SOLOPOS.COM - Anggalih Bayu Muh. Kamim (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Pembahasan  mengenai kategori lain dari buruh pengetahuan yang berada di kampus tampaknya belum menjadi perhatian publik di tengah pemberitaan media massa mengenai kesejahteraan dosen—termasuk introduksi wacana bahwa dosen sebenarnya buruh.

Buruh pengetahuan secara sederhana dapat kita maknai sebagai pekerja yang menggunakan kapasitas pengetahuan dan tenaganya untuk menghasilkan kerja pengetahuan dalam pasar kerja akademik (Negri, 2006).

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Dosen memang menjadi “patron” dalam kerja pengetahuan dan menggerakkan buruh pengetahuan lainnya seperti tutor, enumerator, dan asisten peneliti di kampus. Kondisi kesejahteraan dosen yang kurang memadai akan berdampak pula kepada buruh pengetahuan yang menjadi bagian kerja pengetahuan di kampus.

Kita perlu mendudukkan terlebih dahulu jeratan ekonomi politik pada kesejahteraan dosen yang berdampak pada buruh pengetahuan lainnya. Kajian yang dilakukan Rakhmani dan Siregar (2016) menemukan bahwa penilaian kinerja dosen masih dikaitkan dengan jenjang pegawai negeri, bukan berdasar pertimbangan kemampuan akademis. Mereka juga direkrut secara “tertutup.”

Warisan ketidakberpihakan negara terhadap ilmu sosial ditambah dorongan kampus untuk mencari pendanaan “tambahan sendiri” menyebabkan buruh pengetahuan kesulitan “berkembang.”

Rezim birokratis juga menyebabkan adanya kesenjangan dalam pendanaan penelitian. Kampus-kampus di Jawa-lah yang relatif memiliki akses ke donor internasional dan pemerintah (Rakhmani & Siregar, 2016).

Logika pasar yang masuk sejak berubahnya status empat universitas menjadi badan usaha milik negara (BHMN)—dan kini dikenal sebagai perguruan tinggi negeri berbadan hukum atau PTNBH—menyebabkan kerja pengetahuan di kampus tak berkaitan langsung dengan upaya pengembangan keilmuan, melainkan mengejar keuntungan ekonomi bagi lembaga studi (Rakhmani, 2017, 2019, 2020).

Studi Yunisvita (2020) dalam konteks kampus di Sumatra Selatan menemukan bahwa pasar buruh pengetahuan bersifat monopsoni disebabkan kampus menjadi satu-satunya “pengguna jasa” yang berdampak pada kesejahteraan dosen yang kurang akibat bergantung pada kecukupan jam mengajar (Yunisvita, 2020).

Dosen pada dasarnya berada pada kategori kelas salariat (buruh dengan pendapatan tetap serta memiliki “kejelasan perkembangan karier”). Pekerja seperti enumerator dan asisten peneliti adalah precariat (buruh dengan kontrak jangka pendek dan tak memiliki kejelasan perkembangan karier).

Kategori kelas tersebut menunjukkan bahwa di antara para buruh pengetahuan ada pihak yang paling tereksploitasi, yakni si precariat (Bates, 2021). Dengan demikian, eksploitasi kerja akademik yang dihadapi dosen semakin menggencet penghidupan para precariat.

Tertindas dari ”yang Tertindas”

Enumerator, asisten peneliti, dan tutor bekerja secara bipartit dan kontraktual. Bipartit artinya hubungan kerja terjalin antara pemberi kerja, baik individu maupun lembaga, dengan si buruh. Mekanisme bipartit ada dengan pembayangan si buruh dapat melakukan tawar menawar dengan pemberi kerja secara leluasa.

Kontraktual artinya relasi kerja didasarkan pada kesepakatan kerja dengan jangka waktu tertentu, biasanya sesuai dengan durasi proyek (Sappey, 2005). Kerja kontraktual muncul dari upaya kampus maupun si salariat memanfaatkan precariat sesuai “kebutuhannya” dan dapat melepas ikatan mereka sewaktu-waktu saat proyek sudah selesai.

Hal tersebut disebabkan si salariat maupun kampus merasa dapat merekrut calon-calon precariat lainnya dari “tentara cadangan pekerja” yang berlimpah di pasar tenaga kerja akademik.

Realitas ini muncul disebabkan pengalaman menjadi enumerator, tutor, maupun asisten peneliti pada dasarnya adalah pintu pembuka untuk bersaing dalam pasar tenaga kerja akademik.

Kondisi kerja kontraktual buruh pengetahuan di sisi lain menjadi strategi bagi si salariat dan kampus untuk memudahkan penurunan upah dan memastikan kualitas calon buruhnya (Bauder, 2005).

Kerja kontraktual bertahan disebabkan dua jeratan. Pertama, pasar buruh akademik yang sengaja dipisahkan dari pasar tenaga kerja lainnya untuk mendapatkan kualitas buruh sesuai kebutuhan.

Kedua, hubungan patron-klien yang sengaja dipelihara untuk mendapatkan penghidupan berupa kerja akademik sebagai pekerjaan tetap maupun jalan mendapatkan rekomendasi untuk melanjutkan studi (Bauder, 2005).

Ikatan patron-klien ini pula yang menyebabkan precariat tak bisa memprotes kondisi kerjanya. Persaingan di antara buruh pengetahuan, apalagi hanya terjadi di antara sesama precariat maupun salariat, sehingga siapa yang berhasil mendapatkan akses patron menjadi pihak yang unggul dalam persaingan (Sukarieh & Tannock, 2019).

Kampanye untuk memperluas akses pendidikan tinggi tanpa diikuti pengembangan sektor manufaktur juga menjadi biang lulusan kampus bersaing keras di pasar buruh akademik untuk mendapatkan pengalaman kerja melalui ikatan patron-klien (Sukarieh & Tannock, 2019).

Upaya menyuarakan eksploitasi kerja di kampus semestinya tak hanya terbatas pada dosen. Ajakan untuk membangun serikat selayaknya juga melibatkan semua jenis buruh pengetahuan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 19 Mei 2023. Penulis adalah alumnus Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya