan, dan diselingkuhi. Penelitian itu juga mengungkap hampir semua responden menjadikan musik sebagai pengekalan atas peristiwa asmara yang pernah dialami.

Pada akhirnya musik menjadi semacam “alat untuk menunjukkan siapa diri kita”. Saat putus cinta, musik-musik dengan lirik “disakiti” paling banyak didengar atau diputar berulang-ulang.

Lirik patah hati (sebagaimana Sial dari Mahalini) membentuk mentalitas rasa takut dalam menjalin percintaan. Ada perasaan traumatis. Hal ini menimbulkan kecemasan terstruktur (structured anxiety).

Dengan kata lain, lirik musik patah hati itu menstimulasi otak atau pikiran untuk terus mengontekstualisasikan dengan pengalaman pribadi pendengar (disakiti). Hingga akhirnya rasa cemas mengambil alih.

Oleh Ravin Alei, hal ini disebut sebagai anxious. Gaya lirik musik yang disukai kini lebih menekankan rasa takut akan sebuah hubungan. Orang-orang dalam fase ini biasanya lebih sering mendengarkan lagu Drake berjudul Hotline Bling atau The Police lewat lagu Every Breath You Take.

Terkait hal itu, Nika Arliani dan Wiwid Adiyanto, secara khusus meneliti melalui analisis semiotika tentang representasi kecemasan pada lirik lagu Rehat dari Kunto Aji (2023). Lagu Rehat, alih-alih berisi lirik yang menenangkan jiwa, justru tampak sebagai ungkapan kecemasan tiada ujung.

Itu sebagaimana terungkap pada lirik berikut: tenangkan hati/ semua ini bukan salahmu/ jangan berhenti/ yang kau takutkan takkan terjadi. Ada upaya penyangkalan, menghibur diri, namun berbalut ironi.

Pada konteks yang demikian, fase akhir dari sebuah lagu patah hati adalah “menghindar” (avoidant) atau menolak untuk kembali menjalin hubungan asmara. Bisa jadi disebabkan oleh rasa trauma yang dalam.

Uniknya, rasa trauma itu justru dibentuk—salah satunya—lewat lirik musik yang didengar berulang-ulang, diresapi, dan menjadi kebenaran yang diyakini. Akhir dari itu adalah memilih untuk sendiri (single) dengan tetap berkubang pada rasa takut karena terus disakiti. Traumatis.

Pada akhirnya berupaya melarikan diri lewat lagu-lagu bertema penolakan dan menghindar (escapement). Mereka lebih senang mendengarkan Ciao Adios dari Anne Marie, Sam Smith lewat I’m Not The Only One, atau I Can’t Make You Love Me dari Bonni Raitt.

Di Indonesia, lirik lagu Sebatas Teman dari Sherly Sheinafia, Tapi Bukan Aku dari Kerispatih, Menghapus Jejakmu dari Peterpan, Pergilah Kau dari Sherina, Hujan Kemarin dari Taxi, adalah lagu-lagu yang paling banyak didengarkan.

Di jurnal Personal Relationship (2022) disebutkan bahwa ada kecenderungan semakin ke sini lirik-lirik lagu patah hati bertema penolakan semakin tumbuh subur. Hal tersebut mencerminkan tren generasi yang mencoba melepaskan diri dari keterikatan sosial.

Preferensi

Peristiwa itu menandakan musik bukan hanya hiburan, tetapi juga menjadi cermin dari kondisi psikologis dan emosional generasi mutakhir. Menyuarakan rasa sakit dan ketidakmampuan untuk kembali membuka hati merupakan cara bagi pendengar mengatasi trauma dan membangun pertahanan diri yang lebih kuat.

Perlu diingat bahwa kecenderungan ini tidak selalu berarti individu yang memilih lagu-lagu bertema penolakan akan terus berada dalam siklus patah hati. Sebaliknya, musik juga dapat berfungsi sebagai katalisator untuk pertumbuhan dan penyembuhan emosional.

Dalam beberapa kasus, mendengarkan lagu-lagu dengan tema patah hati dapat membantu individu memahami dan menerima bahwa tidak setiap hubungan dapat berjalan dengan baik, tidak ada kesempurnaan dalam sebuah hubungan, dan itu bukanlah suatu kegagalan pribadi.

Dalam realitas yang kompleks ini, musik hadir sebagai penghubung emosional yang kuat antara individu-individu yang mungkin belum pernah bertemu, namun merasakan dan mengalami hal-hal serupa.

Lagu-lagu bertema patah hati memandu mereka melalui lorong-lorong perasaan yang dalam dan kadang-kadang sulit untuk diungkapkan. Mereka menciptakan jembatan yang menghubungkan satu hati yang terluka dengan yang lain, membiarkan kita merasa bahwa “kita tidak sendiri dalam perjuangan emosional ini”.

Terlepas dari daya tarik magis musik bertema patah hati, harus diakui ada potensi risiko. Terlalu terpaku pada lagu-lagu yang mengingatkan pada patah hati bisa terjebak dalam masa lalu, terhalang dari kemungkinan meraih kebahagiaan baru pada masa depan.

Fenomena ini mengundang pertanyaan tentang keterikatan sosial pada generasi saat ini. Apakah kini semakin banyak orang memilih mempertahankan jarak emosional dalam hubungan interpersonal mereka?

Apakah ini mencerminkan perkembangan cara individu memandang dan mengatasi hubungan asmara? Dengan demikian, musik bertema patah hati dan penolakan tidak hanya mencerminkan pengalaman emosional individu, tetapi juga mencerminkan tren sosial.

Peningkatan signifikan dalam preferensi musik dengan tema patah hati pada tahun-tahun terakhir ini menunjukkan pengalaman emosional terkait hubungan dan patah hati memiliki pengaruh besar terhadap preferensi musik generasi mutakhir.



Perlu diingat bahwa preferensi musik adalah pengalaman yang sangat individual. Meskipun tema patah hati mendominasi daftar lagu-lagu populer, tidak semua orang yang mengalami patah hati akan memiliki preferensi musik sama.

Beberapa orang mungkin memilih mendengarkan musik dengan tema yang lebih optimistis atau menghibur sebagai bentuk pemulihan dan penyembuhan. Dalam konteks ini, musik menjadi teman setia yang selalu ada untuk menyuarakan dan merangkul perasaan yang mungkin sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Begitu pula bagi sebuah generasi. Jangan-jangan memilih untuk terus mendengarkan lagu patah hati adalah sebentuk upaya pelarian diri dari realitas sosial yang tak berpihak.

Dengan begitu, mereka akan senantiasa dianggap sebagai yang tersakiti, dan sebagaimana sinetron, yang tersakiti lebih menarik untuk ditonton, terus dirayakan walau penuh ratapan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 16 September 2023. Penulis adalah etnomusikolog dan pengajar di Institut Seni Indonesia Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya