SOLOPOS.COM - Bawaslu Sukoharjo menggelar rapat koordinasi dengan organisasi perangkat daerah (OPD) untuk mewujudkan netralitas ASN, Selasa (23/5/2023). (Istimewa/Bawaslu Sukoharjo)

Kata netralitas sering disebut akhir-akhir ini seiring kian dekatnya Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Kata netralitas semakin kencang berembus setelah acara makan siang Presiden Joko Widodo bersama tiga calon presiden beberapa waktu lalu.

Acara tersebut memunculkan harapan sekaligus ketidakpercayaan pewujudan netralitas Presiden Joko Widodo dan aparatur negara dalam Pemilu 2024. Harapan muncul karena dalam acara itu impresi Presiden Joko Widodo memang ingin menunjukkan bahwa dirinya netral atau dalam istilah yang sering dipakai “tidak ikut cawe-cawe alias tidak campur tangan”.

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

Acara tersebut juga memunculkan ketidakpercayaan publik karena proses-proses politik atau drama-drama politik yang mengemuka menunjukkan hal sebaliknya. Netralitas penguasa dan aparatur negara memang sangat dibutuhkan untuk menjamin proses demokrasi Pemilu 2024 tidak tercederai kecurangan demi memenangkan salah satu kandidat atau satu kelompok politik tertentu.

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengemukakan data terdapat 22 provinsi di Indonesia dengan potensi kerawanan netralitas aparatur sipil negara (ASN) pada Pemilu 2024. Sebanyak 10 provinsi masuk dalam kategori tingkat tinggi kerawanan netralitas ASN.

Pelanggaran netralitas ASN merupakan salah satu dari empat isu kerawanan pemilu yang banyak ditemukan di tingkat provinsi. Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 mengatur setiap ASN harus patuh pada asas netralitas dengan tidak berpihak pada segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak pada kepentingan tertentu.

ASN dilarang memasang spanduk/baliho/alat peraga peserta pemilu; dilarang sosialisasi/kampanye media; tidak boleh menghadiri deklarasi/kampanye peserta pemilu. ASN juga dilarang membuat posting, komentar, membagikan, menyukai, dan mengikuti grup/akun pemenangan peserta pemilu; mengunggah di media sosial/media lain yang bisa diakses publik; dan tidak boleh ikut dalam kampanye/sosialisasi peserta pemilu.

Persoalannya adalah ketika kontestan Pemilu 2024—terutama pemilih presiden dan wakil presiden—melibatkan anggota keluarga penguasa atau melibatkan seseorang yang sedang berkuasa dalam jabatan tertentu bisakah netralitas terwujud?

Dengan memperhatikan drama-drama politik yang belum lama berlalu tentu sangat beralasan ketika publik mempertanyakan, meragukan, dan menganggap isu netralitas sekadar gimik dan bagian drama politik semata.

Banyak celah yang bisa dipakai untuk menyiasati kewajiban netralitas aparatur negara karena sejatinya sulit untuk melepaskan ”balutan jabatan” yang melekat di badan dalam kegiatan Pemilu 2024 nanti. Meski demikian, warga masyarakat negeri ini tentu berharap hal itu tidak akan terjadi sehingga Pemilu 2024 berjalan jujur dan adil sebagaimana seharusnya.

Netralitas presiden, pejabat tinggi, ASN, personel TNI, dan personel Polri harus diwujudkan semaksimal mungkin. Rakyat harus menjadi juri yang cerdas untuk menentukan hukuman sosial dan politik bagi siapa pun yang tidak netral. Jangan pilih peserta Pemilu 2024 yang curang dan lancung dengan menggunakan kekuasaan dan aparat yang dikuasai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya