SOLOPOS.COM - Tito Setyo Budi/Istimewa

Solopos.com, SOLO -- Ada dua larik syair tembang Dhandhanggula dalam Serat Jayabaya karya Ronggawarsito yang menarik untuk direnungkan dan dicermati dalam kondisi saat ini, yaitu tikuse padha ngidung, kucing gering kang nunggoni.

Terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia kurang lebih berbunyi ”para tikus bernyanyi-nyanyi, sementara penjaganya adalah kucing yang sedang sakit”. Meski tembang itu pernah saya dendangkan 40 tahun yang lampau dan sesekali saya buka kembali catatan itu buat rengeng-rengeng, tetap saja saya gagal (setidaknya, ragu) untuk menafsirkan makna lirik tembang itu.

Promosi Tragedi Simon dan Asa Shin Tae-yong di Piala Asia 2023

Beruntung, Kang Sobary membantu saya. Lewat buku bertajuk Tikuse Pada Ngidung (2018) saya mendapatkan gambaran yang lebih mantap. Bahwa secara tegas Mohamad Sobary—alias Kang Sobary--langsung menunjuk tikus itu adalah para koruptor. Sedangkan kucing adalah petugas hukum, penegak hukum, aparatur antikorupsi.

Kang Sobary mendongengkan bahwa para koruptor yang tetembangan, menyanyi jejingkrakan, tak merasa malu, tak pernah merasa hina dina. Mereka selalu berusaha menyerang dan memperlemah lembaga yang mengawasi solah tingkah mereka.

Tikuse padha ngidung itu lebih simbolis dibandingkan para pencuri yang berpesta pora. Yang menjaga tikus-tikus itu hanya kucing gering, kucing sakit-sakitan, tak berdaya, dan tak pernah berani menerkam si tikus (hal. 6). Meski terasa getir namun metafora itu tak berlebihan.

Perilaku korup yang dilakukan oleh koruptor di negeri kita seakan-akan tak pernah melemah. Justru upaya melemahkan lembaga antikorupsi  (baca: KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi) itu yang acap kali muncul dan acap kali pula nyaris menang.

Genap 10 yang lalu, September 2009, Penerbit Buku Kompas meluncurkan sebuah buku dengan judul memelas, mengiba, Jangan Bunuh KPK. Di dalamnya ada dua artikel yang terasa pedih perih, yaitu Presiden Diminta Selamatkan KPK dan KPK Dapat Bubar Tanpa Ada Perppu.

Itu pada zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bukankah keadaannya sama persis dengan sekarang, zaman pemerintahan Presiden Joko Widodo? Berarti sejarah berulang. Berarti pula kita tak pernah belajar dari sejarah. Reaksi publik pun sama. Sama-sama harap-harap cemas: apakah peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu untuk KPK jadi dikeluarkan oleh presiden atau tidak.

Harian Solopos beberapa hari lalu memasang dua headline yang menohok. Tanggal 30 September 2019 dengan judul DPR Bisa Tolak Langkah Jokowi. Tanggal 3 Oktober 2019 dengan judul Jokowi Takkan Bikin Perppu. Dua arus besar sedang bertempur dan berkelindan.

Masih Garang

Yang setuju perppu, contohnya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud Md, mengatakan penerbitan perppu tidak mengandung risiko pemakzulan. Sedangkan yang menolak perppu, contohnya Surya Paloh, mengatakan Presiden Joko Widodo bisa dimakzulkan jika menerbitkan perppu untuk KPK.

Hari-hari ini Presiden Joko Widodo benar-benar terantuk batu ujian. Bola berada di tangan mantan wali Kota Solo dan mantan gubernur DKI Jakarta itu. Situasi makin tak menentu seperti bayi yang terserang demam. Kadang panas, dingin sebentar, kemudian panas lagi. Itu tentu tak bisa dibiarkan berlama-lama. Keputusan harus segera diambil, apa pun risikonya.

Sementara kepala negara belum mengambil keputusan, yang lebih tak menentu adalah nasib KPK sebagai si kucing gering. Akankah dia kembali tegak dengan sokongan moral rakyat banyak sebagaimana disuarakan mahasiswa? Atau, dia ditelan oleh revisi undang-undang buatan DPR yang bersekongkol dengan pemerintah?

Saat ini, saat nasib belum jelas, si kucing gering ternyata tak tinggal diam, tak sekadar duduk di batu dengan leher ditekuk sambil terkantuk-kantuk. Ternyata si kucing gering masih bisa menerkam sana-sini, mencengkeram kerah para koruptor. Terbukti penangkapan demi penangkapan tersangka koruptor terus dilakukan.

Masyarakat sejatinya ingin juga melihat bagaimana pandangan para anggota DPR yang baru dilantik. Apakah mereka sama dan sebangun dengan DPR terdahulu, DPR periode 2014-2019? Konon, sekarang banyak wajah-wajah baru di Gedung DPR. Apakah yang baru hanya wajahnya saja, sementara mentalitasnya copy and paste kelakuan DPR periode sebelumnya?

Bagaimanapun legislator bangkotan jumlahnya masih mayoritas di DPR periode 2019-2024. Tak mudah memang meyakinkan masyarakat Indonesia sekarang. Boleh saja menganggap banyak anggota masyarakat yang masih dungu (istilah Rocky Gerung) tapi setidaknya mampu niteni, menengarai, mana perilaku yang lancung dan mana yang terpuji.

Masyarakat tahu betapa kekuasaan telah ditelikung, dimanfaatkan sebagai instrumen memperkaya diri. Kolusi dijadikan jembatan emas untuk korupsi. Pada gilirannya negaralah yang terkena getah, dituding sebagai fasilitator korupsi, sebagaimana ditulis Penny Grees dan Tony Ward dalam State Crime: Governments, Violence, and Corruption (2004).

Msyarakat juga percaya Presiden Joko Widodo yang sudah kenyang makan asam garam pemerintahan dari tingkat kota, provinsi, hingga pemerintahan negara, paham itu semua. Paham bahwa pengawasan eksternal, di luar pemerintahan, sebagai salah satu dari sekian cara memberantas korupsi (lihat: Rose-Ackerman dalam Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 1999).

Gejolak yang terjadi setelah pengesahan revisi UU KPK adalah salah satu bentuk bahwa bagaimanapun berbagai elemen di luar pemerintahan tak tertidur pulas dan tak bisa begitu saja dikelabui. Harapan yang ditumpukan di pundak Presiden Joko Widodo saat ini adalah bagaimana penjenenganipun mau tampil gagah berani menjadi pelopor dan garda terdepan pemberantasan korupsi di Indonesia sebagaimana janjinya dalam Nawacita.

Dari Atas

Jangan ulang kesalahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dulu seusai dilantik langsung sesumbar untuk memimpin pemberantasan korupsi di garis terdepan. Alih-alih memberantas korupsi, malah banyak anggota kabinet dan legislator dari partai politik yang dia pimpin yang tersandung korupsi.

Memerangi korupsi tak bisa dilakukan dari bawah, tapi harus dari atas. You can’t fight from the battom. You have to fight from the top (Robert I. Rotberg, Corruption, Global Security, and World Order, 2009). Mirip dengan ungkapan yang disampaikan Ki Dalang Manteb Soedharsono, bahwa teladan mesti dari atas. Jika ingin di bawah bagus atasnya juga harus bagus terlebih dahulu.

”Yen banyu saka ndhuwur butheg, tengah diubeg-ubeg, ngisor dadi lintreg-lintreg,” kata Ki Manteb saat menyampaikan narasi pedalangan. Jika di atas kotor, tengah diaduk-aduk, ya akhirnya di bawah jadi comberan–limbah yang mendatangkan penyakit.

Pemimpin yang memberikan keteladanan dalam pemberantasan korupsi bukannya tidak ada. Tengok misalnya, Perdana Menteri Lee Kwan Yew (Singapura), Seretse Khama (Botswana),  Paul Kagame (Rwanda), dan (ini baru harapan)... Presiden Joko Widodo (Indonesia). Pendek kata, jangan sampai kucing garang jadi kucing gering dan akhirnya manjadi kucing garing. Kita tunggu saja!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya