SOLOPOS.COM - Mahda Khufiati Syaharani (solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Ngabuburit adalah aktivitas yang identik dengan berburu kuliner untuk berbuka puasa. Ini telah menjadi budaya di masyarakat kita.

Menurut Kamus Bahasa Sunda yang diterbitkan Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS), ”ngabuburit” adalah lakuran dalam bahasa Sunda dari ngalantung ngadagoan burit yang artinya bersantai-santai sambil menunggu waktu sore.

Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler

Ngabuburit identik dengan bulan puasa atau Ramadan karena pada bulan tersebut banyak orang sering melakukan aktivitas pada waktu sore sembari menunggu azan Magrib berkumandang.

Ngabuburit selalu menjadi aktivitas yang unik setiap Ramadan, bahkan acara-acara di televisi banyak yang menggunakan kata ”ngabuburit”. Tak afdal berbuka puasa kalau tidak ngabuburit, begitu kiranya kata anak-anak muda.

Setelah hampir dua tahun menjadi mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta atau UMS, saya menyadari ada hal yang unik dari aktivitas ngabuburit ini.

Di depan Kampus 2 UMS saat Ramadan selalu ramai oleh para mahasiswa maupun masyarakat sekitar berburu menu untuk berbuka puasa. Puluhan pedagang kaki lima berjualan di pinggir jalan depan kampus swasta itu.

Mereka memadati ruas jalan sepanjang 700 meter. Bermacam-macam jajanan, aneka makanan dan minuman, diperjualbelikan, seperti es dawet, es pisang hijau, es buah, siomay, batagor, sempol, dan lain sebagainya.

Mayoritas yang membeli dagangan para pedagang kaki lima tersebut adalah mahasiswa UMS, namun banyak jugha mahasiswa universitas lain mendatangi lokasi tersebut. Mahasiswa UMS mayoritas dari kalangan ekonomi menengah ke atas.

Tak mengherankan kawasan UMS menjadi tempat favorit pedagang kaki lima. Barangkali menjadi sumber rezeki yang besar bagi mereka. Mahasiswa turut senang karena tidak perlu jauh-jauh untuk mencari menu berbuka puasa. Tinggal memilih mau berbuka puasa dengan apa saja yang dijual para pedagang.

Terdapat pula tukang parkir yang siap menjaga kendaraan ketika pemilik kendaraan itu sedang asyik membeli makanan atau minuman di pinggir jalan tersebut. Hanya dengan tarif Rp2.000, siapa saja bisa meninggalkan kendaraan dengan tenang untuk memilih makanan atau minuman untuk berbuka puasa.

Sering pula ada pengemis di sekitar tempat tersebut yang mengharapkan belas kasihan masyarakat sekitar. Biasanya yang seperti ini menepi di depan ATM atau dekat tempat-tempat parkir.

Yang menarik dari fenomena ini adalah tentang ketimpangan ekonomi. Mahasiswa yang dengan bebas mengenyam pendidikan tinggi disandingkan dengan pedagang kaki lima yang berjuang hidup dan mati untuk menghidupi keluarga. Ironis!

Ketimpangan ekonomi yang terjadi bukan alasan untuk saling menjatuhkan atau saling merendahkan satu sama lain. Justru ketika Ramadan tiba, hal ini menjadi ladang pahala untuk kaum muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa.

Ramadan mengajarkan kaum muslim untuk peduli dengan masyarakat yang kurang mampu atau sedang dalam keterbatasan tertentu. Kaum muslim diwajibkan berpuasa dalam rangka turut merasakan masyarakat yang kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, terutama kebutuhan pangan.

Dengan membeli dagangan para pedagang kaki lima termasuk membantu perekonomian mereka, walaupun mungkin hanya dalam skala kecil atau sedikit. Termasuk dengan memarkirkan kendaraan agar dijaga oleh tukang parkir maupun dengan memberi sedikit sedekah untuk pengemis jalanan.

Inilah yang disebut ngabuburit yang mutualisme (saling menguntungkan). Paa mahasiswa senang bisa jajan dan tidak bingung lagi milih menu berbuka puasa, sedangkan pedagang senang karena dagangannya habis.

Cuaca tidak bisa ditebak. Terkadang ketika hujan turun, lokasi yang biasanya ramai pengunjung menjadi sepi sehingga akan terlihat perbedaan yang cukup mencolok dibandingkan ketika hari cerah.

Walaupun saat sepi, semangat pedagang kaki lima tak surut menunggu pembeli dengan harapan membawa pulang rezeki untuk keluarga di rumah.

Ketimpangan ekonomi atau kesenjangan ekonomi adalah keadaan yang tidak seimbang di masyarakat yang mengakibatkan ada perbedaan yang mencolok terutama berkaitan dengan perbedaan penghasilan yang sangat tinggi antara masyarakat kelas atas dan kelas bawah.

Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) mencatat peringkat ketimpangan ekonomi Indonesia berada di posisi enam terburuk di dunia. Ketimpangan ekonomi ini disebabkan perbedaan pendapatan, akses pendidikan, dan ketidakmerataan struktur ekonomi.

Tentu hal ini menjadi masalah yang cukup serius untuk menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Jika dibiarkan, ini akan menghambat proses pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Laman kominfo.go.id menginformasikan kebijakan pemerataan ekonomi (KPE) memiliki tiga pilar utama.

Tiga pilar itu adalah lahan, kesempatan, dan kapasitas sumber daya manusia (SDM). Hal ini bertujuan meminimalkan ketimpangan ekonomi dengan desain kebijakan yang koheren dan efektif. Dengan tiga pilar tersebut diharapkan mampu menumbuhkan profil ekonomi bangsa Indonesia sehingga pertumbuhan ekonomi berkualitas dan merata.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 2 april 2024. Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Surakarta  dan aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya