SOLOPOS.COM - Ucik Fuadhiyah (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Wong ka ngene kok dibandhing-bandhingke / saing-saingke, ya mesthi kalah / takoyaka ya aku ora mampu / mung sakuwatku mencintaimu /

Siapa yang tidak mengenal penggalan lirik lagu tersebut? Saya berani memastikan hampir seluruh lapisan masyarakat (tua, muda, laki-laki, perempuan, besar, dan kecil) tahu, bahkan hafal lagu yang liriknya saya kutip itu.

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Bukan hanya masyarakat di Jawa, bahkan se-Indonesia mengenal lagu Jawa bergenre dangdut kekinian tersebut. Iya, lagu berjudul Aja Dibandhingke yang banyak didengarkan masyarakat lewat kanal Youtube semakin tambah booming setelah dibawakan Farel Prayoga secara live seusai upacara bendera peringatan ulang tahun ke-77 Republik Indonesia di Istana Negara Jakarta pada 17 Agustus 2022.

Kemunculan Farel di tengah-tengah para tamu undangan menarik perhatian. Ekspresi dan penampilan anak itu tidak sedikit pun terlihat malu atau grogi. Penyanyi cilik asal Banyuwangi, Jawa Timur, itu tampak tenang dan sangat menguasai panggung.

Ia ditonton para hadirin, tamu-tamu dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Saat Farel bernyanyi  lagu Aja Dibandhingke hampir semua tamu undangan dan peserta upacara terlihat menikmati, bahkan turut berjoget.

Beberapa menteri, tamu undangan, dan artis yang hadir dalam upacara tersebut juga berjoget. Di media sosial (Youtube, Tiktok, Instagram, dan Facebook) banyak warganet yang memberikan apresiasi. Farel dan lagu yang dinyanyikan langsung menjadi trending topic dan viral.

Meski demikian, banyak warganet yang memberikan komentar kurang setuju dengan kondisi tersebut. Banyak pula yang memberikan kritik yang disampaikan di media sosial. Mereka yang tidak setuju punya alasan bahwa  tidak etis pada acara formal kenegaraan menggelar panggung terbuka dan bernyanyi seperti itu.

Acara itu dinilai mengurangi kesakralan upacara kenegaraan. Ada pula komentar lain yang menyebut Farel Prayoga belum pantas menyanyikan lagu untuk orang dewasa seperti itu karena usianya masih tergolong anak-anak. Saat itu ia duduk di kelas VI SD.

Apa sebenarnya yang menjadi inti permasalahan hingga menjadi pro dan kontra di masyarakat? Lalu, apa kaitannya dengan perkembangan dan nasib bahasa Jawa sebagai bahasa ibu yang saat ini sedang diupayakan pemertahanan dan penguatannya?

United Nations Educational and Scientific Organization atau UNESCO telah menetapkan periode tahun 2022 sampai 2032 sebagai Dekade Bahasa Ibu Internasional atau International Decade of Indigenous Languages (IDIL).

Penetapan program tersebut relevan dan sejalan dengan kebijakan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi yang menetapkan revitalisasi bahasa daerah sebagai salah satu program Merdeka Belajar.

Tidak bisa dimungkiri bahwa perubahan dan perkembangan zaman turut memengaruhi perkembangan budaya dan bahasa, termasuk dalam kreativitas seni. Harus diakui bahwa musik dan lagu-lagu berbahasa Jawa kekinian memang easy listening dan mudah diterima pasar. Khususnya bagi para generasi muda era digital.

Lagu-lagu berbahasa Jawa kekinian membuat siapa pun yang mendengarkan terbawa suasana alias terbawa perasaan (baper). Harus diakui pula bahwa kepopuleran lagu-lagu berbahasa Jawa kekinian (pop Jawa, dangdut Jawa) telah turut berperan secara masif menjadikan bahasa Jawa semakin berkembang, dikenal oleh berbagai kalangan, bahkan masyarakat lintas generasi yang berasal dari luar Jawa.

Ironisnya, dalam penciptaan lirik lagu tersebut tampaknya hanya mempertimbangkan unsur komersial dan marketable. Lirik lagu sebagai bagian karya yang menggunakan medium bahasa seyogianya tetap memperhatikan diksi dan penulisan/ejaan.

Kenyataannya, banyak yang masih abai pada aspek ini dengan alasan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi bersifat manasuka, semata-mata dimaknai suka-suka, bebas. Lagu Aja dibandhingke hanya salah satu contoh lagu berbahasa Jawa kekinian yang viral tayang di Youtube pada era kini.

Banyak penyanyi yang kemudian ikut menyanyikan lagu-lagu tersebut. Sayang, ada hal yang tampaknya diabaikan pada aspek kebahasaan. Bukan hanya soal istilah bahasa Jawa yang bercampur dengan istilah bahasa Indonesia, tetapi juga soal ejaan dan pilihan kata (diksi).

Misalnya: penulisan diksi  dibandhingke ditulis secara serampangan menjadi dibandingke,  bahkan ada pula yang menulis dibandengke. Kondisi dan fakta seperti itu sesungguhnya tidak hanya terjadi pada lagu Aja Dibandingke.

Banyak judul lagu-lagu berbahasa Jawa kekinian lain yang liriknya ditulis tanpa memperhatikan tata bahasa dan ejaan  dalam penulisan. Seolah-olah terkesan yang penting lagunya laris, laku, dan viral. Diksi yang digunakan juga semakin vulgar.

Coba kita cermati lirik lagu-lagu berbahasa Jawa kekinian lainnya, seperti Rungkad, Bojo Galak, Pamer Bojo, Nemen, Nemu, dan lain sebagainya. Itu baru beberapa contoh lagu yang kebetulan pernah viral dan dinyanyikan oleh banyak kalangan di berbagai acara dengan beragam jenis aransemen musik.

Penulis dan kritikus sastra Indonesia Goenawan Mohamad (1980) dalam buku berjudul Seks, Sastra, Kita menyebut dalam hal penciptaan kreatif, dalam demokratisasi, jelas yang dituju bukanlah munculnya/lahirnya orang-orang jenius, namun banyaknya orang yang senang dan bergembira untuk berpartisipasi dalam penciptaan kreatif.

Ungkapan Goenawan Mohamad pada tahun 1980 tersebut tampaknya memang masih relevan dengan keadaan saat ini. Jadi, tak mengherankan saat ini banyak sekali penciptaan karya (karya seni dan sastra) yang lahir untuk kebutuhan marketing, komersial, dan viral.

Tidak perlu membuat karya yang terlalu rumit,  yang penting banyak yang suka dan semua orang senang. Dalam konteks proses kreatif, tentu kita akan mengapresiasi dan saling menghargai, namun sudah semestinya para pencipta lagu, penulis/para produser, dan kreator konten era digital turut serta memperhatikan aspek-aspek kebahasaan dalam kerja kreatif.

Dengan demikian, karya seni juga mempunyai kontribusi menunjang perkembangan dan revitalisasi bahasa Jawa sebagai salah satu bahasa ibu di negeri ini, misalnya dengan melibatkan para ahli bahasa untuk menyunting hasil akhir karya sebelum dipublikasikan/ diunggah di media sosial.

Sependek pengamatan saya, sebenarnya ada beberapa pencipta lagu berbahasa Jawa (daerah) yang melakukan tahapan tersebut. Berkonnsultasi atau melibatkan ahli bahasa (Jawa) dalam proses penciptaan dan penulisan lirik lagu.



Tentu itu langkah yang bagus dan perlu diikuti para kreator konten, pencipta/penulis lagu berbahasa Jawa lainnya. Sayangnya, hal itu masih jarang dilakukan oleh produser/kreator kreator/pencipta lagu. Terbukti masih banyak kita temukan lirik lagu dengan penulisan kata atau istilah bahasa Jawa yang kurang tepat/ keliru, baik diksi maupun ejaannya.

Mengapa upaya tersebut menjadi penting dilakukan? Lirik lagu-lagu tersebut muncul tersebar luas di kanal Youtube, mudah diakses, dan dihafal generasi muda. Bagaimana ketika penulisan ejaannya keliru atau salah? Tentu saja ini akan berdampak secara masif dan justru mudah ditiru, apalagi bagi generasi muda yang sedang pada tahap belajar mengenal kembali bahasa ibu (Jawa) yang kini dianggap dan dirasa makin asing “di rumahnya” sendiri.

Saya jadi ingat, suatu hari dalam sebuah obrolan dengan seorang kawan penulis muda (sastra Jawa), dia berkata bahwa guru dan sastrawan Jawa mbok nggak usah serius mikir pelestarian bahasa Jawa. Masa depan bahasa Jawa itu di tangan Denny Cak Nan dan Happy Asmara. Itu sudah terbukti.

Ia berkata demikian sambil tertawa lalu ngeloyor pergi. Walah, jangan-jangan memang benar. Rungkad ….  Untuk itulah, momentum Hari Bahasa Ibu Internasional yang diperingati setiap tanggal 21 Februari perlu kita jadikan refleksi sekaligus langkah nyata merevitalisasi bahasa Jawa.

Kenyataan menunjukkan generasi saat ini lebih mudah mendapat informasi dan belajar dari media sosial atau sarana digital dibanding memperhatikan guru di sekolah atau orang tua di rumah.

Nah, jika sumber informasi yang dipelajari saja salah atau keliru, lalu bagaimana? Akankah kita membiarkan masa depan bahasa Jawa mengikuti arus tanpa ada filter dan edukasi?

Bahasa Jawa harus bisa ngeli nanging ora keli, yang maknanya mengikuti perkembangan, tetapi tidak terbawa arus dan tenggelam. Semoga. Matur nuwun.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 22 Februari 2024. Penulis adalah penggurit dan dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya