SOLOPOS.COM - Lukmono Suryo Nagoro (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Tahun 2023 adalah tahun politik. Pada tahun ini pasti lebih ramai daripada tahun-tahun sebelumnya. Mengapa tahun politik ini begitu ramai? Tahun politik mengingatkan saya pada job fair yang dijubeli penganggur dan pekerja yang ingin pindah tempat bekerja.

Dua kategori itu juga hadir dalam pemilihan umum (pemilu). Para penganggur sedang mencari pekerjaan menjadi calon anggota legislatif dan para pekerja yang bekerja dengan baik karena di tempat lama (baca: partai politik) tidak dipakai lagi, mereka akan pindah ke partai politik lain.

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Bagi yang sudah menjabat sebagai bupati/wali kota, gubernur, ketua partai politik, atau panglima TNI ingin meloncat memperbaiki karier, misalnya, dengan menjadi gubernur, presiden, atau wakil presiden. Mengapa rakyat Indonesia sangat hobi mengejar jabatan-jabatan politik yang disediakan oleh pemilu?

Jawaban saya singkat dan berkesan menyederhanakan masalah: Indonesia ini maximal state atau negara maksimal. Dasar maximal state adalah Pasal 33 UUD 1945. Lawan maximal state adalah minimal state. Perbedaan mencoloknya adalah peran negara dalam perekonomian.

Maximal state menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan hajat hidup orang banyak, bahkan bisa mendirikan badan usaha milik negara (BUMN) sebagai agen pembangunan. Kebalikannya, minimal state berkredo urusan perekonomian diserahkan kepada pasar. Negara tidak lebih sekadar pencetak uang. Arsitek utama pasal ini adalah Moh. Hatta. Liku-liku intelektual perumusannya tidak terlepas dari perkembangan sosialisme demokrasi di Eropa.

Itulah sebagian hal yang dipelajari Hatta sewaktu studi ekonomi di Belanda. Saat itu kapitalisme sedang menampakkan wajah lesu. Kapitalisme melahirkan malaise ekonomi dunia. Hal ini membuat sosialisme demokrasi yang bersendikan solidaritas dan besarnya kekuasaan negara dalam perekonomian menemukan panggungnya. Inilah nyawa Pasal 33 UUD 1945.

Sampai Maret 2022, jumlah BUMN di Indonesia 41 unit. Pada 2021, dengan estimasi kurs Rp14.300 per dolar Amerika Serikat, total aset BUMN senilai US$650 miliar setara dengan Rp9.295 triliun. Jumlah yang sangat fantastis dan siapa yang tidak ngiler melihat uang begitu besar.

Para politikus ingin menguasai BUMN meskipun ketika pemilu mereka saling berkompetisi dan saling tikung. Setelah pemilu selesai dan ada pemenangnya mereka akan berkompromi berbagi kuasa. Kekuatan politik yang saling berlawanan itu berkumpul kembali menjadi satu keluarga.

Mereka ingin melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas dasar kekeluargaan. Partai politik bergabung menjadi satu keluarga dengan pemimpin keluarga bernama presiden itu membagi kekuasaannya.

Yang dibagi bukan kekuasaan tradisional: trias politica. Ada tambahan kekuasaan ekonomi. Kekuasaan ini terletak pada APBN dan BUMN. APBN itu dibagi secara merata berdasarkan persentase suara. Kita masih ingat di level kementerian itu sudah dikaveling oleh partai politik pendukung presiden yang memenangi pemilu.

Presiden sebagai ”kepala keluarga” mendistribusikan cabang-cabang produksi kepada partai politik pendukungnya. Sekarang ini, menjadi tim sukses calon presiden adalah jabatan mata air. Ketika calon presiden tersebut memenangi pertarungan, posisi komisaris BUMN bisa didapat.

Despotic Leviathan

Para politikus kemudian menjadi pebisnis dengan cara menjadi perantara di antara kekuasaan dan uang. Mereka menjual pengaruh kepada para pengusaha yang ingin memperebutkan kontrak-kontrak pemerintah. Pebisnis model demikian tidak paham urusan bagaimana memproduksi barang atau jasa, mendistribusikan, sampai menjualnya.

Mereka sama sekali tak paham ketika harus menghitung kredit dan kemampuan membayarnya. Modal utama, kalau boleh disebut, pebisnis kroniisme demikian ini adalah jual beli pengaruh untuk memperbesar bisnis mereka. Dalam perspektif saya, negara Indonesia saat ini mulai ada tanda-tanda memburamnya batas-batas antara negara, bisnis, dan masyarakat atau publik.

Sepertinya kekuatan negara sudah melebur bersama bisnis menjadi sebuah unholly alliance. Kondisi ini lambat laun akan menggerogoti integritas dan kewibawaan institusi politik bernama negara, terutama cabang eksekutif. Kita bisa melihatnya dalam kendaraan listrik yang digunakan dalam konferensi tingkat tinggi G-20, yaitu Electrum.

Produsennya didirikan sebagai hasil patungan antara PT Gojek Indonesia yang sebagian sahamnya dimiliki Nadiem Anwar Makarim (Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi) dan PT TBS Energi Utama yang dimiliki oleh Luhut Binsar Pandjaitan (Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi). Cabang eksekutif yang masif dan eksesif memasuki wilayah bisnis serta legislatif yang hampir tidak terdengar suara-suara kritiknya bisa membuat negara Indonesia memasuki periode despotic leviathan.

Negara menjadi entitas yang sangat kuat karena didukung oleh oligarki, sedangkan hak-hak masyarakat diberangus. Penyebab utama pemberangusan itu adalah media dikuasai oleh oligarki dan Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang tujuannya sebenarnya memajukan perekonomian malah untuk memasung kebebasan berpendapat.

Jika melihat kenyataan tersebut, cita-cita Moh. Hatta masih jauh dari terwujud. Hatta mengartikan perekonomian atas dasar kekeluargaan dijalankan dengan tidak atas dasar persaingan yang mematikan potensi dan daya kreatif bangsa, berwatak anti-monopoli, berpihak kepada golongan kecil dan lemah, serta penuh solidaritas atau tolong-menolong.

Apa yang terjadi sekarang? Satu contoh saja adalah pengenaan pajak crude palm oil (CPO) untuk ekspor dan pungutan sawit dikenakan US$268 per ton, padahal di situ terdapat jutaan petani rakyat terlibat. Bandingkan dengan harga batu bara yang meningkat tajam sehingga nilai ekspor juga meningkat menjadi US$33 miliar atau Rp472 triliun.

Jika mau mengenakan pajak 20% saja, akan ada tambahan kira-kira Rp90 triliun dari oligarki batu bara. Pemerintah lebih memilih memajaki rakyat kecil. Artinya, negara Indonesia yang saya sebut maximal state ternyata melindungi oligarki agar harta mereka tidak berkurang sepeser pun secara maksimal, tetapi minimal sekali dalam melindungi rakyat kecil dan jelata sebagaimana amanat konstitusi.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 Desember 2022. Penulis adalah editor buku yang tinggal di Kota Solo, Provinsi Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya