SOLOPOS.COM - Suharsih (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Netralitas. Satu kata itu belakangan ini menjadi kata yang sensitif di telinga sejumlah kalangan, terutama aparatur sipil negara (ASN) dan penyelenggara pemilu.

Kata itu seperti momok. Sejak masa kampanye Pemilu 2024 bergulir, bahkan sejak beberapa waktu sebelumnya, netralitas ASN menjadi sorotan. Di Kabupaten Wonogiri, seorang guru SMP berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kontrak (PPPK) melanggar netralitas ASN dengan memihak salah satu partai politik.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Dalam sarasehan bersama warga ia mengajak guru PPPK lain untuk memilih partai politik pilihannya. Kasus ini dilaporkan kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Wonogiri pada September 2023.

Setelah melalui proses penyelidikan dan verifikasi, ia mendapat saksi moral atau hukuman disiplin pada Oktober 2023. Di Kabupaten Boyolali, meski belum terbukti ada ASN yang melanggar netralitas, isu ini viral setelah ada video ASN yang menceritakan tentang arahan untuk memenangkan salah satu partai politik dan calon presiden tertentu.

Kemudian muncul juga pelanggaran netralitas oleh penyelenggara pemilu, yakni Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Desa Gumukrejo, Kecamatan Teras, Kaupaten Boyolali, yang mengunggah status Whatsapp mendukung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu.

Ini menunjukkan potensi pelanggaran netralitas ASN maupun penyelenggara pemilu sangat besar, terlepas dari berbagai upaya yang dilakukan pihak-pihak terkait melalui sosialisasi dan lainnya agar ASN dan penyelenggara pemilu bersikap netral sesuai peraturan.

Anggota Badan Pengawas Pemilu Lolly Suhenty saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Pencegahan Pelanggaran Netralitas ASN pada Pemilu Serentak 2024 di Makassar, 20 Juli 2023, mengatakan netralitas ASN menjadi kerawanan yang luar biasa pada pemilu maupun pemilihan kepala daerah (pilkada).

Mengutip bawaslu.go.id, berdasarkan data yang dirilis Bawaslu, pada Pemilu 2019 terdapat 999 penanganan pelanggaran netralitas ASN. Dari jumlah itu, 89% direkomendasikan kepada KASN. Pada pilkada 2020, terdapat 1.536 penanganan pelanggaran netralitas ASN dan 91% direkomendasikan kepada KASN.

Aturan tentang netralitas ASN sebenarnya sangat jelas. Ada tiga undang-undang yang mengatur ASN harus bersikap netral pada pemilu. Pertama, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Pasal 2 undang-undang ini menyatakan setiap pegawai ASN harus patuh pada asas netralitas dengan tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh mana pun dan tidak memihak kepada kepentingan tertentu.

Kedua, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Ketiga, Undang-ujndang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Ada dua pasal pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 itu yang mengatur tentang netralitas ASN.

Berbagai hal bisa menjadi alasan seorang ASN atau penyelenggara pemilu bersikap tidak netral. Pertama, ASN atau penyelenggara pemilu tersebut tidak memahami aturan perundang-undangan yang melekat pada jabatan atau pekerjaan mereka.

Alasan ini sebenarnya kurang masuk akal dan terkesan mengada-ada. Seorang ASN dan penyelenggara pemilu seharusnya memahami sejak awal aturan-aturan apa  saja yang melekat pada jabatan dan pekerjaan mereka.

Hal itu tidaklah sulit pada masa sekarang dengan perkembangan teknologi dan informasi yang memungkinkan mereka bisa mengakses informasi dengan sangat mudah dan cepat.

Kedua, ASN tersebut berada di bawah tekanan, ancaman, atau intimidasi. Hal ini mungkin terjadi ketika atasan ASN yang menjabat di daerah tertentu menekan para ASN agar memilih kontestan yang menjadi pilihan pejabat tersebut.

Ancaman bagi ASN yang tidak mau menuruti perintah atasan tersebut bermacam-mavam, antara lain, dimutasi, dikucilkan, kariernya dihambat, dan lain-lain. Ketiga, ASN maupun penyelenggara pemilu tersebut mengetahui dan paham aturan perundang-undangan soal netralitas, tapi tetap nekat atau sengaja melanggar.

Hal ini menunjukkan ASN tersebut tidak menghormati aturan dan sudah selayaknya mendapat sanksi berat. Apa pun alasannya, ASN, penyelenggara pemilu, termasuk anggota TNI/Polri dan kepala desa, tidak boleh melanggar asas netralitas dalam pemilu.

Aturan tentang netralitas itu sudah jelas berikut sanksi-sanksi yang berpotensi mereka dapatkan, apalagi jika pelanggarannya masuk kategori berat, bisa berujung pada sanksi pemberhentian atau pemecatan.

Selain itu, sebagai aparatur pemerintah, penegak hukum, dan penyelenggara pemilu, seharusnya punya kesadaran tinggi bahwa mereka adalah contoh atau teladan bagi masyarakat.

Tindak tanduk mereka menjadi sorotan masyarakat. Mereka harus memberikan contoh yang baik bagi masyarakat tentang mematuhi peraturan, taat pada perundang-undangan, bukan malah melanggarnya.

Hal ini juga berlaku bagi pejabat publik di daerah agar tidak menciptakan situasi yang membuat kalangan ASN melanggar asas netralitas dalam pemilu, misalnya dengan tidak memberikan penekanan-penekanan, ancaman, intimidasi, dan lain sebagainya.

Sedangkan kalangan ASN yang mendapatkan intimidasi atau ditekan juga mesti punya keberanian untuk menyuarakan penolakan. Minimal melaporkan kepada Bawaslu jika menemukan ada dugaan yang mengarah pada pelanggaran netralitas ASN.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 Desember 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya