SOLOPOS.COM - B. Mario Yosryandi Sara (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Setelah 25 tahun gerakan reformasi 1998, Indonesia tampak masih belum berjarak jauh dari Orde Baru. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menjadi musuh bersama pada masa Orde Baru kini kelihatan tumbuh subur.

Konstitusi dengan mudah dikoyak untuk kepentingan sesat dan sesaat. Pemilu 2024 bukan tentang siapa presiden yang terpilih. Ia bisa saja seorang prajurit militer, ia bisa juga seorang pengusaha, bisa dari habitus akademis, juga mungkin seorang yang memang memiliki pengalaman menjadi pemimpin pada skala yang lebih kecil dari sebuah negara.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Di Indonesia sebagai negara-bangsa (nation state), kita hanya bisa menerima untuk memilih calon presiden dari yang dipilih oleh koalisi partai politik. Ambang batas 20% kursi partai politik di parlemen menjebak kita sekadar memilih calon presiden yang dipilihkan partai politik.

Faktanya tidak terdapat satu pun partai politik yang bertanya terlebih dahulu kepada rakyat. Tidak ada kesempatan rembuk dengan rakyat. Tidak dapat dipastikan apakah rakyat setuju tentang calon presiden yang mereka usung.

Itulah takdir kita sebagai rakyat, semata-mata hanya menjadi pelengkap penderita. Tidak ada waktu tersisa yang cukup banyak bagi kita untuk menentukan siapakah presiden yang akan dipilih.

F. Budi Hardiman dalam buku berjudul Dalam Moncong Oligarki (2013) menjabarkan harapan tentang datangnya kepemimpinan yang kuat menjadi populer di Indonesia, khususnya saat krisis. Dalam demokrasi harapan itu akan tersalur sebagai pemberian suara kepada partai politik atau kandidat presiden yang dikira memenuhi harapan tersebut.

Apabila demikian itu terjadi, Indonesia akan tetap berada dalam demokrasi, meski rezim yang bangkit dari demokrasi belum tentu melanjutkan demokratisasi. Isu regresi demokrasi sebetulnya telah menjadi perhatian para scholars dalam 10 tahun terakhir, lantas mengalami situasi yang mengkhawatirkan menjelang Pemilu 2024.

Terutama dalam aspek kemunduran prosedur dan substansi kompetisi elektoral. Hal ini dapat diidentifikasi dari beberapa hal, yaitu proses pemilu yang sejak awal melekat dengan narasi kecurangan.

Contohnya, tahapan verifikasi partai politik serta fenomena penundukan lembaga penyelenggara pemilu secara sukarela terhadap kekuatan politik di DPR, salah satunya berkaitan dengan keterwakilan perempuan.

Selain itu fenomena juristocracy, yaitu pengalihan persoalan kebijakan legislasi ke pengadilan dan menantang masyarakat sipil untuk melakukan aktivisme hukum. Selanjutnya, ancaman erosi demokrasi oleh elite-elite politik yang mampu melakukan akumulasi kekuasaan sekaligus membajak demokrasi.

Elite politik berjalan dalam gelombang populisme instrumental dan berhasil merekayasa persetujuan (manufacturing consent) dengan narasi “dia orang baik”, “dia adalah kita”, dan lain sebagainya.

Jika berkaca pada teori psikologi politik, elite politik hari ini memenuhi karakteristik elite yang disebut ilmuwan politik Pareto (1968) sebagai elite dengan karakter rubah dan singa, yaitu elite inovatif, spekulatif, dan skeptis.

Kamuflase

Rezim sebelumnya cenderung menekankan pada stabilitas dan keseimbangan. Elite politik hari ini, yang kian mengabaikan suara civil society, berkamuflase sebagai benalu demokrasi.

Kemudian terdapat pula autocratic legalism, yakni upaya pembajakan mekanisme konstitusi untuk mendapatkan keuntungan dari dangakalnya demokrasi dan hukum yang berlaku.

Hukum dijadikan alat penyelewengan instrumen kekuasaan. Cara tersebut irasional dan kontradiktif dibandingkan penggunaan senjata karena dapat memberikan dampak buruk bagi masyarakat luas.

Dalam koridor autocratic legalism tersebut terdapat pelemahan empat institusi demokrasi di Indonesia, yaitu KPK, DPR (fungsi pengawasan), masyarakat sipil (melalui aksi teror, intimidasi, dan doxing), serta Mahkamah Konstitusi.

Erosi demokrasi tidak selalu bersumber dari elite politik. Ancaman demokrasi juga muncul dari masyarakat sipil. Dalam konteks politik akhir-akhir ini, suara kritis civic space, terkhusus di media sosial, sering kali dibungkam oleh komunitas masyarakat sipil lainnya, terutama oleh buzzers.

Kondisi ini sangat ironis karena masyarakat sipil selama ini diyakini sebagai agen utama demokratisasi dan kritik terhadap kekuasaan tentu merupakan hal urgen demi terwujudnya demokrasi yang sehat.

Pada saat masyarakat sipil terkooptasi dan menjadi pendukung kekuasaan, secara perlahan-lahan akan mematikan kontrol publik. Fenomena-fenomena ini menunjukan kepada kita bahwa demokrasi tidak pernah runtuh secara tiba-tiba, melainkan terjadi secara perlahan-lahan tanpa disadari.

Berdasarkan laporan Global Freedom Score 2023 yang dirilis Freedom House, Indonesia menempati peringkat ke-58 secara global dan ke-9 di Asia Tenggara dalam daftar negara dengan indeks kebebasan politik dan kebebasan sipil.

Kebebasan yang dimaksud didasarkan pada premis bahwa standar tersebut berlaku untuk semua negara dan wilayah, terlepas dari lokasi geografis, komposisi etnis atau agama, atau tingkat perkembangan ekonomi.

Jika kita berkaca pada data yang dirilis oleh Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia mendapat skor 6,71 pada Indeks Demokrasi 2022, dengan range indeks 0-10. Standar yang ditetapkan oleh EIU mencakup lima kategori, yakni proses pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik.

Meski demikian, skor dari EIU masih stagnan atau tidak mengalami perubahan yang signifikan dengan indeks demokrasi 2021. Sebab demokrasi Indonesia telah terkontaminasi demokrasi cacat (flawed democracy) karena peringkat Indonesia pada level global mengalami penurunan.

Semula skor 52 menjadi 54 dari total 167 negara, di bawah Kolombia dan Filipina. Kita terpaut jauh dengan peringkat pertama Norwegia yang mendapatkan skor 9,81, diikuti dengan peringkat kedua Selandia Baru dengan skor 9,61, dan peringkat ketiga Islandia dengan skor 9,52.



Kemunduran Demokrasi

Sedangkan laporan V-Dem Institute dalam Democracy Report 2023 menjelaskan 43% populasi dunia saat ini hidup di negara-negara yang sedang mengalami kemunduran demokrasi. Tingkat demokrasi secara global pada 2022 terdegradasi ke level yang sama dengan demokrasi pada 1986.

Situasi itu ditandai, anatara lain, represivitas pemerintah terhadap civil society, kebebasan berekspresi menurun, masifnya sensor pemerintah terhadap media, dan memburuknya kualitas pemilu.

Indonesia dalam 10 tahun terakhir, dari laporan yang sama, mengalami penurunan kualitas demokrasi bersama negara-negara Asia Pasifik, seperti India, Kamboja, Hong Kong, Myanmar, Afghanistan, Bangladesh, Filipina, dan Thailand.

Mengutip Catatan Akhir Tahun 2023 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bertemakan Jalan Asa Demokrasi di Negara Oligarki, dapat disimpulkan ketiga rangkaian indeks demokrasi tersebut.

Bahwa selama dua periode Presiden Joko Widodo memimpin pemerintahan ternyata membawa demokrasi mundur pada era yang lebih culas ketimbang rezim Orde Baru. Kemerdekaan berekspresi, berpikir, berpendapat, dan bernegosiasi terancam serta ruang kebebasan sipil menyempit.

Demokrasi tak pernah terisolasi dari konteks tempat tumbuh. Demokrasi hanya dapat berfungsi jika terdapat keyakinan. Tidak perlu dijelaskan bahwa faktor tersebut bukan semata-mata kepercayaan atas dinamika bernegara, melainkan terhadap kekuasaan yang menjalankan fungsi demokrasi.

Demokrasi adalah pekerjaan bersama yang berlandaskan empati, rasa hormat, dan pengakuan, maka dibutuhkan juga tekad untuk bersatu. Melalui Iman Dalam Tantangan karya Franz Magnis Suseno, dengan mendasarkan Indonesia pada Pancasila, para founding parents menyatakan tekad mereka bahwa Indonesia di satu pihak hanya bisa bersatu apabila setia pada nilai-nilai kemanusiaan yang sejak ratusan tahun mereka hayati.

Di lain pihak bahwa mereka menghendaki suatu Indonesia yang menjadi negara bermartabat. Oleh karena Indonesia adalah tempat ketika seluruh jiwa bangsa berada, maka siapa pun kita tentu memiliki obsesi untuk memberikan sumbangan terbaik bagi kelangsungan hidup bangsanya.

Obsesi yang didasari keyakinan bahwa demokrasi dijalankan dalam rangka bernegara dan harus dijalankan dalam kerangka konstitusi. Kita harus tegaskan bahwa negara ini akan tegak untuk waktu yang panjang hingga sehari sebelum kiamat.

Pelbagai rentetan peristiwa politik selama setahun belakangan seyogianya menjadi catatan sebagai bahan refleksi dan proyeksi demi Indonesia yang lebih baik. Penting dikatakan bahwa potret suram tidak mencerminkan seluruh realitas politikus Indonesia, melainkan paling banyak hanya separuhnya.

Sejak tumbangnya Orde Baru, masyarakat Indonesia tumbuh sebagai kekuatan yang memberi harapan akan Indonesia yang lebih baik. Api itulah yang harus dikuatkan, diperbesar, dan dikobarkan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 19 Februari 2024. Penulis adalah pegiat demokrasi dan aktivis hak asasi manusia yang tinggal di Jakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya