SOLOPOS.COM - Imam Yuda Saputra (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – ”Netralitas ” menjadi kata yang kerap terdengar akhir-akhir ini, di tengah peningkatan suhu politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Netralitas itu merujuk sikap aparatur sipil negara (ASN) atau pejabat pemerintah di tingkat daerah maupun pusat yang tidak menunjukkan keberpihakan terhadap salah satu partai politik (parpol) maupun calon wakil rakyat dan calon presiden-calon wakil presiden peserta pemilu.

Promosi Championship Series, Format Aneh di Liga 1 2023/2024

Mendekati hari pemungutan suara Pemilu 2024 seperti sekarang ini, kata “netralitas” semakin sering didengar. Biasanya kata ini disampaikan pejabat di instansi pemerintah kepada bawahan untuk menjaga kepercayaan publik bahwa Pemilu 2024 berlangsung jujur dan adil, serta tidak ada keberpihakan.

Meski demikian, apakah netralitas ASN itu telah terlaksana dengan baik? Keraguan muncul dari sebagian elemen masyarakat bahwa netralitas ASN dalam menghadapi tahun politik kali ini berjalan tidak sepenuhnya baik.

Banyak ditemukan kasus sikap ASN yang justru terkesan memihak kepada salah satu pasangan calon presiden-calon wakil presiden yang terlibat kontestasi Pemilu 2024.

Salah satu kasus dugaan ketidaknetralan ASN terjadi di Medan, Sumatra Utara. Seorang pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan Kota Medan terekam video sedang mengarahkan para kepala sekolah untuk memilih pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Kasus serupa juga terjadi di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Seorang kepala bidang di Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ngawi mengunggah dukungan kepada pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di akun media sosial pribadinya.

Tindakan dua pejabat di dua daerah itu hanya sebagian kecil dari banyak kasus pelanggaran netralitas yang dilakukan pejabat di lingkungan pemerintah pada tahapan Pemilu 2024.

Masih banyak lagi kasus dugaan pelanggaran netralitas dalam Pemilu  oleh pejabat pemerintah yang hingga kini masih belum jelas penyelesaiannya. Badan Pengawas Pemilihan Umum  (Bawaslu) sebagai salah satu penyelenggara pemilu sering menyosialisasikan aturan tentang netralitas ASN.

Aturan tentang netralitas ASN itu dalam sejumlah peraturan negara seperti Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentan Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.

Sederet peraturan itu seolah-olah hanya menjadi papan pengumuman tanpa memunculkan kekhawatiran bagi ASN yang melanggar. Terbukti masih banyak ketidaknetralan aparat negara dalam menyongsong Pemilu 2024.

Ketidaknetralan pejabat negara dalam pemilu kali ini sebenarnya juga dipicu sikap para pemimpin yang cenderung memberikan celah bagi mereka untuk memihak kepada salah satu u peserta pemilu.

Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2023 pada masa Pemilu 2024. Dalam beleid itu disebutkan bahwa pejabat pemerintah setingkat menteri, gubernur, maupun bupati dan wali kota yang mengikuti kontestasi Pemilu 2024 tidak perlu cuti atau mengundurkan diri.

Aturan ini pun mengubah ketentuan yang sebelumnya tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2018. Aturan sebelumnya adalah pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik peserta pemilu atau gabungan partai politik sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.

Aturan tersebut terkecualikan untuk presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota.

Aturan itu diubah dengan menambah frasa menteri dan pejabat setingkat menteri. Alhasil, pejabat negara termasuk menteri atau setingkat menteri tak perlu mengundurkan diri saat menjadi calon presiden maupun calon wakil presiden.

Aturan baru yang itu berpotensi menjadi celah terjadinya pelanggaran netralitas ASN, apalagi ketika menteri maupun pejabat daerah yang bersangkutan turut mencalonkan diri sebagai calon presiden maupun calon wakil presiden.

Mereka berpotensi memobilisasi jajaran di bawahnya untuk memenangkan dirinya dalam kontestasi politik. Kecurigaan tersebut hingga kini belum terbukti. Meski demikian, hal-hal itu menimbulkan kecurigaan atau ketidakpercayaan publik terhadap netralitas penyelenggara negara.

Sebagai warga negara ASN juga memiliki hak untuk memilih dalam pemilu, namun ASN sebagai pelayan masyarakat, tanpa membedakan golongan tertentu, juga harus mengedepankan sikap netral agar pemilu berlangsung jujur dan adil.

Sikap menjaga netralitas itu harus dimulai dari para pemimpin. Para pemimpin harus bisa mengedepankan etika dan menjadi contoh atau suri teladan bagi jajaran di bawahnya dalam menjaga netralitas itu.

Jangan sampai pemimpin justru menunjukkan keberpihakan karena calon presiden atau calon wakil presiden yang bersaing merupakan kerabat dekat atau kolega. Jika hal itu tidak bisa dilakukan, ketidakpercayaan publik pada negara semakin besar.

Publik menjadi tidak peduli dengan apa pun hasil Pemilu 2024. Mereka akan selalu beranggapan apa pun hasil pemilu nanti sebagai hasil rekayasa atau sudah diskenariokan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 Januari 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya