SOLOPOS.COM - Agung Satyawan, Penulis adalah dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNS

Agung Satyawan, Penulis adalah dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNS

Awal bulan Juni terjadi kerusuhan etnik di negara bagian Rakhine (dahulu Arakan) Myanmar. Bentrok antara etnik minoritas muslim dengan mayoritas budhis dipicu adanya isu perkosaan dan pembunuhan seorang perempuan Rahkine oleh tiga orang muslim. Kerusuhan ini mengakibatkan puluhan orang terbunuh, sebagian besar di antaranya adalah etnik minoritas muslim Rohingya dan pemerintah menyatakan keadaan darurat di negara bagian ini. Serangkaian tindakan represif pemerintah diberlakukan kepada etnik Rohingya.

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

Tindakan represif ini bukanlah kali pertama di tujukan kepada etnik Rohingya. Sejak Myanmar berdiri, pemerintah telah menerapkan kebijakan yang diskriminatif. Presiden Myanmar Thein Sein pernah menyatakan akan mengusir kaum Rohingya jika ada negara ketiga yang mau menampung mereka. Kebijakan pembersihan etnik di Myanmar menuai kecaman dunia internasional. Uniknya Aung San Suu Kyi, ikon demokrasi Myanmar yang baru saja dibebaskan dari tahanan rumah dan berhasil memenangkan kursi di parlemen, ketika ditanya mengenai persoalan Rohinggya sewaktu berkunjung ke Eropa, tidak memberi jawaban tegas. Bahkan dia tidak tahu jika Rohingya adalah minoritas di Myanmar dan akan mempelajari secara seksama undang-undang yang berkaitan dengan etnik di Myanmar. Jawaban yang mengambang ini mengecewakan bagi kelompok-kelompok pro demokrasi internasional.

Etnik Rohingya

Sejarah Rohingya di Myanmar sampai sekarang masih diliputi tabir dan eksistensinya di Myanmar masih dalam perdebatan. Sebagian ahli mengatakan bahwa etnik ini telah tinggal turun-temurun di Arakan utara berbatasan dengan Bangladesh sejak abad IX. Namun sebagian yang lain mengatakan bahwa etnik ini masuk ke Arakan sebagai imigran yang direkrut oleh pemerintah kolonial Inggris.

Berbeda dengan mayoritas etnik di Myanmar, etnik Rohingya berkulit gelap, berbahasa dengan dialeg Chittagong-Bengali (bagian timur Bangladesh) dan beragama Islam. Ketika pemerintah kolonial Inggris berkuasa tahun 1824, banyak pekerja didatangkan dari India terutama di sekitar Chittagong sebagai buruh murah di perkebunan Arakan. Pada waktu itu wilayah India masih meliputi Bangladesh dan di bawah pemerintah kolonial yang sama yaitu Inggris. Inggris menjanjikan Arakan sebagai negara merdeka berbasis Islam jika mereka membantu melawan Jepang pada waktu Perang Dunia II. Namun janji ini tidak pernah terpenuhi sampai Myanmar (dahulu Burma) merdeka tahun 1948 yang wilayahnya meliputi Arakan. Penduduk muslim di Arakan semakin bertambah ketika di tahun 1970 an terjadi peperangan di Pakistan Timur untuk menjadi negara merdeka dengan nama Bangladesh yang menyebabkan gelombang pengungsi masuk ke Arakan dan mendesak penduduk asli etnik Rakhine.

Lepas dari perdebatan sejarah mengenai asal-usul etnik Rohingya, fakta menunjukkan bahwa pemerintah Myanmar tidak mengakui etnik ini sebagai warga negaranya. Berdasarkan UU Kewarganegaraan Myanmar 1982, etnik yang diakui sebagai warga negara adalah etnik yang telah ada di Myanmar sebelum datangnya kolonial Inggris tahun 1824. Tercatat ada 135 etnik dan etnik Rohingya tidak termasuk didalamnya. Hal ini berarti Rohingya bukan bagian etnik yang menyusun bangsa Myanmar dan konsekuensinya mereka bukan warga negara Myanmar melainkan imigran yang tinggal di Myanmar dan sewaktu-waktu dapat diusir. Ketika pemerintah junta militer berkuasa tahun 1962, mereka bertindak sangat represif dan diskriminatif terhadap etnik Rohingya.

Terjadi eksodus besar-besaran pada tahun 1978 dan 1991-1992. Kebanyakan mereka pergi ke Bangladesh dan sebagian pergi ke Thailand, Malaysia dan ke negara-negara lainnya. Diperkirakan jumlah etnik Rohingya yang tinggal di Myanmar ada 800.000 orang, 28.000 di tampung di dua kamp pengungsian di Bangladesh yang di tangani oleh organisasi PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR), 200.000 tinggal secara ilegal di wilayah Bangladesh di sepanjang perbatasan dengan Myanmar dan selebihnya menjadi imigran gelap di negara-negara lain.

Jumlah pengungsi Rohingya yang demikian banyak menjadi beban bagi negara miskin dan berpenduduk padat seperti Bangladesh. Tidak jarang gesekan sosial muncul antara penduduk setempat dengan para pengungsi ilegal. Walau Pemerintah Myanmar mengatakan etnik Rohingya berasal dari suatu wilayah sebelah barat Bangladesh, Pemerintah Bangladesh enggan mengakui para pengungsi ini sebagai warga negaranya dan diperlakukan sebagai imigran.

Status sebagai etnik tanpa negara, orang-orang Rohingya rentan terhadap tindakan-tindakan tidak adil tanpa dilindungi hak-hak sipil, baik di Myanmar, Bangladesh atau di mana pun mereka berada. Di Myanmar, ruang gerak mereka dibatasi dan hanya diizinkan di seputar desa saja. Jika hendak melintas lain desa, mereka diwajibkan membayar untuk memperoleh izin. Oleh karena itu, mereka kesulitan memperoleh akses ke pasar, sekolah dan fasilitas pendidikan maupun kesehatan. Keadaan ekonomi mereka sangat miskin, diperkirakan lebih dari 80% buta huruf.

Untuk mencegah perkembangan populasi mereka yang sangat pesat, Pemerintah Myanmar hanya memperbolehkan setiap keluarga mempunyai dua orang anak. Untuk menghindari hukuman dari pemerintah, banyak ibu-ibu yang melakukan aborsi tanpa fasilitas kesehatan. Angka kematian ibu dan anak di kalangan Rohingya sangat tinggi. Untuk menghindari tekanan sosial-ekonomi dan tindakan represif pemerintah, banyak di antara mereka yang meninggalkan Myanmar dengan perahu tradisional untuk mencari penghidupan yang lebih baik di negara lain. Tidak diketahui berapa jumlah mereka yang tenggelam di laut lepas.

Ujian bagi Suu Kyi

Tidak mudah untuk menjawab persoalan Rohingya ketika Suu Kyi disodori pertanyaan ini, sehingga jawabanya terasa mengambang. Suu Kyi yang sedang menuai popularitas di kalangan rakyat Myanmar dan statusnya sebagai anggota parlemen, dia sudah menjadi bagian dari Pemerintahan Myanmar. Jika jawabannya membela etnik Rohingya sebagai bagian dari Myanmar sementara masih banyak etnik minoritas lainnya yang diperlakukan tidak adil oleh pemerintah, maka diperkirakan dia akan menuai kecaman. Posisi ini akan digunakan lawan politiknya untuk menuduh melanggar UU Kewarganegaraan Tahun 1982 dan sasaran empuk untuk menempatkan kembali ke tahanan rumah.

Sekembali dari lawatannya di Eropa, pada sidang parlemen Suu Kyi menyerukan untuk membuat undang-undang yang menghargai hak-hak minoritas. Seruan Suu Kyi tersebut juga tidak tegas apakah etnik Rohingya termasuk di dalamnya. Jika etnik Rohingya termasuk di dalamnya, maka UU Tahun 1982 tersebut harus direvisi. Hal ini akan sulit dilakukan karena pada kenyataannya Liga Nasional untuk Demokrasi, partai yang mengusung Suu Kyi, belum menjadi mayoritas di parlemen. Agaknya nestapa yang disandang etnik Rohingya masih akan berkepanjangan.

Lepas dari persoalan etnisitas, ras, warna kulit dan agama, tragedi Rohingya adalah tragedi kemanusiaan. Meskipun etnik Rohingya tidak mempunyai kewarganegaraan, yang jelas mereka adalah warga dunia sehingga dunia internasional wajib mencari solusi pemecahannya. Penggalangan solidaritas internasional melalui organisasi-organisasi internasional, LSM, negara atau siapapun yang peduli terhadap kemanusiaan perlu digalakan. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan negara terbesar di Asia Tenggara dapat memelopori penggalangan solidaritas untuk kaum Rohingya melalui diplomasinya di tingkat ASEAN, Organisasi Konferensi Islam mapun di fora internasional lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya